Tanya Jawab Whatsapp



Tanya:
Afwan ustadz mau bertanya: cara praktis membedakan kaana yg tam dg yg naqish bgmn?

Jawab:
Cara yang paling efektif adalah dengan memahami maknanya, ini berlaku untuk semua kaidah. Alternatif kedua dengan membuang fi’ilnya apakah menjadi mubtada khobar atau hanya tersisa fa’ilnya. Saya akan menjelaskan keduanya secara singkat, jika ingin yang panjang lebar bisa simak audio khobar kana.

Kana, kata Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, asalnya adalah tammah. Karena setiap fi’il asalnya mengandung makna pekerjaan(حدث)  dan waktu(زمان) . Dia bermakna وقع، حدث، وُجِدَ، حصل maka dari itu dia hanya butuh fa’il, dengan kata lain dia adalah fi’il lazim.

Ketika makna pekerjaannya hilang, maka jadilah kana naqishoh (yang kurang) karena separuh jiwanya pergi. Itu sebabnya dia juga dinamakan kana zamaniyyah karena hanya mengandung makna waktu. Nah untuk menyempurnakan unsur yang hilang tersebut, dia membutuhkan ma’mulnya, yaitu isim kana dan khobar kana.

Tanya:
1. Dimanakah letak pekerjaan kana naqishoh?
2. Mengapa kana naqishoh hanya butuh jumlah ismiyyah tapi tidak butuh jumlah fi’liyyah?
3. Mengapa kana naqishoh menashobkan khobarnya?
4. apa fungsi isimnya?

Jawab:
1.
كان زيد قائما = قام زيد
يكون زيد قائما = يقوم زيد

Jd letak pekerjaannya ada pada khobar

2. Faktanya bahwa jumlah ismiyyah juga membutuhkan kana, sbgmana kana membutuhkannya. Keduanya saling melengkapi

3. Krn terdiri dari 3 kata maka kata terakhir butuh harokat yg ringan

4. pengganti fa'il



Tanya:
Apa perbedaan اختبار dengan امتحان ?

Jawab:
Kata اختبار berasal dari kata خِبْرَة atau خُبْرٌ yang artinya pengalaman atau pengetahuan. Sebagaimana Nabi Khidhir berkata kepada Nabi Musa: 

وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا؟
“Bagaimana mungkin kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan/pengalaman tentang hal itu?"

Sedangkan kata امتحان berasal dari kata مِحنَة yang artinya ujian atau cobaan. Sebagaimana Allah menyuruh untuk menguji mu’minah yang berhijrah:

!يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang para mu’minah yang berhijrah kepadamu, maka ujilah mereka!”

Begitu pula Allah telah menguji para sahabat:

 امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَىٰ
“Allah telah menguji hati mereka agar bertakwa”

 Maka dari sini kita mengetahui apa perbedaan antara اختبار dan امتحان :


👉🏻 Sebelum ikhtibar ada pembekalan atau pelatihan terlebih dahulu karena tujuannya untuk menentukan masa lalu, yaitu apakah dia menguasai materi yang sudah disampaikan atau tidak. Jadi syaratnya orang yang diuji harus sudah punya خبرة (pengetahuan). Seperti ulangan setiap bab-nya di grup ini. Biasanya tidak terlalu berat karena materinya sudah ditentukan dan jadwalnya pasti.


👉🏻 Tidak ada pembekalan atau pelatihan sebelum imtihan karena tujuannya untuk menentukan masa depan, yaitu apakah dia berhasil melalui standar penguji untuk sampai pada tahap berikutnya atau gagal. Seperti ujian masuk grup ini. Biasanya lebih berat karena mendadak tanpa persiapan. Itu sebabnya Allah menyebut cobaan hidup dengan istilah imtihan dalam al-Qur’an.


👉🏻 Namun istilah sekarang dalam lingkungan sekolah, istilah ikhtibar digunakan untuk ulangan harian, dan imtihan untuk ujian kenaikan kelas.


Tanya:
ustadz mau bertanya lagi.. sebenarnya apa perbedaan Lakum dan fiikum pada ucapan Baarakallah?

