Selasa, 21 Agustus 2018

Mengapa Rasm Utsmani Berbeda dengan Rasm Qiyasi?




       

         A.   Pentingnya mempelajari Rasm Utsmani
Rasm maknanya adalah tulisan, dan ia terbagi menjadi 2 jenis: Rasm Qiyasi dan Rasm Isthilahi. Rasm Qiyasi adalah kaidah penulisan bahasa Arab yang ada pada kita sekarang ini, atau yang biasa disebut kaidah imlaiyyah. Rasm ini sangat mudah kita dapati di berbagai media tulisan, seperti hadits, kitab para ulama, buku-buku pelajaran, koran, dan semua media yang menggunakan bahasa Arab.
Sedangkan Rasm Isthilahi adalah kaidah penulisan yang hanya ada pada Mushaf al-Qur’an, dikenal juga dengan Rasm Utsmani, disandarkan kepada Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu atas gagasan beliau dalam pembukuan al-Qur’an. Pada dasarnya Rasm Utsmani ini berkesesuaian dengan Rasm Qiyasi, hanya saja dalam beberapa hal terdapat perbedaan, dan itu tidak banyak.
Mempelajari ilmu Rasm Utsmani ini penting bagi setiap muslim. Karena beberapa hal berikut ini:
1.     Rasm Utsmani merupakan ijma’ Sahabat. Dan ijma’ ini bukanlah ijma’ yang kecil, melainkan 12.000 Sahabat sepakat atas perintah Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Bahkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang semula tetap bertahan dengan mushafnya sendiri, akhirnya beliau membakar mushafnya dikarenakan ijma’ ini. Maka penting bagi kita mengetahui ilmu ini agar tidak menyelisihi ijma’ sahabat.
2.    Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
     مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan: “alif lam mim” satu huruf akan tetapi “alif” satu huruf, “laam” satu huruf dan “miim” satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469).
Diantara faedah hadits diatas adalah setiap ibadah yang berkaitan dengan al-Qur’an itu ditentukan berdasarkan Rasm Utsmani. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyebutkan bahwa pahala membaca الم adalah 3 kebaikan berdasarkan Rasm Utsmani, seandainya berdasarkan lafadz yang diucapkan maka semestinya 9 kebaikan karena terdiri dari 9 huruf: أَلِف لاَم مِيم.
3.    Imam Ibnul Jazari rahimahullah menyebutkan dalam Nadzhom Thoyyibatun Nasyr, bahwa syarat bacaan al-Qur’an yang benar itu ada 3:
     فَكُلُّ ما وافَقَ وَجهَ نَحوِ    وَكانَ لِلرَّسمِ احتِمالًا يَحوِي
     وَصَحَّ إسنادًا هُوَ القُرآنُ    فَهذِهِ الثَّلاثَةُ الأركانُ
     وَحَيثُما يَختَلَّ رُكنٌ أثبِتِ   شُذُوذَهُ لَو أنَّهُ فِي السَّبعَةِ
“Setiap yang berkesesuaian dengan kaidah nahwu meskipun hanya 1 madzhab, dan yang berkesesuaian dengan Rasm Utsmani meskipun ihtimal (opsional), dan sanad yang bersambung, itulah al-Qur’an. Inilah 3 rukun bacaan yang benar. Dimana salah satu rukunnya tidak terpenuhi maka itu adalah bacaan yang syadz (menyelisihi kaidah) meskipun dia mengikuti 7 imam.”
Kita mengetahui ada banyak dari kalangan kita yang mempelajari rukun pertama dan ketiga. Namun jarang diantara kita yang menaruh perhatian pada rukun yang kedua, yaitu ilmu Rasm Utsmani.
4.    Jika kita mengetahui bahwa seorang ahli nahwu dan seorang musnid (yang memiliki sanad al-Qur’an) termasuk ke dalam penjaga wahyu. Maka ketahuilah bahwa seorang yang menguasai kaidah Rasm Utsmani termasuk ke dalam deretan tersebut.

