C. I’rabnya
Muntaha al-jumu’ dii’rabkan sebagaimana i’rab ghairu munsharif[1] ketika
dia nakirah, adapun ketika ma’rifah dii’rabkan seperti isim munsharif[2],[3]
karena kemiripannya dengan fi’il, yakni tidak bisa majrur dan tidak bisa
dimasuki tanwin. Kecuali ketika dimasuki ال atau di-idhafah-kan maka dia
di-i’rab-kan sebagaimana isim munsharif, karena keduanya tidak ada pada fi’il,
sehingga berkurang 1 ‘illah kemiripannya dengan fi’il.[4] Juga
karena ال
dan idhafah di sana menggantikan tanwin, jika tanwin dibolehkan maka
jarr pun dibolehkan.[5]
Yang menyebabkan shighah muntaha al-jumu’ di-i’rab sebagaimana isim
ghairu munsharif adalah:
1.
Karena
tidak ada isim mufrod yang menggunakan wazan مفاعل atau مفاعيل. Ketahuilah bahwa isim mufrod merupakan wazan asli dari isim
sehingga dia bertanwin. Jauhnya shighah muntaha al-jumu’ dari wazan isim mufrod
ini menyebabkan dia ghairu munsharif.[6] Tidak
seperti wazan jamak lainnya yang juga digunakan pada isim mufrod, seperti wazan
jama’ taksir أَفْعِلاء digunakan untuk isim mufrod أَرْبِعاء (hari rabu),[7] wazan فُعُل digunakan untuk isim mufrod عُنُق(leher),[8] atau
wazan فُعَلاء
digunakan untuk isim mufrod نُفَساء (wanita yang melahirkan).[9] Sedangkan
shighah muntaha al-jumu’ selalu dalam bentuk jamak taksir atau perubahan dari
jamak taksir.[10]
2.
Ke-tidakserupaan-nya
dia dengan wazan isim mufrod, membuat dia seakan-akan dijamak dua kali dan
tidak ada lagi jamak setelahnya,[11] seperti
كَلْبٌ-أكْلُبٌ-أَكالِبُ. Hal tersebut
membuat dia semakin jauh dari isim mufrod. Maka atas dasar inilah mengapa
‘illah (sebab) yang menyebabkan dia menjadi ghairu munsharif setara dengan 2
‘illah[12] karena kuatnya
dia menanggung 2 beban jamak.[13]
3.
Dia
termasuk wazan jamak taksir yang tidak bisa dibuat jamak taksir lagi,
sebagaimana fi’il tidak memiliki wazan jamak taksir.[14]
4.
Keunikan
wazannya yang tidak dimiliki oleh isim membuat dia serupa dengan isim a’jami,
karena wazan a’jami tidak serupa dengan wazan ‘arabi.[15]
Adapun jika isimnya diakhiri dengan huruf ‘illah maka lafadznya
semisal dengan isim manqush, namun i’rab-nya tetap ghairu munsharif. Contohnya غَواشٍ jamak dari kata غاشِيَة (selimut). I’rab kata tersebut
adalah sebagai berikut:
هذه
غواشٍ ورأيت غواشِيَ وجئت بِغواشٍ
I’rab غواشٍ pada kalimat pertama adalah khabar
marfu’ ditandai dengan dhammah muqaddarah. I’rab pada kalimat kedua adalah
maf’ul bih manshub ditandai dengan fathah. Dan i’rab pada kalimat ketiga adalah
isim majrur ditandai dengan fathah muqaddarah.[16]
Tanwin pada kata غواشٍ tidaklah menunjukkan bahwa dia isim
munsharif, karena itu bukan tanwin tamkin melainkan tanwin ‘iwadh[17] yang
berfungsi menggantikan huruf yang hilang. Asal kata غواشٍ adalah غواشِيُ kemudian dihilangkan karena beratnya
dhammah di atas “ya”,[18] menjadi
غَواشِيْ
dengan i’rab harakat muqaddarah. Wazan jamak merupakan wazan far’i
(cabang), dan wazan far’i lebih berat daripada wazan asli yakni isim mufrod[19].
