“Hari
ini, aku lebih menguasai al-Kitab daripada Sibawaih" (Akhfasy)
Dialah
Sa’id bin Mas’adah, kuniyahnya Abul Hasan dan dikenal dengan julukan Akhfasy
Ausath (الأَخْفَشُ الأَوْسَطُ). Dijuluki Akhfasy karena kecilnya bola mata atau lemahnya
penglihatannya. Imam Suyuthi menyebutkan ada 11 ulama nahwu yang bernama
Akhfasy, dan ada 3 Akhfasy yang paling terkenal diantara mereka, yaitu Akhfasy
Akbar (Abul Khithob, Abdul Majid bin Abdul Majid, guru dari Sibawaih), Akhfasy
Ausath yang kita bicarakan sekarang ini, dan Akhfasy Ashghor (Aly bin Sulaiman
(murid dari al-Mubarrad dan Tsa’lab). Adapun jika disebutkan nama Akhfasy saja,
tanpa disebutkan sifatnya, nama aslinya, maupun kuniyahnya, maka yang dimaksud
adalah Akhfasy Ausath.
Tidak
diketahui persis kapan tahun lahir dan wafatnya, hanya saja literatur
menunjukkan bahwa dia lebih tua dari Sibawaih dan wafat lebih dari 20th setelah
Sibawaih wafat (180 H), ada juga yang menyebutkan tahun 215 H. Lahir di Kota
Balakh, Afghanistan, kemudian hijrah ke Bashrah, Iraq, untuk menuntut ilmu
bahasa di sana. Ciri fisiknya yang paling menonjol adalah kedua bibirnya selalu
terbuka sehingga gigi-giginya nampak, ada yang menyebutkan disebabkan bibir
bagian atasnya pendek.
Di
Bashrah dia memiliki sahabat seperjuangan dalam menimba ilmu bahasa dari para
Masyayikh, yang mana sahabatnya ini kelak di kemudian hari akan menjadi seorang
imam besar, tidak lain dialah Sibawaih. Sehingga tidak sulit mengetahui siapa
saja guru-guru Akhfasy ini, karena kepada siapa Sibawaih mengambil ilmu,
kepadanya pula Akhfasy bermulazamah. Ketahuilah bahwa
kepopuleran Sibawaih ini tidak lepas dari jasa sahabatnya, Akhfasy. Kisah
keduanya pernah saya singgung sekilas pada Masalah Zunburiyyah. Sehingga kita
mulai kisah Akhfasy ini dari kepulangan Sibawaih setelah kekalahannya melawan
Kisai di Baghdad.
Ketika
Sibawaih pulang dengan membawa kesedihan yang teramat sangat karena
kekalahannya atas Kisai di depan khalayak ramai dan disaksikan oleh Yahya
al-Barmaky salah seorang menteri Khalifah ar-Rasyid, maka Sibawaih pun menemui
Akhfasy di perbatasan Bashrah dan menceritakan apa yang terjadi. Setelah itu
Sibawaih pergi mengasingkan diri ke Ahwaz, yaitu sebuah perkampungan yang
terletak diantara Bashrah dan Persia. Dia tidak pulang ke Bashrah dan lebih
memilih untuk mengasingkan diri karena rasa malunya bertemu dengan para
pengikutnya, hingga dia wafat.