         B.    Sebab-sebab Perbedaan Rasm Utsmani dengan Rasm Qiyasi
Kita dapati ada banyak tulisan yang membahas tentang makna rahasia dibalik penulisan Rasm Utsmani yang menyelisihi Rasm Qiyasi. Hanya saja kebanyakan tulisan tersebut hanyalah dugaan semata tanpa dalil yang kuat. Berikut ini saya bawakan sebab-sebab perbedaan tersebut berdasarkan pendapat jumhur ulama:
1.     Rasm Utsmani adalah Tauqifiyyah, hal yang tidak perlu dipertanyakan sebabnya. Ketahuilah bahwasanya para Sahabat menuliskan al-Qur’an berdasarkan arahan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau. Dan beliau tidaklah mengetahui hal itu melainkan dari Jibril ‘alaihis salam, karena beliau adalah seorang yang ummiy (tidak bisa baca tulis). Maka tidak perlu dipertanyakan alasannya karena rasm ini sudah tersimpan sejak dahulu kala di Lauhul Mahfudz. Sama halnya dengan urutan ayat adalah perkara tauqifiyyah. Terkadang ayat nasikh (yang menggantikan) muncul lebih dulu daripada ayat mansukh (yang digantikan), dan tidak perlu kita pertanyakan.
2.    Rasm Utsmani yang ada sekarang ini merupakan Rasm Qiyasi pada masa Sahabat. Dan hal ini ditemukan pada tulisan-tulisan mereka selain al-Qur’an. Hingga akhirnya muncul Madzhab Nahwu Basrah dan Kufah. Barulah pada masa itu dirumuskan kaidah-kaidah penulisan untuk memudahkan pelajar, yang disebut dengan Rasm Qiyasi. Sehingga kita merasakan sedikit kesulitan memahami Rasm Utsmani dikarenakan kita sudah terbiasa dengan Rasm Qiyasi. Maka suatu hal yang tidak pantas ketika kita menghakimi Rasm Utsmani menggunakan Rasm Qiyasi, padahal Rasm Utsmani muncul lebih dahulu daripada Rasm Qiyasi.
3.    Pada masa Rasm Utsmani belum ada tanda baca, titik, tanda hamzah, tasydid, dan lainnya. Sehingga kata مِنْهُ itu sama tulisannya dengan مِئَةٌ ketika itu, maka dari itu diberi tanda alif setelah mim untuk membedakan menjadi مِائَةٌ. Atau contoh lain kata إِلَيْكَ itu sama tulisannya dengan أُلَئِكَ pada masa itu, maka dari itu diberi tanda wawu setelah hamzah untuk membedakan menjadi أُولئِكَ. Dan masih banyak lagi contoh lainnya, yang mana semua ini bertujuan untuk menghindari iltibas.
4.    Ada kemungkinan rasm tersebut tidak baku menurut satu dialek namun baku menurut dialek yang lain. Sebagai contoh penulisan ة bagi Bani Thoyyi’ lebih baku menggunakan ت maka dalam al-Qur’an juga ada yang semisal itu. Atau menghilangkan huruf ي pada kata يأتِ padahal tidak ada penjazm, dan ini ada pada dialek Bani Hadzil dan ada juga dalam al-Qur’an. Begitu contoh-contoh yang lainnya, ini semua merupakan bahasa yang fasih.
5.    Untuk mengetahui mukholafah mughtafaroh, yakni adanya kemungkinan bacaan lain yang diperbolehkan. Misalnya kata مالِكِ ditulis tanpa alif untuk menandakan boleh juga dibaca pendek. Atau kata كلمت ditulis tanpa alif untuk menandakan boleh dibaca panjang yang bermakna jamak, boleh juga dibaca pendek yang bermakna mufrod. Atau yang semisal itu.
6.    Atau untuk menandakan asal hurufnya misalnya kata الصلوة، الزكوة، الحيوة tidak menggunakan alif untuk menandakan bahwa asalnya adalah wawu.

Itu diantara sebab-sebab mengapa Rasm Utsmani berbeda dengan Rasm Qiyasi. Wallahu a’lam.