Jawab:
Mendoakan keberkahan atas apa yg sdh dicapai atau apa yg Allah karuniakan kepadanya: بارك الله لك
Mendoakan keutamaannya, akhlaknya, kebaikannya, semoga Allah memperbanyak orang seperti anda: بارك الله فيك
Mendoakan semoga Allah memberi kebaikan dengan perantara anda: بارك الله بك


Tanya:
Dulu ketika belajar bahasa arab, saya pernah dengar pengajarnya berkata, bahwa cara terbaik belajar bahasa arab adalah dengan mengenal nama2 benda2, sebagaimana firman Allah di awal2 surat al baqarah, yaitu ketika Nabi Adam 'alahissalaam diperintahkan untuk menyebutkan nama-nama benda. 
Apakah benar pernah ada riwayat yang mengatakan demikian, ustadz?

Jawab:
Terlepas dari ayat tersebut, saya pribadi melihat pengajaran isim didahulukan dari fi’il pada setiap bahasa karena:
1. Isim adalah asal dari fi’il, seperti kata “sapu” adalah asal dari kata “menyapu”
2. Isim bisa berdiri sendiri sedangkan fi’il tidak bisa lepas dari fa’il, maka mempelajari fi’il harus beserta isim
3. Isim lebih luas dari fi’il. Karena setiap fi’il memiliki isim, seperti “membeli” dan “pembelian”, sedangkan tidak semua isim memiliki fi’il, seperti “Budi”
4. Ada banyak isim yang bermakna fi’il, seperti “tidur”
5. Membuat kalimat dengan unsur isim jauh lebih sederhana dan mudah dipahami daripada yang mengandung unsur fi’il, seperti: “ini budi, ini ibu budi, dst”
6. Isim itu asalnya mu’rob sedangkan fi’il itu asalnya mabni. Dan nahwu itu hakikatnya mempelajari i’rob, maka dahulukan tujuan utama

Saya belum tahu sumbernya darimana dan belum pernah dengar sebelumnya. Namun ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari ayat tersebut:

ada sebagian pendapat bahwa yang disebut dengan “isim” disitu hanya nama-nama malaikat dan keturunan Adam saja, dalilnya adalah pada kata عرضهم dhomir هم disana menunjukkan nama yang berakal saja.

Pendapat ini kurang tepat. Karena sebelumnya disebutkan علم آدم الأسماء, kata اسم adalah isim jinsi yang menunjukkan umum baik berakal atau tidak berakal, ditambah lagi dengan wazan jamak. Lebih-lebih ditambah dengan taukid كلها maka ini penegasan yang jelas. Bahkan Ibnu Abbas menyebutkan termasuk isim tashghir dari setiap katanya.
Kemudian dilanjutkan dengan kalimat ثم عرضهم على الملائكة. Makna عرض menurut as-Sa’di adalah امتحان, yakni Allah memberikan soal test kepada malaikat mengenai nama-nama tersebut. Namun mengapa menggunakan dhomir هم padahal sebelumnya menggunakan dhomir ها? Setidaknya ada 2 faedah di dalamnya:
1. Ada kaidah umum di kalangan ulama nahwu: تغليب الكامل على الناقص (mengutamakan yang sempurna dari yang kurang sempurna). Maka yang berakal lebih sempurna dari yang tidak berakal, sebagaimana laki-laki lebih sempurna dari wanita. Itu sebabnya 1 lelaki dan 999 wanita kita sebut هم.
2. Bukankah seandainya pun disana ada yang berakal tetap kita hukumi tidak berakal, karena kita membahas namanya bukan orangnya? Ini bukti bahwa hakikatnya isim (nama) itu adalah musamma (yang diberi nama). Tidak seperti akidah mu’tazilah dkk yang meyakini bahwa Asma Allah itu berbeda dengan Allah itu sendiri, seperti Ar-Rahman itu tidak sama dengan Allah. Maka ayat ini bisa menjadi bantahan untuk mereka.