Setelah
mendengar kabar tersebut, maka Akhfasy pun pergi ke Baghdad dengan maksud
membalaskan dendam sahabatnya. Maka ketika itu dia langsung menuju masjidnya
Kisai. Akhfasy pun sholat shubuh berjamah di belakang Kisai. Selesai sholat,
Kisai tidak beranjak dari tempat duduknya dan di hadapannya ada ketiga muridnya
yaitu Farra, Ahmar, dan Ibnu Sa’dan. Kemudian Akhfasy mencoba mendekati dan
memberi salam, hingga dia menanyakan sekitar 100 pertanyaan seputar nahwu
kepada Kisai. Ajaibnya, setiap kali Kisai menjawab maka Akhfasy pun
menyalahkannya. Hal ini membuat murid-muridnya geram, andai saja Kisai tidak
menahannya maka hampir-hampir terjadi pengeroyokan. Kemudian Kisai bertanya:
“Demi Allah, apakah kamu Abul Hasan Sa’id bin Mas’adah?” maka Akhfasy menjawab:
“ya”. Keduanya memang sudah saling mendengar nama, namun inilah kali pertama
mereka bertemu. Kisai tahu persis bahwa Akhfasy adalah salah seorang pemuka
Madzhab Bashrah, terlebih lagi dia adalah sahabat Sibawaih, orang yang pernah
dia permalukan, tentu saja Kisai paham maksud dan tujuan Akhfasy menemuinya
adalah untuk membalaskan dendam sahabatnya. Namun Kisai adalah orang yang
cerdas, kalau dia mau bisa saja dia habisi Akhfasy yang seorang diri mendatangi
sarangnya orang-orang Kufah, namun sebaliknya justru dia berencana menjadikan
Akhfasy sebagai senjata untuk memajukan madrasahnya. Karena dia tahu kapasitas
kelimuan Akhfasy mengenai nahwu tidak diragukan lagi.
Maka
setelah Kisai mengetahui bahwa yang ada di hadapannya ini adalah Akhfasy, dia
pun berdiri dan memeluknya, kemudian mendudukkannya di sampingnya. Kemudian
Kisai berkata: “aku punya anak-anak, aku sangat berharap mereka mengikuti
jejakmu dan bisa menjadi orang yang berhasil dengan bimbinganmu, dan aku ingin
kau selalu berada di sisiku kemana pun aku pergi.” Kalaulah bukan karena harta
maka Akhfasy sudah pasti akan menolak. Namun sebagaimana diketahui bahwasanya
orang-orang Kufah sangat dekat dengan para penguasa, sehingga mereka serba
berkecukupan, itu pula yang mendorong mereka agar dapat mengalahkan Sibawaih
apapun caranya. Ini adalah permasalahan politik, dimana jika Sibawaih menang
tentu saja dia akan menjadi orang terdekatnya Khalifah. Adapun orang-orang
Bashrah, mereka tinggal di perkampungan, dimana mereka bisa berinteraksi
langsung dengan orang Badui dan mempelajari bahasa dari mereka. Itu sebabnya
Ruyasyi (salah seorang ulama Bashrah) berkata:
إِنَّمَا أَخَذْنَا اللُّغَةَ عَنْ
حَرَثَةِ الضِّبَابِ وَأَكَلَةِ اليَرَابِيْعِ، وَهؤُلَاءِ أَخَذُوا اللُّغَةَ عَنْ
أَهْلِ السَّوَادِ،
أَصْحَابُ الكَوَامِيْخِ وَأَكَلَةِ الشَّوَارِيْزِ
“sesungguhnya kami hanya mengambil bahasa
dari para pemburu kadal-kadal dan pemakan sumur-sumur (orang-orang Badui yang
bahasanya masih asli), sedangkan mereka (Kufiyyun) mengambil bahasa dari
orang-orang Iraq[1] (perkotaan), yang makan
olahan daging dan lemak juga minum susu yang kental”
Atas dasar tersebut, tidaklah kita dapati
orang-orang Bashrah mempelajari nahwu dari orang-orang Kufah kecuali Abu Zaid.
Namun sebaliknya banyak orang-orang Kufah yang mempelajari ilmu nahwu madzhab Bashrah,
bahkan imamnya sekalipun (Kisai), meski secara sembunyi-sembunyi.
Ulama
Kufah memiliki kedudukan di pemerintahan Baghdad, karena pendidikan
anak-anaknya mereka pasrahkan kepada ulama Kufah. Sebut saja Kisai dipercayakan
oleh Khalifah ar-Rasyid untuk mengajari kedua anaknya, hingga Kisai tua
digantikan oleh Ahmar. Begitu juga Khalifah al-Ma’mun mempercayakan kedua
anaknya kepada Farra.