     Rujukan utama: Kitab Samiru ath-Tholibin fi Rasmi wa Dhobthi al-Kitabi al-Mubin


     Abu Kunaiza
     Riyadh, 9 Dzulhijjah 1439 H

Jumat, 17 Agustus 2018

Memahami Makna Maa Maushulah pada Surat al-Kafirun




Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “ما  dalam kaidah bahasa Arab ditujukan bagi sesuatu yang tidak berakal atau sifat bagi yang berakal.” (Majmu’ Fatawa: 16/562). ما  yang menunjukkan tidak berakal insya Allah antum sekalian sudah mengetahuinya. Adapun contoh untuk ما  yang menunjukkan sifat bagi yang berakal adalah pada ayat: فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ “Maka nikahilah wanita-wanita yang baik bagi kalian” (an-Nisa: 3).
Jika ada yang bertanya, mengapa isim maushul pada surat al-Kafirun menggunakan ما : لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ dan tidak menggunakan مَن: لَا أَعْبُدُ مَنْ تَعْبُدُونَ ? Ada yang berpendapat bahwa karena berhala itu tidak berakal. Maka jawaban ini tidak tepat, karena sesembahan mereka ada juga yang berasal dari malaikat, orang-orang sholeh, para nabi, jin, dan lain-lain. Meskipun ada juga sesembahan mereka yang tidak berakal, namun yang berakal semestinya mengalahkan yang tidak berakal sebagaimana firman Allah:
فَمِنْهُم مَّن يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُم مَّن يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُم مَّن يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ 
“diantaranya ada yang berjalan di atas perutnya, ada yang berjalan dengan dua kakinya, dan ada yang berjalan dengan empat kaki” (an-Nur: 45)
Kita lihat pada ayat diatas, semuanya menggunakan lafadz مَن, padahal tidak semua yang dimaksud adalah manusia (yang berakal). Sehingga semestinya yang berakal mengalahkan yang tidak berakal.
Maka makna ما  maushulah pada ayat لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ adalah mencakup semua jenis yang disembah, baik dia tidak berakal maupun sifat dari yang berakal. Sedangkan jika menggunakan مَن, akan menjadi lebih spesifik yaitu hanya untuk yang berakal.
Bukti yang menguatkan bahwa ما  itu menunjukkan makna jenis secara umum adalah ucapan Fir’aun: وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ (الشعراء: 23). Apakah Fir’aun hendak menanyakan hakikat Robb? Bukan, karena dia sudah mengetahuinya, sebagaimana Nabi Musa berkata: لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ (الإسراء: 102) "Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan ayat-ayat itu kecuali Robb Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti yang nyata”. Lantas mengapa Fir’aun bertanya menggunakan ما ? Karena jika dia menggunakan مَن akan menunjukkan bahwa dia mengetahui hakikat Robb yang sebenarnya. Sehingga dia menggunakan kata ما sebagai bentuk pengingkaran: “Apa pula dia ini? Apa itu yang kau namakan Robb semesta alam?”.
Setelah kita mengetahui apa makna ما yang sebenarnya, sekarang bisa kita ambil kesimpulan mengapa pada surat al-Kafirun menggunakan kata ما  dan bukan مَن:
Pertama, menunjukkan bahwa kita harus berlepas diri dari semua jenis ilah selain Allah, baik berakal maupun tidak. Sedangkan jika menggunakan مَن hanya terbatas pada yang berakal. Kedua, berlepas diri disini tidak hanya terbatas pada objek yang disembahnya namun juga dari pelaku syiriknya dan ritual penyembahannya, karena semuanya batil. Sedangkan jika menggunakan مَن hanya terbatas pada objek yang disembah. Ketiga, menunjukkan bahwa semua ibadah mereka adalah batil meskipun di sebagian waktu mereka menyembah Allah, karena ibadah mereka adalah ibadah yang majemuk. Sedangkan jika menggunakan مَن akan menunjukkan bahwa sebagian ibadah mereka salah, sebagian lagi benar. Keempat, ketika ibadah mereka majemuk maka mereka juga berlepas diri dari kaum muslimin. Sedangkan jika menggunakan مَن mereka akan mengklaim bahwa ketika menyembah Allah mereka juga muslim meskipun setelah itu berbuat syirik lagi. Kelima, menunjukkan bahwa semua yang mereka yakini tentang Dzat Allah adalah batil. Sedangkan jika menggunakan مَن maka kita membenarkan anggapan mereka bahwa Nabi Isa itu Allah, patung itu Allah, dan seterusnya. Keenam, menunjukkan bahwa semua yang mereka yakini tentang Sifat Allah adalah batil. Seperti Allah memiliki anak, Allah ada dimana-mana, dan seterusnya. Jika menggunakan مَن makna ini tidak akan tercapai. Wallahu a’lam.