Imam al-Qurthuby menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa orang pertama yang berbicara dengan bahasa Arab adalah Nabi Adam. Yang mana dari sana Imam as-Suyuthi mengambil faidah bahwa bahasa Arab adalah bahasa tertua di muka bumi, yang masih eksis dan akan terus eksis sampai hari akhir.


Tanya:
 Bismillaah. Ustadz, mohon penjelasannya tentang wawu isyba'. Jazaakumullaahu khayran

Jawab:
Sibawaih pernah mendengar ada beberapa dialek dlm pengucapan dhomir, sperti:

عليهِ، عليهي، عليهُ، عليهو

Huruf ya dan wawu yg menyertai dhomir seperti diatas disebut huruf isyba' (mengenyangkan). Disebut isyba' karena dia bisa mengenyangkan harakat sebelumnya dgn cara menambahkan porsinya, yaitu dobel kasrah atau dobel dhommah.

Dan al-Quran memilih dialek yg menggunakan wawul isyba' khusus hanya dalam kondisi:
Antara mim jamak dan dhomir nashab saja. Selain itu al-Quran tdk menggunakan dialek tersebut.

Setelah wawul isyba' tdk diikuti oleh alif utk menandakan bahwa dia bukan wawu jamak.


Tanya:
Kalau melihat dari keterangan ustadz bahwa sibawaih mendengar dialek bacaan عليهي dengan ya disini disebut ya isyba'.

Ini mungkin serupa di dalam Al Quran ada 1 kata yang dianggap 'keluar' dari kaidah mad shilah yaitu.

فيه مهانا 
Ha' disitu juga dibaca panjang seperti keterangan imam jazari.

Berarti ya setelah ha dhomir itu juga ya isyba' ?


Jawab:
Huruf isyba' itu tertulis dan tdk hilang ditelan waqof


Tanya:
Assalamu'alaikum...

Tolong bantu jawab ya ummah. إذا itu trmsk huruf, isim atau lafd musytarok (bisa mjd huruf dan isim sekaligus)?

Jazaakunnaallaahu khairaan..

Jawab:
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah -rahimahullah- pernah berkata di kitabnya Badai'ul Fawaid:

"Sungguh jauhnya إذا dari isim dan dekatnya dia dengan huruf, karena tidak adanya isytiqoq darinya (turunan kata), karena sedikitnya huruf yang menyusunnya, karena tidak adanya tanwin, karena tidak bermakna kecuali bersama yang lainnya, dan hal lainnya. 
Seandainya bukan karena idhofahnya kepada fi'il dan digunakannya sebagai dzhorof, sungguh tidak akan ada yang mengira bahwa dia adalah isim... selamanya!!!"

kecuali jika إذا tersebut sebagai fujaiyyah, maka ulama terpecah menjadi 3 pandangan:

1. dia dzhorof zaman, dipelopori oleh al-Mubarrad
2. dia dzhorof makan, dipelopori oleh Sibawaih
3. dia harf, dipelopori oleh Akhfasy

dan yang paling kuat adalah pendapat Akhfasy.

Tanya:
Mengapa hanya hal yang berbentuk jumlah saja yang diharuskan ada robith sedangkan isim mufrod dan syibhul jumlah tidak?
Mengapa hanya dalam bentuk jumlah ismiyyah saja yang robith-nya dengan wawu sedangkan jumlah fi'liyyah tidak?

Jawab:
Mufrod dan syibhul jumlah tidak bisa berdiri sendiri melainkan butuh sandaran. Sedangkan jumlah bisa berdiri sendiri. Maka dari itu butuh pengikat agar dia tidak pergi. Yaitu berupa wawu atau dhomir.

Pada jumlah fi'liyyah sudah pasti ada dhomir sehingga dia tidak butuh wawu. Sedangkan pada jumlah ismiyyah dia tidak punya dhomir. Kalaupun ada dhomir maka dhomir itu kembali kepada mubtada bukan kepada shohibul hal. Maka pengikatnya menggunakan wawu.

