Kamis, 20 Februari 2020

Dibalik Kombinasi Hamzah dan Yaa’




Teman-teman sekalian, ketika kita bertanya menggunakan kata أيّ maka artinya kita meminta ta’yin (penetapan), misal:
قلم أحمر وقلم أسود أيهما أحسن؟
“pulpen merah dan pulpen hitam, mana yang lebih bagus?”

Maka demikian juga semua kombinasi hamzah dan yaa’ tidak jauh dari makna ta’yin.

Misalnya harful jawab
إِيْ واللهِ lebih kuat daripada نعم, karena إِيْ maknanya tidak hanya mengiyakan tapi juga menetapkan, maka dari itu ia selalu diikuti dengan sumpah. Misal:
هل أنا جميلة؟ إِيْ واللهِ
“apa aku cantik? Pasti dong!”
Sebagaimana dalam ayat:
وَيَسْتَنبِئُونَكَ أَحَقٌّ هُوَ ۖ قُلْ إِي وَرَبِّي
“mereka bertanya kepadamu, apakah adzab itu nyata? Katakanlah: pasti!”

Begitu juga harfu tafsir
أَيْ fungsinya adalah untuk menetapkan, supaya pendengar tidak bingung. Misal:
رأيتُ زيدًا أي أخاكَ
“aku lihat Zaid, yakni saudaramu”

Begitu juga kata
آية artinya tanda, karena ia menentukan sesuatu menjadi berbeda dengan yang lainnya. Misal:
قَالَ رَبِّ اجْعَل لِّي آيَةً
“Zakaria berkata: Ya robbi beri aku tanda”

Begitu juga munada tidaklah ia bersambung dengan
أَيُّ kecuali munada tersebut ma’rifah dengan alif lam, maka ia tertentu. Misal: يا أيها اللذين آمنوا

Begitu juga lafadz tahdzir menggunakan kata
إياك karena tujuannya membatasi orang yang ingin dia peringati, misal:
إياك والكذب
“kamu, hindarilah dusta, iya kamu, cuma kamu…”

Maka demikian juga halnya ikhwah….

Ketika kita mengucapkan kalimat
إياك نعبد وإياك نستعين setidaknya 17 kali sehari semalam. Didalamnya ada makna yang tersirat, bukan sekedar memindahkan maf’ul bih di awal kalimat. Tapi lebih dari itu… disana terkandung makna ta’yin… sejatinya kita mengikrarkan diri bahwasanya hanya kepada Allah semata kita beribadah dan meminta.

Pastikan bahwa kening ini tidak pernah diletakkan untuk bersujud kepada selain-Nya. Pastikan bahwa tangan ini tidak pernah diangkat untuk meminta kepada selain-Nya. Semoga kita selalu menghadirkan hati yang jujur ketika mengucapkannya.

Muhasabah Diri


Abu Kunaiza


Senin, 06 Januari 2020

Bolehkah kita memanggil Allah dengan dhomir jamak mukhothob?





Sebagaimana kita ketahui bahwa dhomir jamak untuk mufrod tujuannya adalah ta’dzim (pengagungan). Dan ini banyak digunakan oleh para raja dari zaman ke zaman, dimana mereka menyebut diri mereka sendiri dengan kata “kami” untuk mengagungkan, hal ini dikarenakan segala tindak tanduknya dan setiap keputusannya menyangkut orang banyak dan mewakili rakyatnya.
Demikian juga dengan dhomir mukhothob, bahkan ghoib (meskipun jarang).
Al-Ahdal (1298H) menyampaikan:
وقد قاس الناس عليه الخطاب والغيبة فقالوا في خطاب المعظم: "أنتم فعلتم كذا"، وفي الإخبار عنه: "هم فعلوا كذا" وكأنه لكماله قام مقام جماعة أو كأنه لجلالته فكأن الخبر عنه مع من يتبعه
Orang-orang menerapkan juga pada khithob dan ghoibah, mereka mengatakan ketika mengagungkan mukhothob: "أنتم فعلتم كذا"، dan ketika membicarakannya: "هم فعلوا كذا" seakan-akan dia mewakili jama’ah atau seakan-akan karena kemuliaannya dia bersama-sama para pengikutnya (al-Kawakib ad-Durriyyah: 155)
Bukankah kita terbiasa mengucapkan doa kepada seseorang dengan lafadz: “Assalaamu ‘alaikum”, bahkan meskipun seseorang tersebut adalah seorang wanita, semata-mata sebagai bentuk penghormatan. Sebagaimana seorang penyair berkata:
فَإنْ شِئْتِ حَرَّمْتُ النِّساءَ سِوَاكُم
“Jika engkau mau, bisa saja aku haramkan semua wanita selainmu”
Penyair tersebut tidak mengatakan سواكِ atau سواكُنّ, sebagai bentuk pengagugan.
Begitu juga dalam al-Qur’an, terkadang digunakan dhomir jamak untuk Nabi Muhammad sebagai pemuliaan, seperti pada ayat:
فَإِلَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ (هود: 14)
فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ (القصص: 50)
“Jika mereka tidak memenuhi seruanmu”
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ (الطلاق: 1)
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka"

