وغاظ
عمرًا عليّ ٌفي حكومتهِ
|
يا
ليتهُ لم يكنْ في أمره حَكَما
|
Maka
Ali (al-Kisa’i) membuat Amr (Sibawaih) marah atas keputusannya,
“aduhai,
aku harap tidak ada yang berhukum dengan keputusannya itu”[1]
|
|
كغيظِ
عمرٍو عليًّا في حكومتهِ
|
يا
ليتهُ لم يكنْ في أمره حَكَما
|
Sebagaimana
kemarahan Amr (bin Ash) kepada Ali (bin Abi Thalib) atas keputusannya,
“aduhai,
aku harap dia tidak menjadi penguasa dengan keputusannya itu”[2]
|
|
وفَجَّع
ابنُ زيادٍ كلَّ مُنتحِبٍ
|
من
أهله إذ غدا منه يَفِيضُ دَما
|
Dan
(al-Farra) Ibnu Ziyad membuat sedih setiap orang yang menangis...
|
|
كفَجعَة
ابنِ زيادٍ كلَّ منتحِبٍ
|
من
أهله إذ غدا منه يَفِيضُ دِما
|
Sebagaimana
(Ubaidullah) Ibnu Ziyad membuat menangis setiap orang yang menangis...
...dari kalangan
keluarganya (Ali bin Abi Thalib). Ketika pagi hari dia mengalirkan banyak
darah.[4]
|
|
فَظلَّ
بالكَرْب مكظومًا وقد كربَتْ
|
بالنفس
أَنفاسُه أن تبلُغَ الكَظما
|
Sehingga
dia (Sibawaih) terus dalam kesedihan yang mendalam...
Dan
nafasnya pun menyempit hingga tenggorokan...[5]
|
|
قَضَت
عليه بغير الحقِّ طائفةٌ
|
حتّى
قضى هَدَرًا ما بينهم هَدمَا
|
Sekelompok
orang menghukuminya tanpa hak
hingga
dia memutuskan hal yang sia-sia. Apa yang ada pada mereka hanyalah
puing-puing...[6]
|
Sleeping Slonjor dulu pemirsa...
Rizki Gumilar
di Kampung Santri
[1] Hal ini
dikarenakan pada pendapat al-Kisa’i terdapat syadz, dan al-Qur’an tidak datang
dengan bacaan seperti itu (Fathu al-qariib al-mujiib: 1/170)
[2] Ini terjadi
pada masa fitnah antara Ali dan Mu’awiyyah -radhiyallahu ‘anhuma-. Ali menunjuk
Abu Musa al-Asy’ari sebagai juru runding sedangkan Mu’awiyyah menunjuk Amr bin
Ash. Kemudian Ali menulis surat yang berbunyi:
بسم
الله الرحمن الرحيم: هذا ما قاضى عليه علي بن أبي طالب أمير المؤمنين...
Bismillahirrahmanirrahim: Ini adalah
perjanjian yang ditandatangani oleh Ali bin Abi Thalib Amirul Mu’minin...
Maka Amr bin
Ash berkata: "اكتب اسمه واسم أبيه، هو أميركم وليس
بأميرنا!" tulis namanya dan nama ayahnya saja, dia amir kalian bukan amir
kami!
Al-Ahnaf
berkata: "لا تكتب إلا أمير
المؤمنين!" jangan tulis apapun kecuali Amirul Mu’minin!
Maka
Ali menengahi: “hapuslah kata Amirul Mu’minin dan tulis: Ini adalah
perjanjian yang ditandatangani oleh Ali bin Abi Thalib” kemudian Ali berdalil
dengan kisah Hudaibiyyah dimana penduduk Makkah menolak naskah:
هذا
ما قاضى عليه محمد رسول الله
Kaum musyrikin
menolaknya dan mengatakan: “tulislah ini! Ini adalah perjanjian yang
ditandatangani oleh Muhammad bin Abdullah!” (al-Bidayah wa an-nihayah:
7/469-470)
[3] Sebelum
al-Kisa’i datang, al-Farra sudah lebih dulu menanti Sibawaih untuk menanyakan
sebuah pertanyaan:
ما
تقول فيمن قال: "هؤلاء أبَونَ ومررت بأبَينَ"، كيف تقول مثال ذلك من
وَأَيتَ أو أَوَيتَ؟
Apa
yang hendak kau katakan bagi orang yang mengatakan: “Haa’ullaa’i abauna wa
marortu bi abaina”, bagaimana pendapatmu jika hal itu diumpamakan dengan
wa’aita atau awaita? (Majalis al-‘ulama: 9)
Menurut
al-Farra, kata أبٌ berasal dari
kata أبَوٌ dengan wazan فَعَلٌ. Jika memang demikian maka wazannya mirip dengan fi’il madhi mu’tal
akhir seperti أوى atau وأى dengan wazan فَعَلَ. Kemudian dibuat jamak mudzakkar salim menjadi أَبَوْنَ seperti kata مصطفَوْنَ, dihilangkan alifnya dan dibiarkan fathahnya untuk menunjukkan
adanya alif (Fathu al-qariib al-mujiib: 1/167)
Kemudian
Sibawaih menjawab: "فقدّر فأخطأ" dia telah
menaqdirkan dan dia keliru.
Al-Farra
berkata: "أعد
النظرَ فيه" coba tinjau kembali pendapatmu.