Tanya:
Bismillah, afwan ustadz mohon dijelaskan lg tentang zamannya haal,  dan bolehnya dg fi'il madli klo didahului dg قد،. Krn  contoh2 di kitab ni banyak menggunakan fi'il madli..Syukron

Jawab:
misalnya: جاء زيد وقد طلعت الشمس
Jika kita mau perhatikan sejenak, mengapa ulama bersusah payah membuat peraturan mengenai haal sedemikian rupa, yang membuat pusing kepala, yaitu:
1. Haal isim mufrod harus berasal dari isim musytaq dan nakiroh tanpa wawu
2. Haal syibhul jumlah tanpa wawu
3. Haal jumlah ismiyyah harus dengan wawu
4. Haal jumlah fi’liyyah dengan fi’il mudhori tanpa wawu
5. Haal jumlah fi’liyyah dengan fi’il madhi harus dengan qod dan wawu

Kadang kita dibingungkan dengan peraturan sebanyak itu, padahal tujuan utamanya hanya 1, apa itu?

Tidak lain untuk menjaga agar waktu terjadinya haal sama dengan fi’il didepannya. Itu saja.

Coba kita runut satu persatu dan kita ambil benang merahnya.
No. 1 isim musytaq adalah isim yang paling mirip dengan fi’il, tapi bagaimana kita membedakan waktunya? Dengan tanwin atau tanpa tanwin. Jika dengan tanwin (nakiroh) maka maknanya adalah haal atau mustaqbal (jika ada dalil). Dengan adanya tanwin maka dia tidak butuh robith. Itu sebabnya Sibawaih sangat keras dalam masalah ini. Jika didapati ada haal yang ma’rifah, maka wajib diniatkan nakiroh.

No. 2 syibhul jumlah adalah tarkib yang paling fleksibel dalam masalah waktu, jadi tanpa adanya robith dia sudah bisa menyesuaikan sendiri.

No. 3 jumlah ismiyyah harus dengan wawu karena belum menunjukkan waktu.

No. 4 fi’il mudhori tidak butuh wawu. Tahukah antum apa makna mudhori? Coba buka kamus maka akan antum temukan maknanya adalah musyabih (yang mirip). Mirip dengan apa? mirip dengan isim musytaq. Untuk poin ini diperlakukan sebagaimana poin 1. Kemiripannya dari segi apa? butuh penjelasan yang panjang untuk pertanyaan ini.

No. 5 fi’il madhi harus didahului dengan qod (li taqrib) untuk menunjukkan kedekatannya dengan zaman haal. Dan harus diberi wawu untuk menunjukkan adanya keterkaitan dengan fi’il sebelumnya.

Sekarang terbuka semua tabir mengapa para ulama membuat beberapa persyaratan diatas.


Tanya:
apakah kata رمضان bisa di-idhofah-kan kepada kata هذه السنة ?

Jawab:
Kata رمضان  itu ghoiru munshorif ketika dia sebagai isim 'alam. Artinya ketika bukan sebagai isim 'alam dia tetap munshorif, dan tidak perlu menyinggung lagi masalah AL dan idhofah.

Imam as-Suhaily di kitab Nataijul Fikri: 293-294 yang diikuti oleh Imam Ibnu Qoyyim di kitab Badai'ul Fawaid: 552, berkata:

"رمضان adalah isim 'alam jika dimaksudkan pada tahun ketika kamu membicarakannya. Jika bukan pada tahun tersebut, maka dia nakiroh. Contoh kalimat:

صمتُ رمضانَ ورمضانًا آخر

Maksudnya adalah ketika kamu berpuasa pada bulan Romadhon tahun ini dan tahun-tahun yang lain."

Maka ketika sudah disebutkan رمضان (ghoiru munshorif) tidak perlu lagi ditambahkan "tahun ini", karena dia sudah menunjukkan tahun ini.

Begitu pula seandainya pun dia masih nakiroh, saya melihat untuk apa ditambahkan lafadz  هذه السنة toh ada 1 lafadz yang sudah mewakilinya, yaitu رمضانُ (ghoiru munshorif).

Wallahu a'lam.


Tanya:
Ustadz. Afwan tanya lagi.
Kalo الأرض bumi, itu termasuk muannats. Tp ko jamaknya أرضون  ??