Sekarang, bolehkah kita memanggil Allah dengan dhomir jamak untuk pengagungan?

Sejumlah ulama membolehkannya. Dengan dalil ayat al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 99:
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
"hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia)"
Lafadz ارْجِعُونِ adalah fi’il amr yang mana fa’ilnya wawu jama’ah, kembali kepada Allah Azza wa Jalla. Para mufassirin menafsirkannya bahwa itu adalah sebagai bentuk pengagungan, diantara penjelasan mereka:
Al-Baghowi (510H) berkata:
وَلَمْ يَقل ارْجِعْنِي وَهُوَ يَسْأَلُ اللَّهَ وَحْدَهُ الرَّجْعَةَ عَلَى عَادَةِ العرب فإنهم يخاطبون الواحد بلفظة الْجَمْعِ عَلَى وَجْهِ التَّعْظِيمِ
“dia tidak mengatakan ارْجِعْنِي padahal dia meminta Allah sendiri agar dikembalikan ke dunia sebagaimana kebiasaan orang Arab, mereka berbicara kepada satu orang dengan lafadz jamak dengan tujuan pengagungan” (Tafsir al-Baghowi: 3/374)
Abu Hayyan (745H) berkata:
وَجَمَعَ الضَّمِيرَ فِي ارْجِعُونِ إِمَّا مُخَاطَبَةً لَهُ تَعَالَى مُخَاطَبَةَ الْجَمْعِ تَعْظِيمًا كَمَا أَخْبَرَ عَنْ نَفْسِهِ بِنُونِ الْجَمَاعَةِ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ
“dhomir pada ارْجِعُونِ dijamakkan ketika berbicara kepada Allah sebagai pengagungan sebagaimana Allah mengungkapkan Diri-Nya dengan nun jamak di ayat yang lain (al-Bahrul Muhith: 7/584)
Sirajuddin (775H) berkata:
أجودها: أنه على سبيل التعظيم
Pendapat yang paling tepat ia adalah bentuk pengagungan (al-Lubab: 14/254)

Itu juga yang dilakukan oleh sahabat Hassan bin Tsabit ketika bertawassul atas nama Nabi Muhammad dalam doanya:
ألَا فارحموني يا إله محمد            فإن لم أكن أهلًا فأنتم له أهل
Tidakkah Kau mengasihiku wahai Tuhannya Muhammad
Jika aku tidaklah pantas untuk-Mu maka sudah pasti Engkau pantas untuknya  (Adhwaaul Bayan: 5/355)

Namun sejumlah ulama lainnya, tidak membolehkan menggunakan dhomir jamak ketika memanggil Allah, diantaranya Suhaily (581H). Dimana beliau mengatakan bahwa tidak semestinya seorang hamba mengucapkan kata-kata:
ارْحَمُونِ يَا رَبّ وَارْزُقُون،ِ ربّ اغفِروا، ولا ارحَمُوني، ولا عليكم توكّلت، ولا إليكم أنبت
Karena memang tidak pernah terucap ungkapan tersebut dari doa Nabi. Wajib bagi setiap hamba untuk menjaga tauhid di hatinya dengan menjaga ucapannya.
Adapun pada ayat ربّ ارجعون adalah kebiasaan orang-orang kafir semasa hidupnya yang selalu mengagungkan setan yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Bisa kita lihat pada ayat-ayat sebelumnya. Kebiasaan itu terbawa sampai mati:
 وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَن يَحْضُرُونِ
Dan katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku".
Bahkan beliau menyampaikan maksud perkataan para ulama, dengan ucapan الأمر عندنا atau رأينا كذا bukan maksudnya untuk pengagungan melainkan untuk menunjukkan bahwa dia berbicara seorang diri, jika dia berbicara seorang diri maka ini adalah perkara bid’ah. (ar-Roudhul Anfu: 2/61)
Begitu juga Ibnu Malik melarangnya:
إنه لم يعلم أحدًا أجاز للدّاعي أن يقول: ارحمونِ؛ لئلا يوهم خلاف التوحيد
Tidak diketahui ada satu pun ulama yang membolehkan seseorang berdoa: ارحمونِ agar tidak menyelisihi tauhid (al-Lubab: 14/254)
Maka sikap pertengahan berdasarkan dari kedua pendapat tersebut, yakni boleh saja seseorang bermunajat kepada Allah menggunakan bentuk jamak, selama tujuannya untuk mengagungkan dan husnul adab. Meskipun yang lebih utama adalah meninggalkannya, mengingat tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan hal tersebut. Wallahu A’lam.

