Rabu, 06 September 2017

Adl, kaidah yang terlupakan (bag. 3)


b.      Ukhor (أُخَرُ)
أُخَرُ merupakan jamak dari أُخْرَى, sedangkan أُخْرَى adalah bentuk muannats dari isim tafdhil آخَرُ yang dimahdzufkan huruf مِنْ nya dalam penggunaannya menurut jumhur.[1] Ketahuilah bahwa isim tafdhil jika dalam keadaan nakiroh (tidak ber ال dan tidak idhofah) maka selalu dalam bentuk mufrod mudzakkar (tidak dibuat muannats, mutsanna, atau jamak). Hal ini dikarenakan pada kondisi nakiroh, kemiripannya dengan fi’il sangat dekat, mengingat fi’il juga tidak bisa ber ال dan tidak bisa idhofah. Tidakkah kita lihat bahwa fi’il pada asalnya berbentuk mufrod mudzakkar (هو) dan tidak bisa menta’nits dirinya, sebagaimana contoh: قامتْ إلهام , huruf ta sukun di sana hakikatnya sebagai tanda ta’nits fa’il bukan fi’il, karena jika kita ganti fa’ilnya menjadi mudzakkar maka fi’il tidak bisa menta’nits dirinya sendiri menjadi: قامتْ أحمد.[2] Contoh kalimat sesuai kaidah tersebut adalah:
مررتُ بِرجلٍ آخرَ، ورجلين آخرَ، ورجال آخر، وامرأة آخرَ، وامرأتين آخرَ، ونساء آخرَ.
Namun orang Arab menggantinya dari bentuk asalnya (qiyashi) yaitu mufrod mudzakkar menjadi أُخرى untuk mufrod muannats, أُخَر untuk jamak muannats, آخَرانِ untuk mutsanna, dan آخَرونَ untuk jamak mudzakkar. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى ۚ (البقرة: 282)، فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ (البقرة: 184)، وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ (التوبة: 102)، فَآخَرَانِ يَقُومَانِ (المائدة: 107)
Dari sini Ibnu Malik[3] dan Abu Hayyan[4] berpendapat bahwa أُخَر merupakan bentuk 'adl dari آخَرُ. Dengan dasar yang telah disebutkan di atas tadi, bahwa semestinya isim tafdhil berbentuk mufrod mudzakkar ketika nakiroh. Dengan kata lain jika kita dapati isim tafdhil dalam bentuk jamak muannats: أُخَر dalam keadaan nakiroh, maka hakikatnya dia menggantikan kata آخَرُ.
Mengapa أخرى, آخران, dan آخرون tidak dimasukkan ke dalam ‘adl juga sebagaimana أُخَر ? karena أخرى diakhiri dengan alif ta’nits yang mana merupakan ‘illah tersendiri yang lebih jelas dari ‘adl yang menyebabkan dia ghairu munsharif. Sedangkan آخران dan آخرون keduanya mu’rob dengan huruf sehingga tidak masuk ke dalam ghairu munsharif.[5]

Faedah yang bisa diambil:
·         Tidak tepat pendapat mereka yang mengatakan bahwa أُخَر adalah ‘adl dari الأُخَر, karena jika memang benar seperti itu maka ada perubahan lafadz juga perubahan makna dari ma’rifah menjadi nakiroh dan ini bertentangan dengan kaidah ‘adl. Jika mereka mengatakan bahwa أُخَر di sini adalah ma’rifah sebagaimana أمسِ dan سَحَر, sehingga perubahannya hanya dalam lafadz sedangkan maknanya tetap ma’rifah, maka tidak mungkin dia menjadi sifat dari nakiroh sebagaimana pada ayat: فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ .[6]
·         Dan tidak tepat pendapat mereka yang mengatakan bahwa أُخَر adalah ‘adl dari آخَرُ مِن. Sebagaimana diketahui bahwa isim tafdhil ketika jamak tidak bisa dimasuki huruf مِن, jadi mana mungkin dia ‘adl dari kata yang mengandung مِن ? karena dengan serta merta huruf tersebut akan terkandung dalam kata أُخَر karena tidak bolehnya ada perubahan makna.[7]
·         Sebagaimana ‘adad mukarror, أُخَر juga tidak bisa dimasuki tanwin dalam keadaan nakiroh maupun ma’rifah.[8]
·         Tujuan dari ‘adl ini adalah untuk mengokohkan makna jamak muannats pada آخَرُ sehingga tidak tertukar dengan makna آخَرُ yang lain.


Rizki Gumilar
di Kampung Santri


[1] Syarhul luma’: 452, Syarhul mufashshol: 6/154, Irtisyafudh dhorob: 2/873, Syarhut tashrih: 2/327, Lisanul ‘arab: 4/13
[2] Syarhul mufashshol: 6/147, Syarhut tashrih: 2/327
[3] Syarh al-kafiyyah asy-syafiyyah: 3/1450
[4] Irtisyafudh dhorob: 2/873
[5] Syarh alfiyyah libni an-nadzhim: 457, Audhohul masalik: 4/123, Syarhut tashrih: 2/328, Hasyiyatush shobban: 3/352, Hasyiyatul khudhori: 2/100
[6] Syarhul kafiyah: 1/103
[7] Ash-Shofwatush shofiyyah: 1/352
[8] Al-Masaailul mantsuroh: masalah no. 380

0 komentar:

Posting Komentar