Minggu, 03 September 2017

Muntahal Jumu', Puncaknya Isim Jamak (bag. 3)

        
        C.   I’rabnya
Muntaha al-jumu’ dii’rabkan sebagaimana i’rab ghairu munsharif[1] ketika dia nakirah, adapun ketika ma’rifah dii’rabkan seperti isim munsharif[2],[3] karena kemiripannya dengan fi’il, yakni tidak bisa majrur dan tidak bisa dimasuki tanwin. Kecuali ketika dimasuki ال atau di-idhafah-kan maka dia di-i’rab-kan sebagaimana isim munsharif, karena keduanya tidak ada pada fi’il, sehingga berkurang 1 ‘illah kemiripannya dengan fi’il.[4] Juga karena ال dan idhafah di sana menggantikan tanwin, jika tanwin dibolehkan maka jarr pun dibolehkan.[5]
Yang menyebabkan shighah muntaha al-jumu’ di-i’rab sebagaimana isim ghairu munsharif adalah:
1.      Karena tidak ada isim mufrod yang menggunakan wazan مفاعل atau مفاعيل. Ketahuilah bahwa isim mufrod merupakan wazan asli dari isim sehingga dia bertanwin. Jauhnya shighah muntaha al-jumu’ dari wazan isim mufrod ini menyebabkan dia ghairu munsharif.[6] Tidak seperti wazan jamak lainnya yang juga digunakan pada isim mufrod, seperti wazan jama’ taksir أَفْعِلاء digunakan untuk isim mufrod أَرْبِعاء (hari rabu),[7] wazan فُعُل digunakan untuk isim mufrod  عُنُق(leher),[8] atau wazan فُعَلاء digunakan untuk isim mufrod نُفَساء (wanita yang melahirkan).[9] Sedangkan shighah muntaha al-jumu’ selalu dalam bentuk jamak taksir atau perubahan dari jamak taksir.[10]
2.      Ke-tidakserupaan-nya dia dengan wazan isim mufrod, membuat dia seakan-akan dijamak dua kali dan tidak ada lagi jamak setelahnya,[11] seperti كَلْبٌ-أكْلُبٌ-أَكالِبُ. Hal tersebut membuat dia semakin jauh dari isim mufrod. Maka atas dasar inilah mengapa ‘illah (sebab) yang menyebabkan dia menjadi ghairu munsharif setara dengan 2 ‘illah[12] karena kuatnya dia menanggung 2 beban jamak.[13]
3.      Dia termasuk wazan jamak taksir yang tidak bisa dibuat jamak taksir lagi, sebagaimana fi’il tidak memiliki wazan jamak taksir.[14]
4.      Keunikan wazannya yang tidak dimiliki oleh isim membuat dia serupa dengan isim a’jami, karena wazan a’jami tidak serupa dengan wazan ‘arabi.[15]
Adapun jika isimnya diakhiri dengan huruf ‘illah maka lafadznya semisal dengan isim manqush, namun i’rab-nya tetap ghairu munsharif. Contohnya غَواشٍ jamak dari kata غاشِيَة (selimut). I’rab kata tersebut adalah sebagai berikut:
هذه غواشٍ ورأيت غواشِيَ وجئت بِغواشٍ
I’rab غواشٍ pada kalimat pertama adalah khabar marfu’ ditandai dengan dhammah muqaddarah. I’rab pada kalimat kedua adalah maf’ul bih manshub ditandai dengan fathah. Dan i’rab pada kalimat ketiga adalah isim majrur ditandai dengan fathah muqaddarah.[16]
Tanwin pada kata غواشٍ tidaklah menunjukkan bahwa dia isim munsharif, karena itu bukan tanwin tamkin melainkan tanwin ‘iwadh[17] yang berfungsi menggantikan huruf yang hilang. Asal kata غواشٍ adalah غواشِيُ kemudian dihilangkan karena beratnya dhammah di atas “ya”,[18] menjadi غَواشِيْ dengan i’rab harakat muqaddarah. Wazan jamak merupakan wazan far’i (cabang), dan wazan far’i lebih berat daripada wazan asli yakni isim mufrod[19]. Ditambah dengan i’rab muqaddarah sehingga bertambah berat, maka dihilangkanlah huruf “ya” untuk meringankan. Namun ketika huruf “ya” dihilangkan menjadi tidak lagi berwazan مفاعل maka masuklah tanwin sebagai pengganti. Ini merupakan pendapat yang diambil oleh al-Khalil dan Sibawaih.[20]
Ulama memang berselisih pendapat apakah tanwin tersebut menggantikan harakat dhammah atau menggantikan huruf “ya”. Al-Mubarrad berpendapat bahwa tanwin tersebut menggantikan harakat dhammah.[21] Namun pendapat ini tidaklah kuat, dengan alasan:
1.      Hanya ada 3 fungsi tanwin ‘iwadh, yaitu menggantikan kalimat, seperti: حينئذٍ تنظرون, menggantikan kata, seperti: كلٌّ قائم, dan menggantikan huruf, seperti غواشٍ.[22] Maka tidak ada tanwin ‘iwadh yang menggantikan harakat.
2.      Karena tujuan dari ta’widh di sini adalah untuk meringankan maka lebih utama tanwin ini menggantikan huruf, karena huruf lebih berat dari harakat.[23]
Adapun ketika manshub maka tetap dinampakkan fathah-nya karena dia ringan.[24]

