Senin, 11 September 2017

Kesetiaan Jamak Muannats Salim

   
      
          Bagi para pengkaji bahasa Arab, tidak asing di telinga mereka istilah jamak muannats salim. Jamak muannats salim adalah bentuk jamak dari isim muannats dengan penambahan huruf alif dan ta diakhir bentuk mufrodnya, sebagaimana Ibnu Malik menyebutkan: وَمَا بِتَا وَأَلِفٍ قَدْ جُمِعَا.[1] Kita ambil contoh مُسْلِمَةٌ jamaknya adalah مُسلماتٌ.
          Ditambahkan huruf alif dengan tujuan membedakannya dari fi’il yang diakhiri ta ta’nits. Dipilihnya huruf mad karena dia huruf tambahan yang paling utama. Dan dipilihnya huruf alif dari huruf ya dan wawu karena dia yang paling ringan. Muannats itu berat karena dia far’i (cabang), begitu juga jamak itu berat karena dia far’i. Sehingga jika dia membutuhkan huruf tambahan, maka dipilihlah yang paling ringan. Di samping itu, sebelumnya berharokat fathah sehingga lebih cocok jika ditambahkan alif setelahnya.
          Kemudian ditambahkan huruf ta diakhirnya sebagai pengganti wawu pada jamak mudzakkar. Karena memang seringkali huruf wawu diganti dengan huruf ta pada beberapa tempat seperti وُخْمَة menjadi تُخْمَة, وُجَاه menjadi تُجَاه. Di samping itu agar nuansa muannats-nya tidak hilang maka dipilihlah huruf ta.
Bukankah semestinya kita baca مُسلمتَاتٌ kemana huruf ta satunya?
          Perlu diketahui bahwa tidak boleh ada 2 tanda ta’nits dalam 1 isim. Itu sebabnya ketika kita menisbahkan mudzakkar pada isim muannats, kita buang huruf ta-nya, seperti مَكِّيّ isim nisbah dari مَكَّة, كُوفِيّ isim nisbah dari كُوفَة. Hal tersebut dilakukan demi tidak terkumpulnya 2 tanda ta’nits ketika dibuat muannats. Seandainya tidak kita hilangkan huruf ta-nya akan berdampak seperti berikut: مَكَّتِيّ muannatsnya مَكَّتِيَّة, كُوفَتِيّ muannatsnya كوفتيّة, ada 2 ta ta’nits dalam 1 kata. Begitu juga dengan kata مُسلمتَاتٌ terdapat 2 ta ta’nits di dalamnya sehingga harus dihilangkan salah satunya.
          Mengapa huruf ta yang pertama yang dihilangkan?
         Karena ta yang pertama hanya berfungsi sebagai tanda ta’nits, sedangkan ta kedua berfungsi sebagai tanda ta’nits dan jamak. Sehingga menghilangkan ta yang pertama lebih kecil mudhorotnya daripada menghilangkan ta yang kedua.
          Teman-teman sekalian, di sini saya ingin mengangkat sebuah pelajaran penting dari jamak muannats salim melalui sudut pandang yang berbeda. Yakni tentang kesetiaannya kepada jamak mudzakkar salim dengan segala keterbatasan dan pengorbanannya.
          Ikhwati fillah, sesungguhnya wanita itu bagian dari lelaki. Sebagaimana Rasulullah g bersabda: إنّما النساءُ شَقَائقُ الرجال [2]. Hal ini karena memang Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Tidak hanya dalam masalah syariat, namun juga dalam kaidah bahasa Arab. Itu sebabnya isim ‘alam muannats tidak bisa dimasuki tanwin sebagai tanda dia adalah bagian dari isim ‘alam mudzakkar, begitu juga a’jam bagian dari ‘arob, begitu juga ma’rifah bagian dari nakiroh, begitu juga jamak bagian dari mufrod, dan seterusnya.
         Kalau kita perhatikan, isim muannats selalu berusaha mengimbangi isim mudzakkar dalam banyak hal dengan segala keterbatasannya. Namun kali ini saya hanya akan menyampaikan 2 bukti dalam bentuk jamaknya saja.