Disari dari Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 16




Abu Kunaiza
Riyadh, 5 Dzulhijjah 1439 H


Mengetahui Makna Fi’il pada Surat al-Kafirun




          Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Fi’il Mudhori’ dalam kaidah bahasa Arab menunjukkan waktu yang kontinyu selain waktu lampau. Dengan kata lain ia mencakup waktu sekarang dan mendatang.” (Majmu’ Fatawa: 16/551). Misalnya dalam surat al-Kafirun ada kata لَاأَعبُدُ dan ماتَعبُدُونَ, keduanya menggunakan fi’il mudhori’ yang bermakna menafikan ibadah kepada sesembahan mereka yang sekarang dan mendatang.
          Berbeda dengan ayat setelahnya yang menggunakan syibhul fi’li وَلا أنا عابِدٌ dan menggunakan fi’il madhi ماعَبَدتُّم. Maka ini bermakna menafikan ibadah kepada sesembahan mereka yang telah lalu. Sehingga jika 2 kalimat ini digabungkan, sudah mencakup penafian di semua waktu: dulu, sekarang, dan mendatang.
          Kemudian kalau kita perhatikan pada ayat yang kedua ini وَلا أنا عابِدٌ menggunakan syibhul fi’li (isim fa’il), tidak menggunakan fi’il sebagaimana ayat sebelumnya لَاأَعبُدُ. Sepintas tampak sama namun ada perbedaan makna. Huruf لا yang masuk pada jumlah ismiyyah diatas adalah لا التَّبْرِئَةُ المُهْمَلَة (nama lain dari laa nafiyyah lil jinsi yang tidak beramal). Huruf ini tidak beramal karena isimnya bukan isim nakiroh. Jenis لا ini berbeda dengan laa nafiyyah yang masuk kepada fi’il, karena ia memiliki makna tambahan yaitu tabri’ah (berlepas diri, membersihkan), sehingga makna nafi-nya lebih kuat.
          Contoh sederhananya sebagaimana kalimat: لا أفعلُ كذا artinya “aku tidak melakukan hal itu”, sedangkan لا أنا فاعلٌ كذا artinya “aku membersihkan diriku dari melakukan hal itu, artinya berlepas diri secara total”. Syaikhul Islam memperjelas lagi bahwa model kalimat yang pertama yang menggunakan fi’il, boleh jadi dia meninggalkan perbuatan itu tanpa disertai benci namun karena ada sebab lain. Sedangkan model kalimat kedua yang menggunakan isim, bermakna dia harus mencegah dirinya dari perbuatan itu dengan kebencian, inilah yang dimaksud dengan baro’ah.
Hal ini sejalan dengan firman Allah di ayat yang lain:
أَنتُم بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ
Kalian berlepas diri dari apa yang aku kerjakan dan aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan” (Yunus: 41)
          Begitu juga sebaliknya, dari pihak orang kafir pun menggunakan لا التبرئة yakni ولا أنتم عابِدُونَ “bahwasanya kalian juga berlepas diri dari ibadah apa yang kaum muslimin sembah”. Ini menunjukkan bahwa jiwa mereka itu kotor dan tidak layak menyembah Ilaah-nya Nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam-.
          Uniknya, ketika disandarkan kepada kaum kafir, objek yang disembahnya menggunakan fi’il mudhori:  ولا أنتم عابِدُونَ ماأعبُدُ tidak seperti ayat sebelumnya yang menggunakan fi’il madhi: ولا أنا عابِدٌ ماعَبَدتُّم. Apa sebabnya? Jawabnya adalah sekiranya menggunakan kalimat ولا أنتم عابِدُونَ ماعَبَدتُّ maka mereka akan menyangkal dengan mengatakan: “Siapa bilang? Kami juga menyembah apa yang kalian sembah ketika kalian masih jahiliyyah dahulu.” Maka lebih sesuai menggunakan fi’il mudhori, yang maknanya kalian berlepas diri dari apa yang aku sembah sekarang ini.
          Maka itulah alasannya mengapa ayat وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ diulang 2 kali dan keduanya menggunakan fi’il mudhori. Yakni وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ yang pertama untuk dipasangkan dengan ayat لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ yaitu menafikan ibadah apa yang disembah orang kafir sekarang dan yang akan datang. Sedangkan yang kedua untuk menafikan ibadah apa yang disembah orang kafir dahulu kala. Keduanya menggunakan fi’il mudhori مَا أَعْبُدُ karena kenyataannya para sahabat juga sebelum masuk Islam juga menyembah apa yang orang kafir sembah. Wallahu a’lam.