Jawab:
Ibnu Malik di dalam alfiyyah:

أولو وعالمون علّيّونا     وأرَضون شذّ والسِنونا

Kata أرَضون bukan Jamak Mudzakkar Salim tapi mulhaq JMS (yang diperlakukan seperti JMS). Itu sebabnya beliau menyebutnya syadz (keluar dari kaidah).

Terus sebetulnya dia termasuk jamak apa? Jamak taksir

Mengapa tidak masuk JMS? Karena dia bukan isim 'alam atau sifat, bukan mudzakkar, bukan berakal. Ada 3 sebab yang membuat dia jauh dari JMS, padahal 1 sebab saja sudah cukup. Itu sebabnya pada huruf ر nya diharokati fathah sebagai tanda dia bukan JMS. Seandainya dia JMS semestinya dibaca أرْضون.


Tanya:
Apa pendapat yang lebih kuat, هذان mabni/mu'rob?

جزاكم الله خيرا

Jawab:
Mslh هذان merupakan perselisihan lama antara Basrah dan Kufah yang diwariskan kepada penerusnya.

Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnu Qoyyim, yang selalu sejalan dalam hal nahwu pun tidak luput dari perselisihan ini.

Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa dengan jelas menyatakan bahwa هذان adalah mabni. Sedangkan Ibnu Qoyyim menunjukkan ketidaksetujuannya dan tetap berpegang dengan madzhab Kufah dalam kitabnya Badai' al-Fawaid.

Sebetulnya mslh ini berporos pada asal isim isyaroh itu sendiri apakah ذا atau ذَ. Jika ذا maka jelas dia mabni, namun jika ذَ maka alif setelahnya adalah alif itsnain sehingga dia mu'rob.

Terlihat sepele namun merembet kepada bab lain seperti اللذان dan اثنا عشر.

Mana pendapat yang benar?

Syaikh Utsaimin tidak terang-terangan memihak pada salah satu, namun ucapan beliau menyiratkan kecondongan kepada Kufah. هذان adalah mabni sbgmn yg disebutkan Ibnu Malik, namun pndpt yg menyebutkan dia mu'rob lebih mudah, karena dia berubah seiring perubahan amil.

Saya pribadi lbh condong kpd Ibnu Qoyyim, bahwa tatsniyah yg masuk pada isim mabni diatas menyebabkan dia menjadi mu'rob, mengapa?

Insya Allah sudah sy cantumkan di kitab yg sedang saya susun, tunggu saja tanggal mainnya...


Tanya:
Jika kita perhatikan, semua ulama memfokuskan pada pembahasan isim daripada fi'il dan harf. Lebih dari separuh bab nahwu berpusat pada isim. Tidak pernah ada yang membahas marfu'atul af'aal dan manshubatul af'aal, mengapa demikian?

Jawab:
Harf tdk pnya kedudukan apa2 dlm kalimat (لا محل لها)

Sedangkan harf kata sibawaih fungsinya hanya 1 yaitu ikhbariyyah atau mukhbar bihi atau musnad. Sama seperti bhs kita, fungsi kata kerja hanya sebagai predikat.

Adapun fungsi lainnya diborong oleh isim, baik umdah maupun fadhlah. Itu sebabnya asal dari isim adalah mu'rob karena beragamnya fungsi dia lebih membutuhkan i'rob daripada yg lain, dan kira2 60% ilmu nahwu berpusat pada pembahasan isim.

Sebaliknya harf tdk pernah dibahas tentang kedudukannya krn sebab diatas, yg dibahas hanya sekedar amalannya.

Begitu juga fi'il asalnya adalah mabni kecuali fi'il mudhori karena kemiripannya dengan isim. Itupun perubahan tanda irob pada mudhori tdk mempengaruhi fungsinya dlm kalimat, karena apapun irobnya fungsinya tetap sebagai ikhbariyyah.

Berbeda dengan isim, irobnya menentukan fungsinya.

Bagi saya, pemula lebih butuh isim dari yang lainnya.

Wallahu a'lam.


Tanya:
Mengapa munada mabni dengan tanda rofa?