Abu Kunaiza
Di Kampung Senja (Ghurub)

Apakah FI’il Mudhori’ yang Bersambung Nun Inats adalah Mabni?




Ibnu Malik (672H) mengatakan:
وأما المتصل بنون الإناث فمبني بلا خلاف
Adapun fi’il mudhori’ bersambung dengan nun inats, maka ia mabni tanpa perselisihan di kalangan ulama (Taudhihul Maqoshid: 1/306)
Namun Abu Hayyan (745H) dan al-Murodi (749H) membantah hal tersebut karena ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun inats adalah mu’rob (Irtisyafudh Dhorob: 2/835, Taudhihul Maqoshid: 1/306)
Memang tidak bisa dipungkiri bahwasanya pendapat jumhur ulama adalah mabni-nya يذهبنَ dan تذهبنَ dengan sukun, dan pendapat ini dipelopori oleh Sibawaih (180H) di kitabnya, dengan perkataannya:
وإذا أردتَ جمعَ المؤنَّث في الفعل المضارع ألحقتَ للعلامة نونًا... وأسكنتَ ما كان في الواحد حرفَ الإعراب، كما فعلت ذلك في فَعَلَ حين قلت فَعَلْت وفَعَلْنَ، فأُسكنَ هذا ههنا وبني على هذه العلامة، ... لأنّه فِعلٌ كما إنه فِعْلٌ، ... فالنون ههنا في يَفعَلْنَ بمنزلتها في فَعَلْنَ.
Jika kamu mengikutkan nun inats pada fi’il mudhori’, maka kamu sukunkan huruf i’robnya (huruf terakhir), sebagaimana kamu lakukan hal tersebut pada fa’alta dan fa’alna, maka mabnikan dengan sukun padanya, karena ia fi’il (mudhori’) sebagaimana ia juga fi’il (madhi), maka nun pada “yaf’alna” sama dengan nun pada “fa’alna”. (al-Kitab: 1/20)
Pendapat jumhur ini masih sangat mendominasi di kelas-kelas Nahwu hingga saat ini.

