Rabu, 06 September 2017

Akhfasy di Persimpangan Tiga Madzhab Nahwu


“Hari ini, aku lebih menguasai al-Kitab daripada Sibawaih" (Akhfasy)



Dialah Sa’id bin Mas’adah, kuniyahnya Abul Hasan dan dikenal dengan julukan Akhfasy Ausath (الأَخْفَشُ الأَوْسَطُ). Dijuluki Akhfasy karena kecilnya bola mata atau lemahnya penglihatannya. Imam Suyuthi menyebutkan ada 11 ulama nahwu yang bernama Akhfasy, dan ada 3 Akhfasy yang paling terkenal diantara mereka, yaitu Akhfasy Akbar (Abul Khithob, Abdul Majid bin Abdul Majid, guru dari Sibawaih), Akhfasy Ausath yang kita bicarakan sekarang ini, dan Akhfasy Ashghor (Aly bin Sulaiman (murid dari al-Mubarrad dan Tsa’lab). Adapun jika disebutkan nama Akhfasy saja, tanpa disebutkan sifatnya, nama aslinya, maupun kuniyahnya, maka yang dimaksud adalah Akhfasy Ausath.
Tidak diketahui persis kapan tahun lahir dan wafatnya, hanya saja literatur menunjukkan bahwa dia lebih tua dari Sibawaih dan wafat lebih dari 20th setelah Sibawaih wafat (180 H), ada juga yang menyebutkan tahun 215 H. Lahir di Kota Balakh, Afghanistan, kemudian hijrah ke Bashrah, Iraq, untuk menuntut ilmu bahasa di sana. Ciri fisiknya yang paling menonjol adalah kedua bibirnya selalu terbuka sehingga gigi-giginya nampak, ada yang menyebutkan disebabkan bibir bagian atasnya pendek.
Di Bashrah dia memiliki sahabat seperjuangan dalam menimba ilmu bahasa dari para Masyayikh, yang mana sahabatnya ini kelak di kemudian hari akan menjadi seorang imam besar, tidak lain dialah Sibawaih. Sehingga tidak sulit mengetahui siapa saja guru-guru Akhfasy ini, karena kepada siapa Sibawaih mengambil ilmu, kepadanya pula Akhfasy bermulazamah. Ketahuilah bahwa kepopuleran Sibawaih ini tidak lepas dari jasa sahabatnya, Akhfasy. Kisah keduanya pernah saya singgung sekilas pada Masalah Zunburiyyah. Sehingga kita mulai kisah Akhfasy ini dari kepulangan Sibawaih setelah kekalahannya melawan Kisai di Baghdad.
Ketika Sibawaih pulang dengan membawa kesedihan yang teramat sangat karena kekalahannya atas Kisai di depan khalayak ramai dan disaksikan oleh Yahya al-Barmaky salah seorang menteri Khalifah ar-Rasyid, maka Sibawaih pun menemui Akhfasy di perbatasan Bashrah dan menceritakan apa yang terjadi. Setelah itu Sibawaih pergi mengasingkan diri ke Ahwaz, yaitu sebuah perkampungan yang terletak diantara Bashrah dan Persia. Dia tidak pulang ke Bashrah dan lebih memilih untuk mengasingkan diri karena rasa malunya bertemu dengan para pengikutnya, hingga dia wafat.
Setelah mendengar kabar tersebut, maka Akhfasy pun pergi ke Baghdad dengan maksud membalaskan dendam sahabatnya. Maka ketika itu dia langsung menuju masjidnya Kisai. Akhfasy pun sholat shubuh berjamah di belakang Kisai. Selesai sholat, Kisai tidak beranjak dari tempat duduknya dan di hadapannya ada ketiga muridnya yaitu Farra, Ahmar, dan Ibnu Sa’dan. Kemudian Akhfasy mencoba mendekati dan memberi salam, hingga dia menanyakan sekitar 100 pertanyaan seputar nahwu kepada Kisai. Ajaibnya, setiap kali Kisai menjawab maka Akhfasy pun menyalahkannya. Hal ini membuat murid-muridnya geram, andai saja Kisai tidak menahannya maka hampir-hampir terjadi pengeroyokan. Kemudian Kisai bertanya: “Demi Allah, apakah kamu Abul Hasan Sa’id bin Mas’adah?” maka Akhfasy menjawab: “ya”. Keduanya memang sudah saling mendengar nama, namun inilah kali pertama mereka bertemu. Kisai tahu persis bahwa Akhfasy adalah salah seorang pemuka Madzhab Bashrah, terlebih lagi dia adalah sahabat Sibawaih, orang yang pernah dia permalukan, tentu saja Kisai paham maksud dan tujuan Akhfasy menemuinya adalah untuk membalaskan dendam sahabatnya. Namun Kisai adalah orang yang cerdas, kalau dia mau bisa saja dia habisi Akhfasy yang seorang diri mendatangi sarangnya orang-orang Kufah, namun sebaliknya justru dia berencana menjadikan Akhfasy sebagai senjata untuk memajukan madrasahnya. Karena dia tahu kapasitas kelimuan Akhfasy mengenai nahwu tidak diragukan lagi.