Ditambah dengan i’rab muqaddarah sehingga bertambah berat, maka dihilangkanlah
huruf “ya” untuk meringankan. Namun ketika huruf “ya” dihilangkan menjadi tidak
lagi berwazan مفاعل maka masuklah tanwin sebagai
pengganti. Ini merupakan pendapat yang diambil oleh al-Khalil dan Sibawaih.[20]
Ulama memang berselisih pendapat apakah tanwin tersebut
menggantikan harakat dhammah atau menggantikan huruf “ya”. Al-Mubarrad
berpendapat bahwa tanwin tersebut menggantikan harakat dhammah.[21] Namun
pendapat ini tidaklah kuat, dengan alasan:
1.
Hanya
ada 3 fungsi tanwin ‘iwadh, yaitu menggantikan kalimat, seperti: حينئذٍ
تنظرون, menggantikan kata, seperti: كلٌّ
قائم, dan menggantikan huruf, seperti غواشٍ.[22]
Maka tidak ada tanwin ‘iwadh yang menggantikan harakat.
2.
Karena
tujuan dari ta’widh di sini adalah untuk meringankan maka lebih utama tanwin
ini menggantikan huruf, karena huruf lebih berat dari harakat.[23]
Adapun ketika manshub maka tetap dinampakkan fathah-nya karena dia
ringan.[24]
Rizki Gumilar
di Kampung Santri
[1] Tanda majrur ghairu
munsharif adalah dengan fathah sebagai pengganti dari kasrah, hal tersebut
dikarenakan kasrah dan fathah adalah tanda untuk isim-isim fadhlah (tambahan)
sedangkan dhammah untuk isim-isim ‘umdah (pokok). (at-Tadzyiil wa at-takmiil:
1/146)
[2] Syarh
al-kitab: 3/494, Syarh al-mufashshal: 1/147
[3] Dinamakan isim
munsharif karena dia bisa terhindar انصرف dari kemiripannya dengan fi’il dan harf, sebagian lain
mengatatakan karena dia bersih صريف dari kemiripannya dengan fi’il dan harf. (Syarh al-jumal:
2/327)
[4] Al-Ushul fii
an-nahwi: 2/79, al-Asybah wa an-nadzhoir fi an-nahwi: 1/387, Asror al-‘arabiyyah:
164
[5] Asror
al-‘arabiyyah: 163
[6] Al-Muqtadhab:
3/327, Syarh al-kitab: 3/494
[7] Mu’jam
al-auzaan ash-sharfiyyah: 62
[8] Ibid: 150
[9] Al-Ushul fi an-nahwi:
3/196
[10] Al-Mamnu’
minash shorf mu’jam wa dirosah: 159
[12] Setiap isim
ghairu munsharif harus memiliki 2 ‘illah dari 9 ‘illah yang
menyebabkannya tidak bisa dimasuki tanwin, kecuali shighah muntaha al-jumu’ dan
alif ta’nits, keduanya cukup memiliki 1 ‘illah saja, sehingga tidak ada
perbedaan baik dia berupa isim ‘alam maupun shifah, baik muannats maupun
mudzakkar, selama dia berwazan مَفاعِل atau مَفاعِيل atau diakhiri alif ta’nits maka dia ghairu munsharif. (Syarh alfiyyah
Ibnu Malik li al-‘Utsaimin: 3/488)
[13] Syarh
al-kitab: 3/496, Syarh al-mufashshal: 1/147, Syarh al-kafiyah: 1/98
[14] Asror
al-‘arabiyyah: 163
[15] Asror
al-‘arabiyyah: 163
[16] Syarh alfiyyah
Ibnu Malik li al-‘Utsaimin: 3/490
[17] Syarh
al-mufashshal: 1/149
[18] Al-mamnu’ min
ash-shorf fii al-lughah al-‘arabiyyah: 608
[19] Al-Musaa’id:
4/83, Sirru ash-shinaa’ah: 512
[20] Syarh
al-mufashshal: 1/148
[21] Syarh
al-kafiyah: 1/135
[22] Syarh
al-‘alamah Ibn ‘Aqil ‘ala al-alfiyyah: 4
[23] Al-mamnu’ min
ash-shorf fii al-lughah al-‘arabiyyah: 612
0 komentar:
Posting Komentar