          Pertama, jamak muannats salim diakhiri oleh tanwin muqobalah. Tanwin muqobalah adalah tanwin yang terdapat pada jamak muannats salim dengan tujuan untuk mengimbangi jamak mudzakkar salim. Bukankah bentuknya sama saja dengan tanwin pada umumnya (tanwin tamkin)? Apa yang membuat dia berbeda?
          Memang betul ketika dia mufrod kita sebut tanwin tamkin seperti مسلمةٌ, fungsi untuk menandakan bahwa dia munshorif. Adapun ketika dibuat jamak menjadi مسلماتٌ maka namanya menjadi tanwin muqobalah, karena fungsinya adalah untuk menyelaraskan dengan nun pada jamak muzakkar salim, seperti مسلمونَ. Apa buktinya bahwa dia bukan tanwin tamkin? Fungsi tersebut akan terasa jika terjadi pada isim ‘alam, seperti عائشةُ. Dia tidak boleh bertanwin karena dia isim ‘alam muannats. Namun ketika dibuat jamak, dia menjadi bertanwin untuk mengimbangi jamak mudzakkar salim yang diakhiri oleh nun, عائشاتٌ. Ini berlaku untuk semua tanwin pada jamak muannats salim, baik isim ‘alam atau bukan. Dari segi dzhohir, jamak muannats salim berusaha agar tampak serasi dengan jamak mudzakkar salim.
          Bukankah ketika jamak muannats salim diberi ال atau diwaqofkan akan hilang tanwinnya sedangkan nun jamak mudzakkar salim tetap ada? Ini sama sekali tidak sama dan tidak serasi.
          Inilah yang dimaksud dengan “berusaha dengan segala keterbatasannya”. Bukankah penyelarasan tidak mesti identik? Sebagaimana wanita tidak bisa sepenuhnya sejajar dengan lelaki. Tidakkah kita lihat لَيْسَ mirip dengan harf namun tetap kita perlakukan dia sebagai fi’il? Dan tidakkah kita lihat لَيْتَ mirip dengan fi’il namun tetap kita perlakukan dia sebagai harf? Untuk itu, sekuat apapun jamak muannats salim berusaha mengimbangi pasangannya, tetap tidak bisa kita samakan 100%.
          Kedua, coba kita perhatikan, satu-satunya isim mu’rob yang nashobnya ditandai dengan kasroh adalah jamak muannats salim. Ibnu Malik menyebutkan: يُكسَرُ في الجرِّ وفي النصبِ مَعَا.[3] Mengapa? Apa karena kita sulit mengucapkannya? Tidak, sama sekali tidak ada kesulitan ketika lisan kita malafalkan kata مُسْلِمَاتًا. Inilah usaha kedua jamak muannats salim agar tampak serasi dengan jamak mudzakkar salim. Kita tahu bahwa jamak mudzakkar salim dirafa’kan dengan wawu, dinashobkan dan dijarrkan dengan ya. Maka tanwin pada muannats salim mengimbangi nun pada mudzakkar salim, sedangkan dhommah dan kasroh mengimbangi wawu dan ya. Inilah yang dimaksud dengan “berusaha dengan segala keterbatasannya”. Yakni dia mampu menjadi isim yang hakiki (nashob dengan fathah), namun dia lebih memilih untuk mengalah demi mendampingi pasangannya.
          Semoga menjadi ibroh bagi kaum Hawa dan semoga kaum Adam dikaruniai istri yang mirip dengan jamak muannats salim....

Abu Kunaiza
Di Toriyo, Sukoharjo

Referensi:
At-Tabyin ‘an Madzahibin Nahwiyyain al-Bashriyyin wal Kufiyyin, Abul Baqo Abdullah Ibnul Husain al-‘Ukbary
Asrorul Arobiyyah, Abdurrahman bin Muhammad bin Ubaidullah al-Anbary
‘Ilalun Nahwi, Abul Hasan Muhammad bin Abdillah al-Warroq



[1] Alfiyyah Ibnu Malik: 4
[2] H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Albani
[3] Alfiyyah Ibnu Malik: 4

2 komentar:

  1. masyaallah,semoga ilmunya semakin barokah ustadz.

    BalasHapus
  2. Keren.. sangat keren... kalau berkenan, boleh share no WA bang? Pleasss... 087719191967.. saya sangat butuh konsultasi dalam hal bahasa arab.. saya ahmad, yogyakarta

    BalasHapus