Kita
kembali kepada kisah Akhfasy. Mengapa Kisai mempercayakan Akhfasy untuk
mendidik anak-anaknya? Jawabnya karena sepeninggalnya Sibawaih, Akhfasy-lah
satu-satunya orang yang paling memahami kitabnya Sibawaih yang juga dikenal
dengan nama Qur’anun Nahwi. Dialah orang yang paling dicari saat itu, karena
tidak ada jalan lain untuk mempelajari al-Kitab kecuali dengan istifadah kepada
Akhfasy. Sebagaimana al-Mubarrad meriwayatkan: “tidak ada seorang pun yang
pernah membacakan al-Kitab di hadapan Sibawaih, begitu juga Sibawaih tidak
pernah membacakannya kepada siapa pun, kecuali kepada Akhfasy, maka selepas
kematiannya, al-Kitab hanya dibacakan di hadapan Akhfasy”. Bahkan Akhfasy
menjadi orang yang paling menguasai al-Kitab daripada penulisnya sendiri, hal
ini berdasarkan penuturannya: “tidaklah Sibawaih menulis sesuatu pada kitabnya
melainkan dia menunjukkannya terlebih dahulu kepadaku, dia mengira bahwa aku
lebih berilmu darinya padahal dia lebih berilmu dariku, adapun hari ini, aku
lebih menguasai al-Kitab darinya”. Mengapa dia berani mengatakan hal itu?
Karena seringnya Akhfasy menggunakan kitab tersebut, belajar dan mengajar,
membaca dan menyimak. Adapun Sibawaih hanya mengajarkannya kepada Akhfasy
sebelum dia wafat. Atas dasar itu diam-diam Kisai mempelajari al-Kitab dengan
cara membacakannya di hadapan Akhfasy dengan imbalan 70 dinar setiap kali
selesai membaca.
Tanpa
disadari Akhfasy-lah yang membumikan al-Kitab, dialah yang mengenalkan kitab
tersebut kepada dunia. Diantara murid Akhfasy adalah Jarmy dan Maziny
menceritakan bahwa begitu hormatnya dan cintanya Akhfasy terhadap al-Kitab,
karena dengannya dia menjadi seorang imam dan dengannya pula dia memperoleh
penghidupan, sampai-sampai mereka khawatir suatu saat Akhfasy akan mengklaim
bahwa al-Kitab adalah karyanya sendiri. Sehingga mereka berinisiatif setiap
kali mereka membacakannya di hadapan Akhfasy dan di hadapan orang-orang maka mereka
selalu menyebut-nyebut bahwa kitab tersebut milik Sibawaih hingga Akhfasy tidak
bisa mengklaimnya.
Seiring berjalannya waktu, hilanglah
tujuan awal Akhfasy menemui Kisai, hingga lama kelamaan dia semakin dekat dengan
orang-orang Kufah. Meskipun dia adalah seorang Imam Bashrah namun sedikit demi
sedikit dia mulai terbiasa dengan madzhab Kufah. Dan karena kecerdasannya, Akhfasy
adalah orang pertama yang mengkritik pemahaman-pemahaman Sibawaih, gurunya
sendiri. Hingga suatu saat dia diminta oleh Kisai untuk dibuatkan sebuah kitab dengan
judul “Ma’anil Qur’an”, dimana kitab tersebut dijadikan rujukan utama bagi
Kisai dan menjadi inspirasi dari kitab Ma’anil Qur’an milik Farra. Namun sebenarnya
kitab tersebut dibuat olehnya untuk menandingi al-Kitab yang banyak disanjung
banyak orang hingga saat ini. Selama ini dia menyebarkan pemahamannya
menggunakan kitabnya Sibawaih. Maka dari itu dia berharap bisa mengeluarkan
sebuah kitab yang dengannya dia bisa mengenalkan jati diri dan ideologinya
kepada khalayak umum namun dengan penyajian yang berbeda dengan al-Kitab, yakni
dengan memilih al-Qur’an sebagai objek pembahasannya. Dari kitab itu pula kita
bisa melihat bahwa Akhfasy adalah seorang mu’tazily. Kemudian Akhfasy juga
membuat sebuah kitab yang dijadikan rujukan orang-orang Kufah yang berjudul
“al-Masailul Kabir”.
