Sabtu, 23 Maret 2019

Setiap Bab Memiliki Pengecualian




Ini adalah kaidah umum, tidak hanya pada nahwu, namun pada semua disiplin ilmu, aqidah, fiqih, sains, dsb.
Maka hendaknya kita tdk fokus pada pengecualiannya, dan jangan ragu utk mengatakan kaidah asalnya, karena pengecualian itu sangat-sangat sedikit, bahkan mungkin tidak sampai 1% dari keseluruhan bab.
Jangan ragu untuk mengatakan bahwa isim muannats itu cirinya diakhiri tanda ta'nits, meskipun kita dapati ada yang menyelisihi seperti طلحة dan زينب jangan sampai mengubah prinsip kita dengan mengatakan: "kadang isim muannats itu diakhiri tanda ta'nits kadang tidak", sehingga dengan statement itu membuat para pemula menjadi bingung.
Saya kutip perkataan az-Zajjaji:
"Setiap bab itu memiliki hukum asalnya, meskipun ada sebagian kecil yang menyelisihi hukum asal tidak membuat ia keluar dari bab tersebut. Hal ini berlaku untuk semua cabang ilmu. Misal: sholat itu wajib bagi mereka yang sudah baligh, namun kenyataannya kita dapati ada yg terbebas dari wajibnya sholat, -apakah kita akan mengatakan bahwa sholat kadang wajib dan kadang tidak?-." (al-Idhoh fii 'ilalin nahwi: 72-73)
Jika kita tidak memegang kaidah asalnya maka betapa repotnya kita menetapkan hukum di setiap bab-nya, karena setiap bab memiliki pengecualian.

Abu Kunaiza
Riyadh

Na'at yang Terputus





Sebagaimana kita ketahui bahwa na'at selalu mengikuti man'ut-nya dalam hal i'rob. Akan tetapi kita dapati banyak orang Arab yang meletakkan na'at yang menyelisihi i'rob man'ut-nya, seperti:
مررت بزيدٍ الكريمُ
Ulama Basrah akan dengan serta merta mengatakan bahwa الكريمُ adalah khobar dari mubtada yang mahdzhuf yaitu هو.
Jika mendengar kalimat:
مررت بزيدٍ الكريمَ
Maka الكريمَ adalah maf'ul bih dari fi'il yang mahdzuf yaitu أعني.
Masalahnya bisakah 1 kata menempati 2 fungsi sekaligus? Ia sebagai na'at juga sebagai khobar, ia sebagai na'at juga sebagai maf'ul bih?
Sehingga i'rob yang lebih tepat dan lebih menjaga makna adalah ia hanya sebagai na'at, adapun perbedaan tanda i'rob hanyalah dalam rangka mencari perhatian lawan bicara (tanbih). Bisa untuk pujian, atau bisa untuk celaan.
Dan uslub inipun digunakan dalam al-Qur'an, seperti:
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الَحَطَبِ
Kata حَمَّالَةَ merupakan na'at dari امْرَأَتُهُ dan tanda i'robnya dibedakan agar kita bisa lebih fokus pada kata tersebut sebagai bentuk celaan terhadap Ummu Jamil.
Bagaimana cara mengi'robnya?
حمّالةَ : نعت مرفوع بالفتحة التي عُدِّلت عن الضمة للتنبيه
Semisal ini dalam ilmu nahwu disebut النعت المقطوع (na'at yang terputus)
Semoga bermanfaat...

Abu Kunaiza
Riyadh

Jumat, 22 Maret 2019

Mubtada Harus Ma'rifah



Nuhat mensyaratkan bahwa mubtada harus ma'rifah, karena lumrahnya ketika mengawali pembicaraan dengan sesuatu yang ma'ruf, sama-sama sudah diketahui oleh pembicara dan lawan bicara. Kemudian baru kita lanjutkan dengan informasi baru yang menerangkan mubtada yang disebut khobar. Khobar ini karena ia fungsinya menerangkan dan informasi baru bagi lawan bicara maka cukup dengan lafadz nakiroh. Dari sini kita tahu bahwa tujuan utama kalimat yang ingin disampaikan pembicara adalah khobar bukan mubtada. Karena khobar ini merupakan info baru bagi lawan bicara.

Misalnya:

المدرس جديد

"Eh guru itu baru loh..."

Coba perhatikan kalimat diatas, guru yang dimaksud sudah sama-sama diketahui oleh kedua belah pihak, bukan itu pesan utama yang ingin disampaikan oleh pembicara. Yang ingin disampaikan adalah kata setelahnya yaitu "baru". Karena itu merupakan info baru bagi lawan bicara.

Bagaimana jika mubtada-nya nakiroh?

Tidak mengapa, asalkan ia nakiroh mufidah maka tetap diletakkan di depan. Yang dimaksud dengan nakiroh mufidah adalah kata yang umum akan tetapi ada sesuatu yang membuat ia lebih khusus. Ada sekitar 40 jenis nakiroh mufidah, diantaranya nakiroh yang diberi sifat, atau diberi idhofah, atau didahului istifham atau nafi. Nakiroh mufidah ini dekat dengan isim ma'rifah sehingga ia bisa menjadi mubtada dan tetap diletakkan di depan.

Bagaimana jika mubtada-nya nakiroh saja tanpa mufidah?

Dalam kondisi ini maka terpaksa mubtada-nya harus mundur, dan khobar-nya didahulukan dengan kondisi ma'rifah dan majrur oleh huruf jarr atau dzhorof. Misalnya:

في المسجد رجل

Mengapa harus ditukar posisinya?
Mereka mengatakan karena kalau kita katakan:

رجل في المسجد

Akan dianggap na'at man'ut dan kalimatnya belum selesai.

Hmm... Masuk akal juga, tapi coba kita perhatikan baik-baik...

Kata المسجد disana sebetulnya ialah mubtada yang sebenarnya secara makna, sedangkan رجل adalah khobar. Berikut ini bukti-buktinya:

1. Kata المسجد ma'rifah, artinya masjid yang mana sudah diketahui bersama. Maka dari itu diletakkan di awal kalimat.

2. Kata رجل nakiroh karena fungsinya menjelaskan kata sebelumnya.

3. Bukan في المسجد pesan utama yang ingin disampaikan pembicara melainkan رجل yang ada di dalam masjid.

4. Banyak mubtada yang majrur didahului oleh huruf jarr, misalnya:

هل من خالقٍ غيرُ الله؟

5. Makna dari في المسجد رجل sama dengan makna المسجد فيه رجل.

Kesimpulan:
Meskipun nuhat mengatakan bahwa secara i'rob في المسجد adalah khobar dan رجل adalah mubtada, namun secara makna adalah kebalikannya.

Faedah dari guru kami, Abu Aus.

Abu Kunaiza