Jawab:
kalau mabni dgn tanda nashob akan sulit membedakan munada yg mabni dgn yg mu'rob khususnya yg berasal dr isim ghoiru munshorif. mis: يا أحمدَ > mabni kah dia atau manshub?

kalau mabni dgn tanda jar akan sulit membedakan antara munada yg mabni dgn munada yg mudhof kpd ya mutakallim namun di-takhfif (dihilangkan huruf ya-nya). misal dlm hadits: يا ربِّ يا ربِّ asalnya يا ربِّي kemudian ditakhfif, apakah dia mabni atau majrur?

begitu juga قبلُ

tidak mabni dgn fathah karena asalnya dzhorof itu manshub, agar tidak tertukar.

tdk mabni dgn kasroh karena khawatir tertukar dgn mudhof kpd ya mutakallim yg ditakhfif.


Tanya:
Assalaamu'alaikum wr wb Ustadz,
mohon maaf, setelah dauroh semalam, ada timbul pertanyaan, sehubungan dg analogi bhs Arab dg smartphone.

smartphone, tercipta setelah perjalanan panjang dr hp lawas. lalu bhs Arab, bisa sedemikian detil dan canggih, apakah krn usia bhs Arab yg sudah tua, ataukah itu terbentuk saat Al Qur'an diturunkan kepada Rasulullah saw?

krn di sisi lain, bhs latin dan bhs inggris jg sudah sangat tua, tapi walau jauh lebih detil dr bhs lain, terutama bhs latin yg lalu dipakai sbg bhs ilmiah, tetapi sepertinya masih tidak sedalam bhs Arab...

mohon pencerahan Ustadz

جزاك اللّٰه خيرا

Jawab:
Jawabannya adalah ayat:

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap bahasa pasti berkembang seiring berjalannya zaman, bahasa apapun itu. Hanya saja permasalahannya mampukah bangsa tersebut menjaga bahasanya yg dahulu.

Cukup kita lihat Anglo Saxon (bahasa Inggris kuno) punah karena tidak ada yg menjaganya. Belum lagi bahasa romawi, yunani, sanskerta, dll.

Sedangkan bahasa Arab, Allah sendiri yg menjaganya melalui perantara al-Qur'an. Sehingga disamping dia berkembang namun bahasa lamanya juga tetap exist. Sehingga dia lebih kompleks krn penjagaannya dari 2 arah: terjaga dan berkembang.

Wallahu a'lam


Tanya:
Bismillah.
Allahu yubariku fiikum...
Ada beberapa pertanyaan yang ingin ana tanyakan:
1. Apakah istitsnaa bisa jatuh di awal jumlah?
2. Adakah aturan dalam nahwu yang mengharuskan istsna jatuh bersambung langsung dengan mustatsna minhu tanpa fashil?
3. Bolehkah mustatsna lebih dari setengah mustatsna minhu (dalam tinjauan nahwu)

Jazaakumullah khoyron

Jawab:
Jawabannya berupa audio, ada di link ini


Tanya:
Ustadz, mau nanya..

وكذلك أنزلناه قرآنا عربيا...

 kata "عربيا" pada ayat tersebut i'rabnya apa ya..?

kemudian, bgaimna mnurut ustadz tentang sebagian orang yg mengatakn bhwa kata عربيا maknanya adlh "serumpun dengan arab" bukan "berbahasa arab".

 Semoga penjelasan dari ustadz bisa menjadi perantara utk menjaga kami dri syubhat dan meluruskan pemahaman.

Jawab:

عربيا = نعت

Abu Ubaidah berkata:

فمن زعم أن فيه غيرَ العربية فقد أعظمَ القولَ

“Siapa yang meyakini bahwa di dalam al-Qur’an itu ada bahasa selain bahasa Arab maka sungguh berat ucapannya (dia harus mempertanggung jawabkan keyakinannya)”


Abur Robi’ berkata:

إن الكتاب والسنة لو كانا أعجمِيَينِ لوجب على الأمة تعلُّمُ اللغة الأعجمية

“seandainya al-Qur’an dan as-Sunnah berbahasa selain bahasa Arab, pasti umat ini diwajibkan mempelajari bahasa tersebut”