Disari dari Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 16



Abu Kunaiza
Riyadh, 5 Dzulhijjah 1439 H

Rabu, 15 Agustus 2018

Tasyabbuh Membuat Pelakunya Keluar dari Asalnya




          Ikhwati fillah, ketahuilah bahwasanya tasyabbuh (penyerupaan) akan membuat pelakunya keluar dari asalnya. Sebagaimana seorang lelaki yang menyerupai wanita dalam hal berpakaian atau berhias maka secara psikologis akan   mengeluarkan dia dari sifat kelelakiannya tanpa disadari. Begitu juga seorang muslim yang menyerupai orang kafir akan mengeluarkan dia dari fitrahnya (islam) secara perlahan. Hal semacam ini juga terjadi pada kaidah nahwu.
          Kita lihat 3 unsur kata (isim, fi’il, dan harf) akan keluar dari prinsip asalnya ketika menyerupai satu sama lain. Perhatikan penjelasan berikut dan pegang erat kaidah ini, kelak antum akan membutuhkannya.

     1.     Isim menyerupai fi’il
Pada asalnya isim adalah munshorif, yakni bisa dimasuki tanwin dan bisa dimasuki tanda jarr. Namun ketika isim itu mirip dengan fi’il, maka menyebabkan ia ghoiru munshorif sebagaimana fi’il juga tidak bisa dimasuki tanwin dan tidak majrur. Misalnya نظرت إلى أحمدَ. Sisi kemiripan antara isim ghoiru munshorif dan fi’il adalah: fi’il harus memiliki 2 unsur agar bisa dikatakan fi’il sempurna yaitu hadats (makna pekerjaan) dan zaman (waktu), begitu juga isim agar bisa menjadi ghoiru munshorif harus memiliki 2 ‘illat (sebab) yaitu ‘illat makna dan ‘illat lafadz.

     2.    Isim menyerupai harf
Pada asalnya isim adalah mu’rob, yakni bisa dimasuki tanda rofa’, nashob, dan jarr. Namun ketika isim itu mirip dengan harf, maka menyebabkan ia mabni sebagaimana semua harf juga mabni. Misalnya مَنْ هُوَ؟. Sisi kemiripan isim mabni dan harf diantaranya karena lafadz dan makna. Dari segi lafadz, ada isim yang terdiri dari 1-2 huruf sebagaimana harf seperti هو, padahal asalnya isim adalah 3-4 huruf. Dari segi makna, ada isim yang maknanya mirip harf seperti مَن yaitu mirip hamzah istifham.

     3.    Fi’il menyerupai isim
Pada asalnya fi’il adalah mabni. Namun ketika fi’il itu mirip dengan isim, maka menyebabkan ia mu’rob sebagaimana isim juga mu’rob. Yang dimaksud fi’il mu’rob disini adalah fi’il mudhori’. Misalnya لَنْ أذهبَ. Sisi kemiripan fi’il mudhori’ dengan isim diantaranya dari lafadz dan amalannya. Dari segi lafadz, harokatnya sama dengan isim fa’il-nya seperti مُسْلِمُوْنَ – يُسْلِمُُوْنَ. Dari segi amalannya, sama-sama merofa’kan fa’il dan menashobkan maf’ul bih.

     4.    Fi’il menyerupai harf
Pada asalnya fi’il adalah mutashorrif, yakni bisa di-tashrif berdasarkan perubahan waktunya. Namun ketika fi’il itu mirip dengan harf, maka menyebabkan ia jamid (tidak bisa ditashrif) sebagaimana harf juga tetap pada setiap waktunya. Misalnya fi’il لَيْسَ dan عَسَى tidak memiliki bentuk mudhori’ dan amr. Sisi kemiripan fi’il jamid dengan harf adalah dari segi makna, لَيْسَ sama seperti ما bermakna nafi, dan عَسَى sama seperti لعلّ bermakna taroji (harapan).