Sibawaih tetap
menjawab dengan jawaban yang sama (Majalis al-‘ulama: 9)
Sebetulnya
masalah ini bukanlah masalah yang tersembunyi bagi Sibawaih. Namun sebagaimana
dikatakan oleh Abu Utsman al-Maziny bahwa Sibawaih memasuki Baghdad kemudian
dilontarkan beberapa permasalahan kepadanya, dia menjawab berdasarkan
madzhabnya sedangkan mereka mengoreksi dengan madzhab mereka, dan selesai (Fathu
al-qariib al-mujiib: 1/167)
[4] Dialah
Ubaidullah bin Ziyad pimpinan pasukan yang membunuh Husain bin Ali
-radhiyallahu ‘anhuma- di Karbala. Sebagaimana telah diisyaratkan oleh
Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam-, Ali -radhiyallahu ‘anhu- menceritakan:
دخلتُ على النبي -صلى الله عليه وسلم- ذات يوم،
وعيناه تفيضان، فقال: "قام من عندي جبريل، فحدّثني أن الحسينَ يُقتَل، وقال:
هل لك أن أُشمَّك من تُربَته؟ قلتُ: نعم. فمدّ يده، فقبض قبضةً من تراب. قال:
فأعطانيها، فلم أملك عينيّ"
“Suatu hari aku mendatangi Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa
sallam- dalam keadaan kedua mata beliau bercucuran air mata, lalu beliau
bersabda: “Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa Husain kelak
akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata: “Apakah engkau ingin aku ciumkan
kepadamu bau tanahnya?”. Aku menjawab: “Ya”, Jibril lalu menjulurkan tangannya
dengan segenggam tanah. Beliau bersabda: “Kemudian ia memberikannya kepadaku
hingga aku tidak kuasa menahan air mataku”. (al-Musnad: 1/85, Musnad Ali bin
Abi Thalib no. 648, Siyaru a’laami
an-nubalaa: 3/288, pentahqiq mengatakan perowinya tsiqot)
وقيل اسمها كربلاء. فقال النبي -صلى الله عليه
وسلم-: "كربٌ وبلاء"
“Disebutkan
nama tempat tersebut adalah Karbala. Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda: “Karbun
(bencana) dan bala’ (musibah)" (Siyaru a’laami an-nubalaa: 3/290)
Setelah Husain syahid dibunuh kemudian kepalanya
dibawa ke hadapan Ubaidullah bin Ziyad, sebagaimana di riwayatkan oleh Imam
Bukhari dalam shahihnya:
عن أنس
بن مالك -رضي الله عنه-: "أُتِي عبيد الله بن زياد برأس الحسين بن علي فجُعل
في طستٍ فجعل ينكتُ وقال في حسنه شيئا، فقال أنس: كان أشبههم برسول الله -صلى
الله عليه وسلم- وكان مخضوبًا بالوسمة"
Dari Anas bin Mâlik -radhiyallahu
‘anhu-, dia mengatakan; ‘Kepala Husain didatangkan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd
kemudian ditaruh di atas bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk
(dengan pedangnya) seraya berkomentar tentang ketampanan Husain. Anas
-radhiyallahu ‘anhu- mengatakan; ‘Diantara Ahlul-Bait, Husain adalah orang yang
paling mirip dengan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- saat itu, Husain
-radhiyallahu ‘anhu- disemir rambutnya dengan wasmah (nama tumbuhan). (Shahih
al-Bukhary, kitab fadhail ashabi an-Nabi, bab manaqib al-Hasan wa al-Husain,
no: 3748)
[5] Setelah
melewati perdebatan panjang, maka sang menteri pun melerai: “kalian berselisih
pendapat, padahal kalian adalah pemimpin di negeri kalian, lantas siapa yang
bisa menengahi kalian?”
Al-Kisa’i
memberi saran: “mereka yang ada di depan pintu ini adalah orang-orang yang
fasih bahasanya, tanyalah mereka” disebutkan bahwa mereka yang hadir berasal
para ahli nahwu dari Mesir, Kufah, dan Bashrah, diantaranya ada Abu Faq’as, Abu
Ziyad, Abu al-Jarrah, Abu Tsarwan, dan Abu Datsar. Ketika ditanya mereka pun
memilih jawaban al-Kisa’i.
Sang menteri
berkata ke arah Sibawaih: “kau dengar itu?”
Sibawaih pun
tertunduk lemas. Dia begitu terpukul dengan jawaban hadirin, dan bermaksud
untuk pergi meninggalkan Baghdad menuju Persia dan menetap di sana hingga wafat.
Dia sudah tidak berhajat lagi untuk pulang ke kampung halamannya di Bashrah
meskipun dia mengantongi hadiah 10.000 dinar dari sang menteri atas usulan
al-Kisa’i. Sungguh kesedihan yang sangat mendalam hingga dia enggan bertemu
dengan manusia. (Majalis al-‘ulama: 10, Inbaah ar-ruwaah: 2/359, Bughyatu
al-wu’ah: 2/230, Fathu al-qariib al-mujiib: 1/165, Nasy’atu an-nahwi: 53,
an-Nahwu wa an-nuhah: 323)
[6] Jumhur Ulama
memandang bahwa kebenaran menyertai Sibawaih karena dia berpegang dengan
al-Qur’an dan al-Qur’an adalah sebaik-baik hujjah. Namun politik berperan besar
pada kejadian itu. Hadirin tahu betul bahwa al-Kisa’i memiliki kedudukan di
mata khalifah ar-Rosyid dan jajarannya meskipun mereka yakin bahwa yang benar
adalah Sibawaih. (Inbaah ar-ruwaah: 2/359, Fathu al-qariib al-mujiib: 1/167,
Nasy’atu an-nahwi: 54, an-Nahwu wa an-nuhah: 323)
Bahkan
disebutkan bahwa sekelompok orang di sini adalah orang-orang telah dibayar
untuk mendukung al-Kisa’i (Hasyiyatu asy-Syummunni: 1/189)
0 komentar:
Posting Komentar