b.
Ukhor (أُخَرُ)
أُخَرُ merupakan jamak
dari أُخْرَى,
sedangkan أُخْرَى adalah
bentuk muannats dari isim tafdhil آخَرُ yang
dimahdzufkan huruf مِنْ nya dalam penggunaannya menurut jumhur.[1] Ketahuilah bahwa isim tafdhil jika dalam keadaan
nakiroh (tidak ber ال dan
tidak idhofah) maka selalu dalam bentuk mufrod mudzakkar (tidak dibuat
muannats, mutsanna, atau jamak). Hal ini dikarenakan pada kondisi nakiroh,
kemiripannya dengan fi’il sangat dekat, mengingat fi’il juga tidak bisa ber ال dan tidak bisa idhofah. Tidakkah kita
lihat bahwa fi’il pada asalnya berbentuk mufrod mudzakkar (هو) dan tidak bisa menta’nits dirinya,
sebagaimana contoh: قامتْ
إلهام , huruf ta sukun di sana hakikatnya sebagai
tanda ta’nits fa’il bukan fi’il, karena jika kita ganti fa’ilnya menjadi
mudzakkar maka fi’il tidak bisa menta’nits dirinya sendiri menjadi: قامتْ
أحمد.[2] Contoh kalimat sesuai kaidah tersebut adalah:
مررتُ بِرجلٍ آخرَ، ورجلين آخرَ، ورجال آخر،
وامرأة آخرَ، وامرأتين آخرَ، ونساء آخرَ.
Namun orang Arab menggantinya dari bentuk asalnya
(qiyashi) yaitu mufrod mudzakkar menjadi أُخرى untuk mufrod muannats, أُخَر untuk jamak muannats, آخَرانِ untuk mutsanna, dan آخَرونَ untuk
jamak mudzakkar. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
فَتُذَكِّرَ
إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى ۚ (البقرة: 282)، فَعِدَّةٌ
مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ (البقرة: 184)، وَآخَرُونَ
اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ (التوبة: 102)، فَآخَرَانِ
يَقُومَانِ (المائدة:
107)
Dari sini Ibnu Malik[3] dan Abu Hayyan[4] berpendapat bahwa أُخَر merupakan bentuk 'adl dari آخَرُ. Dengan dasar yang telah disebutkan di
atas tadi, bahwa semestinya isim tafdhil berbentuk mufrod mudzakkar ketika
nakiroh. Dengan kata lain jika kita dapati isim tafdhil dalam bentuk jamak
muannats: أُخَر dalam keadaan
nakiroh, maka hakikatnya dia menggantikan kata آخَرُ.
Mengapa أخرى, آخران, dan آخرون tidak dimasukkan ke dalam ‘adl juga
sebagaimana أُخَر ?
karena أخرى diakhiri dengan alif ta’nits yang mana merupakan
‘illah tersendiri yang lebih jelas dari ‘adl yang menyebabkan dia ghairu
munsharif. Sedangkan آخران dan آخرون keduanya
mu’rob dengan huruf sehingga tidak masuk ke dalam ghairu munsharif.[5]
Faedah yang bisa diambil:
·
Tidak tepat pendapat mereka yang mengatakan bahwa أُخَر adalah
‘adl dari الأُخَر, karena
jika memang benar seperti itu maka ada perubahan lafadz juga perubahan makna
dari ma’rifah menjadi nakiroh dan ini bertentangan dengan kaidah ‘adl. Jika
mereka mengatakan bahwa أُخَر di sini adalah
ma’rifah sebagaimana أمسِ dan سَحَر, sehingga perubahannya hanya dalam lafadz
sedangkan maknanya tetap ma’rifah, maka tidak mungkin dia menjadi sifat dari
nakiroh sebagaimana pada ayat: فَعِدَّةٌ مِّنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ .[6]
·
Dan tidak tepat pendapat mereka yang mengatakan bahwa أُخَر adalah
‘adl dari آخَرُ مِن.
Sebagaimana diketahui bahwa isim tafdhil ketika jamak tidak bisa dimasuki huruf
مِن, jadi
mana mungkin dia ‘adl dari kata yang mengandung مِن ?
karena dengan serta merta huruf tersebut akan terkandung dalam kata أُخَر karena
tidak bolehnya ada perubahan makna.[7]
·
Sebagaimana
‘adad mukarror, أُخَر juga tidak bisa
dimasuki tanwin dalam keadaan nakiroh maupun ma’rifah.[8]
·
Tujuan
dari ‘adl ini adalah untuk mengokohkan makna jamak muannats pada آخَرُ sehingga tidak tertukar dengan makna آخَرُ yang
lain.
Rizki Gumilar
di Kampung Santri
[1] Syarhul luma’:
452, Syarhul mufashshol: 6/154, Irtisyafudh dhorob: 2/873, Syarhut tashrih:
2/327, Lisanul ‘arab: 4/13
[2] Syarhul
mufashshol: 6/147, Syarhut tashrih: 2/327
[3] Syarh
al-kafiyyah asy-syafiyyah: 3/1450
[5] Syarh alfiyyah
libni an-nadzhim: 457, Audhohul masalik: 4/123, Syarhut tashrih: 2/328,
Hasyiyatush shobban: 3/352, Hasyiyatul khudhori: 2/100
[7] Ash-Shofwatush
shofiyyah: 1/352
0 komentar:
Posting Komentar