Maka setelah Kisai mengetahui bahwa yang ada di hadapannya ini adalah Akhfasy, dia pun berdiri dan memeluknya, kemudian mendudukkannya di sampingnya. Kemudian Kisai berkata: “aku punya anak-anak, aku sangat berharap mereka mengikuti jejakmu dan bisa menjadi orang yang berhasil dengan bimbinganmu, dan aku ingin kau selalu berada di sisiku kemana pun aku pergi.” Kalaulah bukan karena harta maka Akhfasy sudah pasti akan menolak. Namun sebagaimana diketahui bahwasanya orang-orang Kufah sangat dekat dengan para penguasa, sehingga mereka serba berkecukupan, itu pula yang mendorong mereka agar dapat mengalahkan Sibawaih apapun caranya. Ini adalah permasalahan politik, dimana jika Sibawaih menang tentu saja dia akan menjadi orang terdekatnya Khalifah. Adapun orang-orang Bashrah, mereka tinggal di perkampungan, dimana mereka bisa berinteraksi langsung dengan orang Badui dan mempelajari bahasa dari mereka. Itu sebabnya Ruyasyi (salah seorang ulama Bashrah) berkata:
إِنَّمَا أَخَذْنَا اللُّغَةَ عَنْ حَرَثَةِ الضِّبَابِ وَأَكَلَةِ اليَرَابِيْعِ، وَهؤُلَاءِ أَخَذُوا اللُّغَةَ عَنْ أَهْلِ السَّوَادِ، أَصْحَابُ الكَوَامِيْخِ وَأَكَلَةِ الشَّوَارِيْزِ
“sesungguhnya kami hanya mengambil bahasa dari para pemburu kadal-kadal dan pemakan sumur-sumur (orang-orang Badui yang bahasanya masih asli), sedangkan mereka (Kufiyyun) mengambil bahasa dari orang-orang Iraq[1] (perkotaan), yang makan olahan daging dan lemak juga minum susu yang kental”
Atas dasar tersebut, tidaklah kita dapati orang-orang Bashrah mempelajari nahwu dari orang-orang Kufah kecuali Abu Zaid. Namun sebaliknya banyak orang-orang Kufah yang mempelajari ilmu nahwu madzhab Bashrah, bahkan imamnya sekalipun (Kisai), meski secara sembunyi-sembunyi.
          Ulama Kufah memiliki kedudukan di pemerintahan Baghdad, karena pendidikan anak-anaknya mereka pasrahkan kepada ulama Kufah. Sebut saja Kisai dipercayakan oleh Khalifah ar-Rasyid untuk mengajari kedua anaknya, hingga Kisai tua digantikan oleh Ahmar. Begitu juga Khalifah al-Ma’mun mempercayakan kedua anaknya kepada Farra.
          Kita kembali kepada kisah Akhfasy. Mengapa Kisai mempercayakan Akhfasy untuk mendidik anak-anaknya? Jawabnya karena sepeninggalnya Sibawaih, Akhfasy-lah satu-satunya orang yang paling memahami kitabnya Sibawaih yang juga dikenal dengan nama Qur’anun Nahwi. Dialah orang yang paling dicari saat itu, karena tidak ada jalan lain untuk mempelajari al-Kitab kecuali dengan istifadah kepada Akhfasy. Sebagaimana al-Mubarrad meriwayatkan: “tidak ada seorang pun yang pernah membacakan al-Kitab di hadapan Sibawaih, begitu juga Sibawaih tidak pernah membacakannya kepada siapa pun, kecuali kepada Akhfasy, maka selepas kematiannya, al-Kitab hanya dibacakan di hadapan Akhfasy”. Bahkan Akhfasy menjadi orang yang paling menguasai al-Kitab daripada penulisnya sendiri, hal ini berdasarkan penuturannya: “tidaklah Sibawaih menulis sesuatu pada kitabnya melainkan dia menunjukkannya terlebih dahulu kepadaku, dia mengira bahwa aku lebih berilmu darinya padahal dia lebih berilmu dariku, adapun hari ini, aku lebih menguasai al-Kitab darinya”. Mengapa dia berani mengatakan hal itu? Karena seringnya Akhfasy menggunakan kitab tersebut, belajar dan mengajar, membaca dan menyimak. Adapun Sibawaih hanya mengajarkannya kepada Akhfasy sebelum dia wafat. Atas dasar itu diam-diam Kisai mempelajari al-Kitab dengan cara membacakannya di hadapan Akhfasy dengan imbalan 70 dinar setiap kali selesai membaca.