     5.    Harf menyerupai fi’il
Pada asalnya harf beramal dengan lemah, yakni hanya bisa beramal pada 1 ma’mul. Namun ketika harf itu mirip dengan fi’il, maka menyebabkan ia beramal lebih kuat sebagaimana fi’il bisa beramal pada 2 ma’mul. Yang dimaksud harf disini adalah inna wa akhowatuha. Misalnya إنَّ زيدًا قائمٌ. Sisi kemiripan inna wa akhowatuha dengan fi’il adalah dari segi lafadznya, yaitu sama-sama terdiri dari 3 huruf dan diakhiri dengan fathah sebagaimana fi’il madhi. Begitu juga dari segi maknanya, yaitu إنّ bermakna أتأكّدُ.

     6.    Harf menyerupai isim
Pada asalnya harf tidaklah bermakna kecuali bersama-sama dengan ma’mulnya. Namun ketika harf itu mirip dengan isim, maka menyebabkan ia bermakna isim. Misalnya harf khithob pada ذلكم، أولئكَ، إياكما atau dhomir fashl pada زيدٌ هو القائمُ. Huruf-huruf tersebut bermakna dhomir dan taukid layaknya isim dikarenakan lafadznya yang sama seperti isim dhomir.

          Itulah bentuk-bentuk kemiripan kata satu sama lain yang menyebabkan ia keluar dari prinsip asalnya. Pahami dan hafalkan maka insya Allah akan bermanfaat.