Kemunculan Akhfasy di tengah-tengah Kufiyyin
memberi warna baru bagi madzhab mereka. Meskipun begitu, tidak pernah sekali
pun Akhfasy mendeklarasikan bahwa dirinya bermadzhab Kufah, sama sekali.
Meskipun banyaknya perbedaan pandangan dengan Sibawaih, meskipun dia banyak
mengajarkan ilmu kepada warga Kufah dan menghasilkan banyak kitab untuk mereka.
Bahkan jika kita mau melihat literatur yang ada, tidak akan kita jumpai ada majelis
perdebatan antara Akhfasy dengan orang Kufah, tidak seperti kebanyakan ulama
Bashrah lainnya yang pasti mau tidak mau pernah mengalami munadzhoroh (diskusi
ilmiah) dengan ulama Kufah. Namun uniknya, Akhfasy tidak pernah menggunakan
istilah-istilah nahwu madzhab Kufah dan menisbahkan dirinya sebagai Kufi. Sebaliknya,
di kitabnya “Ma’anil Qur’an” tidak kita jumpai adanya nukilan perkataan Sibawaih
maupun pendapatnya. Bahkan tidak jarang dia mengeluarkan hukum sendiri yang
menyelisihi kedua madzhab tersebut. Maka tidak heran orang-orang dibuatnya
bingung, terkadang disematkan kata al-Bashri pada namanya, terkadang juga disematkan
kata al-Kufi. Terkadang namanya muncul di deretan nama-nama Bashriyyin,
terkadang juga ada di deretan nama Kufiyyin. Namun tahukah mereka, dari Akhfasy
inilah cikal bakal madzhab Baghdad akan lahir. Sehingga tidak heran jika
madzhab Baghdad memasukkan namanya di deretan nomor 1 di kitab-kitab mereka.
Inilah
kisah Akhfasy Ausath yang kecerdasannya mampu menjembatani 2 madzhab besar yang
saling bertentangan dan membawanya ke madzhab yang baru. Hingga seorang Farra
pun yang semula tidak suka akan kehadiran Akhfasy, namun di akhir hayatnya
mengikuti jejak Akhfasy dan perlahan meninggalkan madzhabnya. Farra pun
mengagumi kecerdasan Akhfasy, tatkala dia diberi gelar “Sayyidu Ahlil Lughah”
(Pemimpinnya Ahli Bahasa), maka Farra menjawab:
"أمّا ما دام الأخفش يعيش فلا"
“selama
Akhfasy masih hidup, maka tidak benar”
Rizki Gumilar
di Toriyo, Sukoharjo
Referensi:
Kitab Ma’anil Qur’an, Abul Hasan Sa’id
bin Mas’adah al-Akhfasy al-Ausath
Al-Madrasah al-Baghdadiyyah fi Tarikhin
Nahwil ‘Arabi, Dr. Mahmud Husaini Mahmud
Al-Madzahibun Nahwiyyah fi Dhouid
Dirosatil Lughawiyyatil Haditsah, Dr. Musthofa Abdul Aziz as-Sinjarji
Nasy’atun Nahwi wa Tarikhu Asyharin
Nuhah, Syaikh Ahmad ath-Thonthowi
Bughyatul Wu’ah fi Thobaqotil Lughowiyyin
wan Nuhah, al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman as-Suyyuthi
Al-Muzhir fi ‘Ulumil Lughoh wa Anwa’iha,
al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman as-Suyyuthi
Ushulul Lughoh wan Nahwi Bainal Akhfasy
wal Farra, Ahmad asy-Syayib ‘Irbawi
Mu’jamul Udaba (Irsyadul Arib ila
Ma’rifatil Adib), Yaquth al-Hamawi ar-Rumi
Nuzhatul Alba fi Thobaqotil Udaba, Dr.
Ibrohim as-Samiro’i
Majalisul ‘Ulama, Abul Qosim Abdurrahman
bin Ishaq az-Zajjaji
Lisanul ‘Arob, Ibnu Mandzur
[1] Penduduk Iraq disebut ahlu sawad karena
tanahnya yang terlihat hitam disebabkan banyaknya pepohonan.
0 komentar:
Posting Komentar