          Tanpa disadari Akhfasy-lah yang membumikan al-Kitab, dialah yang mengenalkan kitab tersebut kepada dunia. Diantara murid Akhfasy adalah Jarmy dan Maziny menceritakan bahwa begitu hormatnya dan cintanya Akhfasy terhadap al-Kitab, karena dengannya dia menjadi seorang imam dan dengannya pula dia memperoleh penghidupan, sampai-sampai mereka khawatir suatu saat Akhfasy akan mengklaim bahwa al-Kitab adalah karyanya sendiri. Sehingga mereka berinisiatif setiap kali mereka membacakannya di hadapan Akhfasy dan di hadapan orang-orang maka mereka selalu menyebut-nyebut bahwa kitab tersebut milik Sibawaih hingga Akhfasy tidak bisa mengklaimnya.
          Seiring berjalannya waktu, hilanglah tujuan awal Akhfasy menemui Kisai, hingga lama kelamaan dia semakin dekat dengan orang-orang Kufah. Meskipun dia adalah seorang Imam Bashrah namun sedikit demi sedikit dia mulai terbiasa dengan madzhab Kufah. Dan karena kecerdasannya, Akhfasy adalah orang pertama yang mengkritik pemahaman-pemahaman Sibawaih, gurunya sendiri. Hingga suatu saat dia diminta oleh Kisai untuk dibuatkan sebuah kitab dengan judul “Ma’anil Qur’an”, dimana kitab tersebut dijadikan rujukan utama bagi Kisai dan menjadi inspirasi dari kitab Ma’anil Qur’an milik Farra. Namun sebenarnya kitab tersebut dibuat olehnya untuk menandingi al-Kitab yang banyak disanjung banyak orang hingga saat ini. Selama ini dia menyebarkan pemahamannya menggunakan kitabnya Sibawaih. Maka dari itu dia berharap bisa mengeluarkan sebuah kitab yang dengannya dia bisa mengenalkan jati diri dan ideologinya kepada khalayak umum namun dengan penyajian yang berbeda dengan al-Kitab, yakni dengan memilih al-Qur’an sebagai objek pembahasannya. Dari kitab itu pula kita bisa melihat bahwa Akhfasy adalah seorang mu’tazily. Kemudian Akhfasy juga membuat sebuah kitab yang dijadikan rujukan orang-orang Kufah yang berjudul “al-Masailul Kabir”.
Kemunculan Akhfasy di tengah-tengah Kufiyyin memberi warna baru bagi madzhab mereka. Meskipun begitu, tidak pernah sekali pun Akhfasy mendeklarasikan bahwa dirinya bermadzhab Kufah, sama sekali. Meskipun banyaknya perbedaan pandangan dengan Sibawaih, meskipun dia banyak mengajarkan ilmu kepada warga Kufah dan menghasilkan banyak kitab untuk mereka. Bahkan jika kita mau melihat literatur yang ada, tidak akan kita jumpai ada majelis perdebatan antara Akhfasy dengan orang Kufah, tidak seperti kebanyakan ulama Bashrah lainnya yang pasti mau tidak mau pernah mengalami munadzhoroh (diskusi ilmiah) dengan ulama Kufah. Namun uniknya, Akhfasy tidak pernah menggunakan istilah-istilah nahwu madzhab Kufah dan menisbahkan dirinya sebagai Kufi. Sebaliknya, di kitabnya “Ma’anil Qur’an” tidak kita jumpai adanya nukilan perkataan Sibawaih maupun pendapatnya. Bahkan tidak jarang dia mengeluarkan hukum sendiri yang menyelisihi kedua madzhab tersebut. Maka tidak heran orang-orang dibuatnya bingung, terkadang disematkan kata al-Bashri pada namanya, terkadang juga disematkan kata al-Kufi. Terkadang namanya muncul di deretan nama-nama Bashriyyin, terkadang juga ada di deretan nama Kufiyyin. Namun tahukah mereka, dari Akhfasy inilah cikal bakal madzhab Baghdad akan lahir. Sehingga tidak heran jika madzhab Baghdad memasukkan namanya di deretan nomor 1 di kitab-kitab mereka.
          Inilah kisah Akhfasy Ausath yang kecerdasannya mampu menjembatani 2 madzhab besar yang saling bertentangan dan membawanya ke madzhab yang baru. Hingga seorang Farra pun yang semula tidak suka akan kehadiran Akhfasy, namun di akhir hayatnya mengikuti jejak Akhfasy dan perlahan meninggalkan madzhabnya. Farra pun mengagumi kecerdasan Akhfasy, tatkala dia diberi gelar “Sayyidu Ahlil Lughah” (Pemimpinnya Ahli Bahasa), maka Farra menjawab:
"أمّا ما دام الأخفش يعيش فلا"
“selama Akhfasy masih hidup, maka tidak benar”