Namun perlu diketahui, terima atau tidak terima, bahwa disana ada sejumlah ulama yang berpendapat bahwa ia mu’rob, diantaranya adalah Akhfasy (215H):
والأخفش وبعض المتأخرين يذهبون إلى أنه معرب معها
Akhfasy bersama sebagian ulama setelahnya berpendapat bahwa fi’il mudhori’ mu’rob bersama nun inats (Roshful Mabani: 357)
Begitu juga Ibnu Durustuwaih (346H)
فَإِن لحقته نون إناث بني خلافًا لِابْنِ درسْتوَيْه
Jika bersambung dengan nun inats maka ia mabni menyelisihi pendapat Ibnu Durustuwaih (Ham’ul Hawami’: 1/72)
Begitu juga dengan Suhaily (581H):
وأما فعل جماعة النساء فكذلك أيضا إعرابه مقدر قبل علامة الإضمار كما هو مقدر قبل الياء من غلامي
Adapun fi’il untuk jamak muannats I’robnya muqoddar sebelum dhomirnya, sebagaimana ia juga muqoddar sebelum yaa’ mutakallim pada Ghulaamii. (Nataa’ijul Fikri: 124)
Begitu juga Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (751H) menyebutkan hal yang sama (Badaai’ul Fawaaid: 1/83)
Apa alasan mereka memu’robkan يذهبن?
Mereka mengembalikan kepada kaidah asal, yakni semua fi’il mudhori’ mu’rob karena mirip dengan isim. Sebagaimana disampaikan oleh Anbari (577H):
إنما حمل الفعل المضارع على الاسم في الإعراب؛ لأنه ضارع الاسم؛ ولهذا، سُمِّي مضارعًا؛ والمضارعة: المشابهة
hanya fi’il mudhori’ yang disamakan dengan isim dalam I’rob, karena ia mirip dengan isim maka dari itu ia dinamakan mudhori’. Mudhoro’ah maknanya musyabahah (kemiripan). (Asrorul ‘Arobiyyah: 48)
Maka dari sini jelas sudah sumber perselisihan diantara kedua pendapat tersebut. Dimana kelompok Sibawaih dkk memabnikan يذهبن karena ia disamakan dengan fi’il madhi. Sedangkan kelompok Akhfasy dkk memu’robkan يذهبن karena ia diserupakan dengan isim.
Yang unik disini, selain bersambung dengan nun inats, seluruh ulama Nahwu sepakat bahwa fi’il mudhori’ mu’rob karena mirip dengan isim fa’il-nya, termasuk kelompok Sibawaih dkk, misalnya pada fi’il يَجْلِسُ ia mu’rob karena mirip dengan جَالِسٌ. Tapi mengapa mereka memabnikan ketika fi’il mudhori’ bersambung dengan nun inats? Hal ini mengesankan bahwa fi’il mudhori’ terkadang mirip dengan isim, terkadang juga mirip dengan fi’il madhi.
Maka mereka menjawab, hal ini dikarenakan nun inats adalah ciri khas fi’il maka itulah yang menyebabkan ia tidak lagi mirip dengan isim (Ham’ul Hawami’: 1/74)
Jika memang demikian, mengapa ketika fi’il mudhori’ didahului oleh harfu tanfis (sin dan saufa) ia tidak mabni? Padahal harfu tanfis adalah ciri khas fi’il mudhori’, dan ketika itu fi’il mudhori’ waktunya menjadi khusus (untuk mendatang), maka ia tidak lagi mirip dengan isim fa’il dari sisi waktu.
Maka Akhfasy mengatakan:
لأن المضارعة التي أوجبت له الإعراب موجودة فيه
Selama huruf mudhoro’ahnya masih ada maka ia mu’rob sebagaimana isim (Roshful Mabani: 357)
Ketika Suhaily dicap ulama yang menyelisihi jumhur dalam hal ini, maka beliau menjawab:
بل هو وفاق لهم لأنهم علمونا وأصلوا لنا أصلا صحيحا فلا ينبغي لنا أن ننقضه ونكسره عليهم وهو وجود المضارعة الموجبة للإعراب وهي موجودة في يفعلن وتفعلن فمتى وجدت الزوائد الأربع وجدت المضارعة وإذا وجدت المضارعة وجد الإعراب
Justru kami sepakat dengan mereka, karena merekalah yang mengajarkan kami kaidah asal yang shahih, yang mana tidak layak bagi kami mematahkan kaidah tersebut, yaitu adanya huruf mudhoro’ah pada fi’il mudhori’ mewajibkannya untuk mu’rob, sebagaimana pada يفعلن dan تفعلن. Ketika kita dapati 4 huruf tambahan (huruf mudhoro’ah) maka ia mu’rob (begitu yang diajarkan jumhur ulama Nahwu). (Nataa’ijul Fikri: 125).
Kemudian apa hujjah kelompok Akhfasy mengapa tanda I’robnya tidak muncul pada يفعلن? Suhaily menyampaikan:
فعلامة الإضمار منعت من ظهوره لاتصالها بالفعل وأنها لبعض حروفه فلا يمكن تعاقب الحركات على لام الفعل
Nun inats menghalangi munculnya tanda I’rob, karena ia bersama dengan fi’ilnya seperti 1 kata, maka inilah yang menghalangi munculnya harokat (Nataa’ijul Fikri: 124). Mereka meyakini bahwa tidak boleh adanya 4 harokat berturut-turut dalam 1 kata atau 2 kata yang dianggap 1 kata seperti fi’il dan dhomirnya.
Maka Ibnu Malik membantah hal tersebut:
أن توالي أربع حركات ليس مهملا في كلامهم، بل مُسْتخف بالنسبة إلى بعض الأبنية.
Berkumpulnya 4 harokat berturut-turut bukanlah hal yang mustahil dalam Bahasa Arab, namun biasanya diringankan di sebagian kata. (Syarah at-Tashil: 1/125)
Banyak kata yang terdiri dari 4 harokat berturut-turut tapi tidak disukunkan, misalnya جَنَدِلٌ (batu besar), بَرَكَةٌ (keberkahan), لُمَزَةٌ (pencela), dll. Maka ini menunjukkan lemahnya hujjah mereka.
Dan lagi, يَفْعَلْنَ seandainya lam tersebut diharokati maka yang berharokat beturut-turut hanya 3 huruf bukan 4 huruf, maka jelas ini tidak konsisten dengan kaidah yang mereka buat. Sehingga Ibnu Malik menyebutkan alasannya mengapa disukunkan:
وإنما سببه تمييز الفاعل من المفعول في نحو: أكرمْنا وأكرَمَنا
Sebabnya untuk membedakan fa’il dari maf’ul bih seperti “akromnaa” dan “akromanaa” (Syarah at-Tashil: 1/125)