Abu Kunaiza
Riyadh, 3 Dzulhijjah 1439 H

Sabtu, 11 Agustus 2018

Bahasa Arab = Bahasa Fitrah




Pernahkah kita mendengar ungkapan: العربية لغة الفطرة “Bahasa Arab adalah Bahasa Fitrah” ? Tidakkah kita merasakan bahwa bahasa Arab itu berkesesuaian dengan fitrah kita dalam keseharian? Ada banyak contoh kasus, yang kalau kita renungkan maka kita akan tersadar betapa eratnya bahasa al-Qur’an itu dengan kehidupan manusia. Tentu kalau kita kaji lebih dalam, seraya kita akan memuji Allah yang telah memilih bahasa ini sebagai bahasa Kalam-Nya.
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ (آل عمران: 191)
“Ya Robb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau.”
          Sebagai bukti, saya ambil 1 kasus sederhana, yaitu masalah ta’nits fi’il.
          Kita tahu, muannats majazi boleh fi’il-nya dibuat mudzakkar tanpa syarat, sedangkan muannats haqiqi harus dengan syarat: yaitu ketika ada fashil (pemisah) yang memisahkan dia dengan fa’ilnya. Contoh:
وَجُمِعَ الشَّمْسُ (القيامة: 9)
إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ (الممتحنة: 10)
Mengapa demikian? Karena muannats majazi itu makna ta’nitsnya lemah sedangkan muannats haqiqi makna ta’nitsnya kuat. Maka dari itu fi’il dari muannats haqiqi boleh di-tadzkir ketika dia mendapatkan beban yang berat berupa fashil. Kita lihat, dalam posisi lemah muannats akan kembali kepada asalnya. Apa asal muannats? Tidakkah kita ingat bahwa ibunda kita berasal dari tulang rusuk sang ayah? Maka asal muannats tidak lain adalah mudzakkar.
Dan hal ini tidak berlaku kebalikannya. Ketika fi’il mudzakkar dan fa’il mudzakkar dipisahkan oleh satu pemisah, tidak menjadikan fi’il-nya boleh di-ta’nits. Karena muannats bukan asal mudzakkar. Karena lelaki adalah lelaki. Seberat apapun beban yang dia pikul, dia harus tetap tegar. Karena dia tempat bersandar bukan malah mencari sandaran.
Namun, ketika ada muannats memiliki nama layaknya mudzakkar, misal saja namanya Zaid. Meskipun ada fashil sebanyak apapun, tetap fi’ilnya harus muannats. Hal ini bertujuan agar dia tidak kebablasan. Untuk mengingatkan bahwa sekuat apapun wanita dia tetaplah wanita. Jangan sampai dia lupa diri pada kodratnya sebagai wanita. Contoh:
جاءتكم أمسِ زيدُ
          Ikhwatii fillah...
          Kaidah diatas hanya berlaku ketika fi’ilnya disandarkan pada isim dzhohir. Adapun ketika dia bersandar kepada isim dhomir maka tidak peduli dia muannats haqiqi atau majazi, fi’ilnya harus tetap muannats, sama sekali tidak boleh dibuat mudzakkar. Contoh:
هند جاءت والشمس طلعت
Hal ini mengajarkan kepada kita, bahwa ketika wanita berada di depan, ketika dia berada di posisi yang mungkin bukan posisi dia semestinya secara fitrah, selalu ingatkan bahwa walau bagaimanapun dia adalah wanita, bukan lelaki.
          Kemudian kita lihat ketika fa’ilnya berupa isim jamak.
          Perlu diketahui ikhwati fillah, bahwa perkara jamak adalah perkara yang ringan. Hal ini dikarenakan isim jamak, sedikit atau banyak telah mengalami perubahan dari bentuk asalnya yaitu isim mufrod. Maka dari itu fi’il dari isim jamak boleh ditadzkir maupun dita’nits tanpa syarat, kecuali jamak mudzakkar salim. Para ulama kita memberikan satu kaidah: كلُّ جمعٍ مؤنثٌ إلا جمع المذكر السالم “setiap jamak adalah muannats, kecuali jamak mudzakkar salim”. Akan kita lihat rinciannya sebagaimana berikut:
          Jamak taksir. Kita tahu dia adalah jamak yang tidak menerima lafadz mufrodnya. Karena perubahannya yang kadang terlihat ekstrem membuat dia jauh dari bentuk mufrodnya. Sehingga kadang dia keluar dari bentuk asalnya (muzakkar). Kita lihat, kita bisa ubah fi’il jamak taksir menjadi muannats, padahal asalnya mudzakkar. Berakal maupun tidak berakal sama saja. Contoh:
جاء الرجال / جاءت الرجال، فُتِح الأبواب / فُتِحت الأبواب
Kata para ulama, fi’ilnya dibuat mudzakkar karena makna asalnya mudzakkar, sedangkan fi’ilnya dibuat muannats karena ditakwil makna جماعة. Bagaimana tidak, kita lihat lelaki yang tidak mampu mempertahankan ketegarannya sebagai lelaki maka dia akan menangis juga, sama persis seperti jamak taksir.
          Begitu juga dengan jamak muannats salim. Dia tidak mampu sepenuhnya menjaga bentuk mufrodnya. Kalau tidak ة nya yang hilang, pasti ى nya yang berubah. Contoh:
مسلمة + ات = مسلمات (hilang huruf ta marbuthoh)
خضراء + ات = خضروات (alif berubah menjadi wawu)
Karena tidak mampu menjaga bentuk asalnya maka boleh fi’ilnya mudzakkar. Contoh:
جاءت المسلمات / جاء المسلمات
          Berbeda halnya dengan jamak mudzakkar salim. Dia tetap kokoh dengan ke-lelakian-nya karena menjaga bentuk mufrodnya 100%. المسلم + او = المسلمون. Maka sama sekali tidak boleh fi’ilnya dibuat ta’nits.
          Namun jika dia termasuk mulhaq jamak mudzakkar salim (dianggap mudzakkar salim padahal bukan), maka boleh fi’ilnya dita’nits. Semirip apapun akan kelihatan mana yang asli dan mana yang KW. Contoh:
آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ (يونس: 90)
Ikhwatii fillah...
          Kaidah diatas hanya berlaku ketika fi’ilnya disandarkan pada isim dzhohir. Adapun ketika dia bersandar kepada isim dhomir maka kembalikan ke makna asal atau ke makna جماعة. Contoh:
الرجال فعلوا / الرجال فعلتْ، المسلمات فعلنَ / المسلمات فعلتْ
          Berbeda halnya dengan jamak yang tidak berakal, menjadi:
الأبواب فُتِحتْ / الأبواب فُتِحنَ
        Mengapa tidak kita katakan فُتَحُوا padahal asalnya adalah mudzakkar? Karena kurang akal identik dengan wanita, tidak bisa disandarkan kepada lelaki. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغلَبُ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ (رواه البخاري ومسلم)
“Tidaklah aku melihat makhluk yang lebih lemah akal dan agamanya dari kalian kaum wanita, namun mampu mengalahkan akal lelaki yang kokoh”
          Maka dalam bahasa Arab, setiap isim yang tidak berakal diposisikan sebagai muannats berdasarkan fitrahnya.
          Itu hanya contoh kasus sederhana yang menunjukkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang dekat dengan fitrah manusia. Adakah antum bisa memberi contoh lain?

Disari dari Kitab Syarah al-Anmudzaj fin Nahwi

Abu Kunaiza
Riyadh, 29 Dzulqo’dah 1439