Rizki Gumilar
di Toriyo, Sukoharjo

Referensi:
Kitab Ma’anil Qur’an, Abul Hasan Sa’id bin Mas’adah al-Akhfasy al-Ausath

Al-Madrasah al-Baghdadiyyah fi Tarikhin Nahwil ‘Arabi, Dr. Mahmud Husaini Mahmud

Al-Madzahibun Nahwiyyah fi Dhouid Dirosatil Lughawiyyatil Haditsah, Dr. Musthofa Abdul Aziz as-Sinjarji

Nasy’atun Nahwi wa Tarikhu Asyharin Nuhah, Syaikh Ahmad ath-Thonthowi

Bughyatul Wu’ah fi Thobaqotil Lughowiyyin wan Nuhah, al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman as-Suyyuthi

Al-Muzhir fi ‘Ulumil Lughoh wa Anwa’iha, al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman as-Suyyuthi

Ushulul Lughoh wan Nahwi Bainal Akhfasy wal Farra, Ahmad asy-Syayib ‘Irbawi

Mu’jamul Udaba (Irsyadul Arib ila Ma’rifatil Adib), Yaquth al-Hamawi ar-Rumi

Nuzhatul Alba fi Thobaqotil Udaba, Dr. Ibrohim as-Samiro’i

Majalisul ‘Ulama, Abul Qosim Abdurrahman bin Ishaq az-Zajjaji


Lisanul ‘Arob, Ibnu Mandzur





[1] Penduduk Iraq disebut ahlu sawad karena tanahnya yang terlihat hitam disebabkan banyaknya pepohonan.

0 komentar:

Posting Komentar