Tanya:
Bismillah. Afwan ustadz mau bertanya.
Apakah kalimat ini benar,
هل أكلت ثلثين الطعام ؟
Apakah kamu telah makan dua pertiga makanan itu?
pertanyaan ana,
Apakah ثلثين
huruf nun nya mahdzuf? krn dia mudhof tatsniyah
Atau tetap begitu? krn dia كسور العدد
Syukron

Jawab:
Sibawaih berkata:

منعت النون من عشرين أن يكون ما بعدها جرا

"Huruf nun pada 'isyriina menghalangi isim setelahnya menjadi majrur"

Dari statement ini muncul 3 hukum:

1. Dibuat tamyiz atau maf'ul minhu menjadi ثلثين طعامًا

Sbgmn firman Allah:
 له تسع وتسعون نعجةً

2. Dibuat mudhof ilaih menjadi ثلثي الطعام

Sbgmn firman Allah:
تقوم أدنى من ثلثي الليل

3. Dimunculkan huruf "min"nya jika mumayyaz nya diberi ال menjadi الثلثان من الطعام


Tanya:
Assalamu'alaikum ustadz..afwan mau tanya di luar materi munada.

Di surat al insan ayat 13 itu disebutkan matahari tanpa Alif Lam.. شمسًا

Sedangkan di ayat2 lain dg alif lam..

Bedanya apa ya ustadz

=== Sbnrnya inti prtnyaannya..

Apkh Alif Lam itu hrs sllu menyrtai qomar dan syams jk yg dimaksud adlh dua benda langit itu?

Jawab:
Kata شمس memang betul tidak ada duanya لا نظير لها begitu juga dgn قمر. Tapi mengapa lafadznya nakiroh dan bisa dimasuki ال معرفة ?

Jawabnya:
1. Karena mungkin saja Allah menciptakan matahari lain selain matahari yg ada diatas kita sekarang ini. Diantara buktinya kata شمس pada surat al-Insan ayat 13 menggunakan lafadz nakiroh:

{مُّتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ ۖ لَا يَرَوْنَ فِيهَا شَمْسًا وَلَا زَمْهَرِيرًا} [الانسان : 13]

Kata Imam Ibnu Katsir, maknanya penghuni surga tidak merasakan panasnya terik matahari. Dan maksud matahari disini bukan matahari yg ada skrg.

2. Karena orang arab menganggap matahari dan bulan itu ada banyak berdasarkan pergantian siang dan malam. Sehingga mereka biasa mengatakan:

شمس هذا اليوم أحرُّ من شمس أمس
وقمر هذه الليلة أكثر نورا من قمر أول الشهر

Matahari hari ini lebih panas daripada matahari kemarin.
Bulan malam ini lebih terang daripada bulan awal bulan.

Adapun jika diberi ال maka yg dimaksud adalah matahari dan bulan yang ada skrg ini.


Tanya:
الســـلامـ عليكــــمـ ورحمة الله وبركــــاته

Afwan ustad, mau tanya diluar materi..
Kata, mekah مكة bisa ber ال tidak? sehingga menjadi المكة..

Jawab:
nama kota atau negara itu sudah fix artinya dia sama'i tidak bisa diganti2. ada yang lazim dengan ال seperti الرياض ada juga yg tanpa ال seperti مصر . terlebih kalau ada dalilnya dalam al-Qur'an atau al-Hadits seperti مكة. Allah berfirman:


 وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُم بِبَطْنِ مَكَّةَ

maka مكة lazim tanpa ال lebih kuat alasannya daripada مصر


Tanya:
Ustadz, berarti dalam belajar nahwu itu kita bisa tentukan kedudukan kalimat secara i'rob dan secara makna ya?
Pertanyaan yg sama.. kadang ada pemula yg menemukan i'rab setelah dia tau artinya.. tp menurut saya itu kurang tepat, kita bisa tau artinya dg benar, ketika kita mengetahui kedudukannya di dalam kalimat tersebut..

Menanti penjelasan ustadz.

Jawab:
Inilah yang menjadi inti perselisihan ulama nahwu di setiap hukumnya. Ada yg hanya melihat lafadz, ada yg hanya melihat makna, ada juga diantara keduanya.

