c.
‘Alam muannats dengan wazan فَعَال
Jenis ‘adl ini sama kedudukannya dengan ‘alam
mudzakkar, yakni sebagaimana عُمَر
terambil dari kata عامِر, maka قَثام terambil
dari kata قاثِمَة.[1] Begitu juga keduanya sama-sama sama’i.[2] Hanya
saja semua wazan فُعَل masuk
ke dalam isim mu’rab, baik dia munsharif maupun ghairu munsharif. Sedangkan
wazan فَعَال ada
yang masuk ke dalam isim mu’rab dan ada juga yang masuk ke dalam isim mabni,
meskipun semuanya masuk ke dalam bab ‘adl. Insya Allah akan kita bahas satu
persatu.
Mayoritas Bani Tamim memasukkan isim ‘alam muannats
dengan wazan فَعَال ke dalam isim
ghairu munsharif kecuali kata yang diakhiri huruf ro’ maka dia mabni dengan
harakat kasrah, seperti سَفارِ dan حَضارِ. Mereka melakukan hal itu tidak lain
karena sifat huruf ro’ yang bergetar, dan huruf ro’ hanya bisa bergetar jika
berharakat kasrah sehingga terasa lebih ringan.[3] Kaidah
ini disebut imalah dalam ilmu bahasa. Syaikh Utsaimin menyebutkan bahwa imalah
ini hanya sebatas dialek yang banyak digunakan oleh orang-orang Najd
(diantaranya Bani Tamim), dan ini bukanlah hal yang wajib.[4]
Menurut Sibawaih bahasa Bani Tamim inilah yang
sesuai dengan kaidah (qiyasi), sehingga dibaca هذه
رَقاشُ sebagaimana bab عُمَر.[5] Hanya saja ulama berselisih pendapat tentang
alasan Bani Tamim memasukkannya ke dalam isim ghairu munsharif, yang mana
terbagi ke dalam 2 pendapat: Pendapat pertama menyebutkan bahwa yang
menyebabkan dia tidak bisa bertanwin adalah karena dia ‘alam dan ‘adl dari
‘alam yang berwazan فَاعِلة, sebagaimana
فُعَل juga
berasal dari kata فَاعِل.[6] Pendapat
kedua menyebutkan bahwa
yang menyebabkan dia tidak bisa bertanwin adalah karena dia ‘alam dan muannats
ma’nawi seperti زينب.[7]
Pendapat yang lebih rajih adalah pendapat pertama,
dengan alasan sebagai berikut:
·
Umumnya
setiap isim ‘alam memiliki bentuk asal, tidak terbentuk begitu saja dengan
sendirinya sebagaimana yang diyakini oleh kelompok kedua.[8]
·
Bahwasanya
sebab ‘adl ini tidak hanya dibawakan oleh mereka yang memasukkan فَعال ke dalam isim ghairu munsharif, namun juga
diyakini oleh mereka yang berpendapat bahwa فَعالِ itu
mabni. Maka dalam hal ini keduanya sepakat.[9]
·
Ada
beberapa isim yang terkesan dipaksakan agar dianggap muannats, seperti سَفَار (nama
air) padahal ماء adalah
mudzakkar, namun orang-orang Arab menganggapnya sebagai اسم
الماءة. Begitu juga dengan حَضار (nama
bintang) padahal كوكَب adalah
mudzakkar, namun orang-orang Arab menganggapnya sebagai اسم
الكوكبة.[10] Jika
mereka bisa memaksakan فَعال sebagai
isim muannats dalam beberapa kasus, mengapa kita tidak boleh menganggapnya
sebagai ‘adl?
Faedah yang bisa diambil:
·
An-Naily
berkata: “jika kamu menemukan ada isim mabni, maka tanyakan mengapa dia mabni!
Karena sesungguhnya dia telah menyelisihi asalnya (bertanwin). Jika dia mabni
dengan sukun, maka cukup tanyakan 1 pertanyaan: mengapa dia mabni? Jika dia
mabni dengan harakat, maka tanyakan 3 pertanyaan: mengapa dia mabni? Mengapa
diberi harakat? Dan mengapa memilih harakat tersebut bukan yang lainnya?[11]
Ketahuilah bahwa Bani Hijaz memasukkan ‘alam
muannats dengan wazan فَعالِ ke
dalam isim mabni, maka ini jelas menyelisihi qiyas.[12] Hal ini dikarenakan bahasa mereka termasuk bahasa
kuno,[13] sehingga seringkali syair-syair menggunakan
bahasa mereka.[14]
Menurut al-Mubarrad, alasan mereka memabnikan
‘alam muannats wazan فَعالِ dengan kasrah adalah
karena terkumpulnya 3 ‘illah: ‘alam, ‘adl, dan ta’nits. Jika 2 ‘illah bisa
menyebabkan isim menjadi ghairu munsharif, maka lebih dari itu akan menyebabkan
isim menjadi mabni.[15] Karena bertemunya 2 sukun maka diharakati huruf
akhirnya dengan sukun dengan pertimbangan: asalnya ketika bertemu 2 sukun diharakati
kasrah dan kasrah merupakan salah satu tanda ta’nits seperti قمتِ dan ضربكِ.[16]
Pendapat al-Mubarrad ini dibantah banyak ulama,
karena isim yang memiliki lebih dari 2 ‘illah tidak menyebabkan dia menjadi
mabni, seperti seorang wanita yang diberi nama أذِربَيْجانُ tetap ghairu munsharif meskipun di
dalamnya terkumpul 5 ‘illah, yaitu ‘alam, ta’nits, ‘ujmah, tarkib, dan alif
nun.[17]
Adapun pendapat yang lebih benar adalah pendapat
Sibawaih bahwa alasannya karena dalam hal ini isim ‘alam memiliki 4 kesamaan
dengan isim fi’il amr seperti نزالِ yaitu: ta’rif,
ta’nits, ‘adl, dan wazan.[18] Sehingga isim ‘alam wazan فَعالِ mabni
sebagaimana isim fi’il amr wazan فَعالِ juga
mabni.