Rizki Gumilar
di Kampung Santri




[1] Tanda majrur ghairu munsharif adalah dengan fathah sebagai pengganti dari kasrah, hal tersebut dikarenakan kasrah dan fathah adalah tanda untuk isim-isim fadhlah (tambahan) sedangkan dhammah untuk isim-isim ‘umdah (pokok). (at-Tadzyiil wa at-takmiil: 1/146)
[2] Syarh al-kitab: 3/494, Syarh al-mufashshal: 1/147
[3] Dinamakan isim munsharif karena dia bisa terhindar انصرف dari kemiripannya dengan fi’il dan harf, sebagian lain mengatatakan karena dia bersih صريف dari kemiripannya dengan fi’il dan harf. (Syarh al-jumal: 2/327)
[4] Al-Ushul fii an-nahwi: 2/79, al-Asybah wa an-nadzhoir fi an-nahwi: 1/387, Asror al-‘arabiyyah: 164
[5] Asror al-‘arabiyyah: 163
[6] Al-Muqtadhab: 3/327, Syarh al-kitab: 3/494
[7] Mu’jam al-auzaan ash-sharfiyyah: 62
[8] Ibid: 150
[9] Al-Ushul fi an-nahwi: 3/196
[10] Al-Mamnu’ minash shorf mu’jam wa dirosah: 159
[11] Syarh al-kitab: 3/496, Asror al-‘arabiyyah: 163
[12] Setiap isim ghairu munsharif harus memiliki 2 ‘illah dari 9 ‘illah yang menyebabkannya tidak bisa dimasuki tanwin, kecuali shighah muntaha al-jumu’ dan alif ta’nits, keduanya cukup memiliki 1 ‘illah saja, sehingga tidak ada perbedaan baik dia berupa isim ‘alam maupun shifah, baik muannats maupun mudzakkar, selama dia berwazan مَفاعِل atau مَفاعِيل atau diakhiri alif ta’nits maka dia ghairu munsharif. (Syarh alfiyyah Ibnu Malik li al-‘Utsaimin: 3/488)
[13] Syarh al-kitab: 3/496, Syarh al-mufashshal: 1/147, Syarh al-kafiyah: 1/98
[14] Asror al-‘arabiyyah: 163
[15] Asror al-‘arabiyyah: 163
[16] Syarh alfiyyah Ibnu Malik li al-‘Utsaimin: 3/490
[17] Syarh al-mufashshal: 1/149
[18] Al-mamnu’ min ash-shorf fii al-lughah al-‘arabiyyah: 608
[19] Al-Musaa’id: 4/83, Sirru ash-shinaa’ah: 512
[20] Syarh al-mufashshal: 1/148
[21] Syarh al-kafiyah: 1/135
[22] Syarh al-‘alamah Ibn ‘Aqil ‘ala al-alfiyyah: 4
[23] Al-mamnu’ min ash-shorf fii al-lughah al-‘arabiyyah: 612
[24] Ibid: 615

0 komentar:

Posting Komentar