Awal pertemuan kami dengan Abu Aus, kami dibuatnya bingung:

رُبّ رجلٍ يقرأ

Kata beliau رجل adalah fa'il, padahal setahu kami itu mubtada.

إنّ المسلمين ذهبوا

Kata beliau المسلمين fa'il, padahal setahu kami itu isim inna.

Lama kelamaan kami paham bahwa setiap isim yang berpredikat fi'il di-i'rob sebagai fa'il. Beliau sama sekali tidak melihat lafadz hanya melihat makna, baik posisinya di depan atau di belakang, baik ia marfu', manshub, ataupun majrur, tetap fa'il.

Kalau saya pribadi tidak se-ekstrim itu, kebanyakan i'rob dan makna itu sejalan. Kalaupun terjadi perbedaan, maka sy akan jelaskan bahwa i'robnya: A sedangkan maknanya: B.


Tanya:
'Afwan, Ustadz, mau tanya, bagaimana cara praktis mengetahui suatu isim itu mudzakar atau muannats?

Jawab:
Setiap bab ada pengecualian.

Ini adalah kaidah umum, tdk hanya pada bab muannats, bahkan tdk hanya pada nahwu, namun pada semua disiplin ilmu, aqidah, fiqih, sains, dsb.

Maka hendaknya kita tdk fokus pada pengecualiannya, dan jangan ragu utk mengatakan kaidah asalnya, karena pengecualian itu sangat2 sedikit, bahkan mgkn tdk sampai 1% dari keseluruhan.

Jangan ragu kita katakan bahwa isim mudzakkar itu tdk diakhiri tanda ta'nits, meskipun kita dapati ada طلحة dan زينب jangan sampai mengubah pendirian kita dgn mengatakan: "kadang isim mudzakkar itu diakhiri tanda ta'nits kadang tidak" sehingga membuat para pemula menjadi bingung. Krn pengecualian itu sangat2 sedikit.

Saya kutip faedah dari az-Zajjaji di kitab "al-Idhoh fii ilalin nahwu":

"Setiap bab itu memiliki hukum asalnya, meskipun ada sebagian kecil yang menyelisihi hukum asal tidak membuat ia keluar dari bab tsb. Hal ini berlaku utk semua cabang ilmu. Misal: sholat itu wajib bagi mereka yang baligh, namun kenyataannya kita dapati ada yg terbebas dari wajibnya sholat, (apakah kita akan mengatakan bahwa sholat kadang wajib dan kadang tidak wajib?)."

Jika kita tidak memegang kaidah asalnya maka betapa repotnya kita menetapkan hukum di setiap bab-nya, karena setiap bab memiliki pengecualian.

8 komentar:

  1. Assalamualaikum ustadz ada buka pelajaran di wa gk

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum ustadz ada buka pelajaran di wa gk

    BalasHapus
  3. Kalau mau nanya mengenai i'rob harus tanya dimana ya?
    Saya mau nanya i'robnya المعنى ما يدل عليه اللفظ
    Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih

    BalasHapus
  4. i'robnya apa yah اللهم انى أعوذ بك

    BalasHapus
  5. Assalamu'alaikum ustadz,mau tanya, Sebutkan Contoh Mubtada’ berupa isim nakirah dan khabar-nya berupa syibhul jumlah?

    BalasHapus
  6. Assalamualaikum wa rohmatullohi wa barakatuh,
    Alhamdulillah , saya baru pertama sekali masuk KE blog ustadz Abu Kunaiza ini, terima kasih atas penjelasannya di blog ini, saya pemula di bahasa Arab, jadi ini manfaat bahkan mempercepat pemahaman dalam mempelajari bahasa Arab.

    Usul ustadz jika memungkinkan seluruh pertanyaan ttg bahasa Arab sejak blog ini hadir dibuat buku KAMUS TENTANG KAIDAH BAHASA ARAB YANG SERING DITANYAKAN,

    Jazakumullahu khoiran.


















































































    BalasHapus
  7. Apakah khobar kana bisa terletak di depan kana???

    BalasHapus