·
Jika
ada laki-laki yang diberi nama dengan wazan ini maka tetap ghairu munsharif
karena dia menggunakan wazan ta’nits sebagaimana أُسامَةُ.[19]
·
Jenis
ini merupakan sama’i, sehingga jika kita temukan فَعال namun
tidak tahu asal-usulnya maka kita baca dengan tanwin karena pada asalnya isim itu
bertanwin.[21]
·
Ada
3 isim dengan wazan فَعالِ yang masuk ke
dalam bab ‘adl namun mabni, akan saya bahas secara ringkas karena tidak masuk
ke dalam pembahasan isim ghairu munsharif:
Yang pertama:
isim fi’il amr, seperti نزالِ
maknanya انزِلْ. Ulama
sepakat bahwa ‘adl jenis ini mabni. Ada 2 faktor yang menyebabkan dia mabni
yaitu: karena mengandung makna huruf, yaitu huruf lamul amri,[22] dan menggantikan fungsi fi’il sebagaimana huruf.[23] Hal
ini sejalan dengan perkataan Ibnu Malik:
والمعنوي في متى وفي هنا وكنيابة عن الفعل بلا تأثر
Diantara sebab isim menjadi mabni: karena mirip
dengan huruf dari segi makna seperti mataa dan hunaa, dan dari
segi menggantikan fi’il tanpa bisa dipengaruhi oleh amil.[24]
Yang kedua:
isim mashdar, seperti يَسارِ
maknanya المَيسَرَة.
Yang ketiga:
sifat pada nida, seperti يا فَساقِ
maknanya يا فاسِقَة.
Ulama sepakat bahwa kategori kedua dan ketiga ini
mabni karena diserupakan dengan kategori pertama.
Jika ada yang bertanya: mengapa isim ‘alam
muannats terjadi khilaf (bisa masuk mabni dan bisa masuk ghairu munsharif),
sedangkan isim mashdar dan sifat seluruh ulama sepakat memabnikannya?
Jawabnya: karena isim ‘alam memiliki 2 sisi
kemiripan: Bisa mirip dengan isim fi’il amr, sehingga dia mabni. Bisa juga
mirip dengan isim ‘alam muannats pada umumnya seperti زينبُ dan
سُعادُ,
sehingga dia ghairu munsharif. Sedangkan isim mashdar dan sifat hanya mirip
dengan isim fi’il amr sehingga ulama sepakat memabnikannya.[25]
Rizki Gumilar
Di Kampung Santri
[1] Syarhul
mufashshol: 4/98, Ma banathul ‘arab ‘ala fa’ali: 28
[2] Al-Musa’id:
3/37
[3] Syarhul kitab:
4/44, Syarhul kafiyah: 3/200
[4] Syarh alfiyyah
li syaikh utsaimin: 3/641
[5] Al-Kitab:
3/277, al-Mukhashshash: 17/66, Syarhul kafiyah: 3/200, Lisanul ‘arab: 6/306
[6] Al-Kitab:
3/277-278, Syarhul kafiyah: 3/200, Syarhul kafiyah asy-syafiyah: 3/1476,
al-Musa’id: 3/37
[7] Al-Muqtadhob:
3/375, Syarhul kafiyah: 3/200, Syarhut tashrih: 2/345
[8] Al-Musa’id:
3/38, Syarh alfiyyah Ibnu Mu’thi: 2/637, Ham’ul hawami’: 1/96, Hasyiyatu Yasin
‘ala syarhil Fakihi: 1/46
[10] Syarhul kitab:
4/45
[11] Ash-Shofwatush
shofiyyah: 1/79-80
[12] Syarhul kafiyah:
4/200
[13] Al-Kitab:
3/278
[14] Lisanul ‘arab:
6/306
[15] Syarhul kitab:
4/45, Syarhul mufashshol: 4/84, Syarhul kafiyah: 4/199
[17] Ma yansharif
wa ma la yansharif: 76, Al-Khashaish: 1/236-237, al-Mukhashshash: 17/68, Amaly
Ibn asy-Syajary: 2/362, Syarhul mufashshol: 4/84, Syarhul jumal: 2/377, Hasyiyatu
Yasin ‘ala syarhil Fakihi: 1/50
[18] Al-Kitab:
3/278, Syarhul jumal: 2/377
[19] Al-Muqtadhob:
3/374, Al-Ushul: 2/90
[20] ibid
[21] ibid
[22] Amaly Ibn
asy-Syajary: 2/354
[23] Al-Masailul
‘askariyyah: 244
0 komentar:
Posting Komentar