Dari semua perbincangan ini, Guru kami Ustadz Abu Aus (Prof. Dr. Ibraheem Shamsan) menengahi:
“Aku lebih condong pada pendapat Suhaily bahwa يذهبن mu’rob namun ia disukunkan bukan karena alasan yang disampaikan oleh Suhaily melainkan untuk membedakan antara fa’il dengan maf’ul bih sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Malik (Ta’mim Qo’idah an-Namath: 19)

Abu Kunaiza
Di Kampung Senja (Ghurub)

Jumat, 03 Januari 2020

Apakah Isim Ghoiru Munshorif Bisa Menjadi Munshorif?





Ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, setidaknya terbagi menjadi 3 pendapat:
Pertama, ia tetap ghoiru munshorif meskipun illat nya sudah hilang, sebagaimana disampaikan oleh Zamakhsyari (538H):
فإن لم تكن العلمية في ذلك الاسم سببًا لمنع الصرف لا يصير منصرفًا بزوالها كمساجد
Jika illatnya bukan ‘alam yang menjadikannya mamnu’ minash shorf maka ia tidak akan menjadi munshorif karena kehilangan illatnya, seperti masajida (Syarhul Anmudzaj: 73-74).
Begitu juga secara dzhohir perkataan Ibnu Malik (672H) mengarah kesana:
الصرف تنوين أتى مبينا    معنى به يكون الاسم أمكنا
Shorf adalah tanwin yang muncul sebagai penjelas makna, bahwasanya isimnya munshorif (syarah alfiyyah, Ibnu Aqil: 2/293) maka meskipun isim ghoiru munshorif dimasuki “al” atau mudhof tetap dihukumi ghoiru munshorif karena tidak dimasuki tanwin.
Kedua, ketika dimasuki “al” atau mudhof ia tidak masuk kepada munshorif juga tidak ghoiru munshorif, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Jinni (392H):
ومن ذلك ما كان فيه اللام أو الإضافة... فهذه الأسماء كلها وما كان نحوها لا منصرفة ولا غير منصرفة
Isim yang bersambung dengan lam atau idhofah… semuanya atau yang semisal ini, tidaklah masuk munshorif tidak juga ghoiru munshorif (al-Khashaish: 357). Hal ini dikarenakan pengaruh aqidahnya mu’tazilah yang meyakini prinsip manzilah baina manzilatain.
Ketiga, ia bisa menjadi munshorif, misalnya dengan dimasuki “al” dan mudhof, sebagaimana perkataan al-Mubarrid (285H):
فلما أضيفت وأدخل عليها الألف واللام باينت الأفعال وذهب شبهها بها فرجعت إلى الإسمية الخالصة
Ketika ghoiru munshorif diidhofahkan atau diberi alif lam maka jelaslah perbedaannya dengan fi’il, maka kembalilah ia menjadi isim yang murni (munshorif) (al-Muqtadhob: 3/313)
Begitu juga az-Zajjaj (311H):
واعلم أن جميع ما لا ينصرف إذا أدخلت فيه الألف واللام انصرف... وكذلك إذا أضفت ما لا ينصرف انصرف... لا اختلاف بين النحويين فيما وصفنا.
Ketahuilah bahwa semua ghoiru munshorif jika diberi alif lam menjadi munshorif… begitu juga ketika diidhofahkan… tidak ada perselisihan diantara ulama nahwu mengenai pernyataan kami ini (Maa Yanshorif Wa Maa Laa Yanshorif: 6). Yang dimaksud nahwiyyin disini adalah ulama klasik, yakni di masa beliau dan sebelumnya.
Begitu juga az-Zajjaji (337H):
فإن أدخلتَ على جميع ما لا ينصرف "الألف واللام" أو أضفتَه انصرف
Jika kamu masukkan “al” kepada semua ghoiru munshorif atau memudhofkannya maka ia munshorif (al-Jumal: 220)
As-Sirofi (368H) juga mengatakan demikian:
إن سأل سائل فقال: إذا كان الاسم الذي لا ينصرف، متى دخل عليه الألف واللام أو أضيف، انصرف؟ لأنه بالإضافة والألف واللام يخرج عن شبه الفعل
jika ada yang bertanya: mengapa ketika isim ghoiru munshorif dimasuki alif lam atau dimudhofkan ia munshorif? Karena idhofah dan alif lam mengeluarkannya dari syibhul fi’li (Syarah al-Kitab: 1/169)
Perkataan Ibnul Hajib (646H) juga mengarah kesana:
لم انصرف ما لا ينصرف إذا دخلته اللام أو الإضافة، والعلتان باقيتان كنحو: الأحمر وأحمركم، فإن الصفة ووزن الفعل باقية؟
Mengapa ghoiru munshorif menjadi munshorif ketika dimasuki “lam” atau idhofah, padahal kedua illatnya masih ada, seperti al-ahmar dan ahmarukum, maka sifat dan wazan fi’ilnya masih ada? (Amali Ibnil Hajib: 2/791)

Mana dari ketiga pendapat tersebut yang paling rajih?
Imam Suyuthi (911H) merajihkan pendapat ketiga dengan ucapannya:
والمختار وفاقا للمبرد والسيرافي وابن السراج والزجاجي صرفه
Yang lebih tepat sesuai dengan pendapat al-Mubarrid, as-Sirafi, Ibnu Sarraj, dan Zajjaji, yakni ia munshorif (Ham’ul Hawami’: 1/83).
Dan jika kita melihat perkataan mereka, adanya kesepakatan bahwa penyebab berubahnya menjadi munshorif adalah karena hilangnya kemiripan dengan fi’il ketika bersambung dengan “al” dan idhofah. Bahkan tidak hanya terbatas dengan 2 sebab tersebut, tetapi juga factor-faktor lain yang menyebabkan ia berbeda dengan fi’il akan membuatnya munshorif. Seperti:
Ketika sifat berwazan fi’il dijadikan nama seseorang maka ia munshorif, misalnya أحمر sebagaimana disampaikan oleh Akhfasy (215H):
إن سميت به رجلًا فهي منصرفة
Jika seseorang dinamakan Ahmar maka ia munshorif (al-Muqtadhob: 3/377)
Begitu juga beberapa ketika dibuat tashghir menjadi munshorif seperti عمير sebagaimana disampaikan oleh ash-Shobban (1206H) (Hasyiah ash-Shobban: 3/405).
Begitu juga ketika ghoiru munshorif pada kondisi ringan, yakni terdiri dari 3 huruf dan tengahnya sukun, seperti pada ‘alam muannats dan ‘ajam maka boleh munshorif (al-Mamnu’ Minash Shorf: 180)
Begitu juga dalam ayat:
إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا (الأنسان: 4)
Imam Nafi’, ‘Ashim, al-Kisai, Ibnu Katsir, dll membaca سَلَاسِلًا dengan tanwin padahal ia shighoh muntahal jumuk karena setelahnya munshorif (Mu’jam al-Qiroat al-Qur’aniyyah: 8/19)
Jika ada yang mengatakan, bukankah ketika dimasuki “al” dan idhofah isim-isim tersebut tetap tidak bertanwin?
Maka kita jawab: bagaimana mungkin ia bisa bertanwin padahal kondisinya ketika itu dihalangi oleh “al” dan idhofah? Sebagaimana disampaikan oleh as-Sirofi ketika menjelaskan perkataan Sibawaih:
وقوله: "فأمنوا التنوين" يعني بدخول الألف واللام والإضافة أمنوا أن يكون في الاسم تنوين مقدر
Perkataan Sibawaih: “mereka mengamankan tanwin” maknanya adalah masuknya alif lam dan idhofah menghalangi isim tersebut untuk bertanwin (Syarah al-Kitab: 1/171)
Begitu juga Ibnul Fakhkhar mengatakan:
فمن ثم جرى مع الألف واللام والإضافة الحكم الذي يجري مع التنوين
Maka dari itu karena ia “al” dan idhofah menghalangi tanwin, maka ia dihukumi sebagaimana hukum tanwin (munshorif) (syarah al-jumal: 894)
Sebagaimana الرجل dan الكتاب juga dihukumi munshorif padahal ia tidak bertanwin, maka المساجد juga dihukumi munshorif. Wallahu A’lam.

Abu Kunaiza
Di Kampung Senja (Ghurub)