Sabtu, 11 Agustus 2018

Bahasa Arab = Bahasa Fitrah




Pernahkah kita mendengar ungkapan: العربية لغة الفطرة “Bahasa Arab adalah Bahasa Fitrah” ? Tidakkah kita merasakan bahwa bahasa Arab itu berkesesuaian dengan fitrah kita dalam keseharian? Ada banyak contoh kasus, yang kalau kita renungkan maka kita akan tersadar betapa eratnya bahasa al-Qur’an itu dengan kehidupan manusia. Tentu kalau kita kaji lebih dalam, seraya kita akan memuji Allah yang telah memilih bahasa ini sebagai bahasa Kalam-Nya.
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ (آل عمران: 191)
“Ya Robb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau.”
          Sebagai bukti, saya ambil 1 kasus sederhana, yaitu masalah ta’nits fi’il.
          Kita tahu, muannats majazi boleh fi’il-nya dibuat mudzakkar tanpa syarat, sedangkan muannats haqiqi harus dengan syarat: yaitu ketika ada fashil (pemisah) yang memisahkan dia dengan fa’ilnya. Contoh:
وَجُمِعَ الشَّمْسُ (القيامة: 9)
إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ (الممتحنة: 10)
Mengapa demikian? Karena muannats majazi itu makna ta’nitsnya lemah sedangkan muannats haqiqi makna ta’nitsnya kuat. Maka dari itu fi’il dari muannats haqiqi boleh di-tadzkir ketika dia mendapatkan beban yang berat berupa fashil. Kita lihat, dalam posisi lemah muannats akan kembali kepada asalnya. Apa asal muannats? Tidakkah kita ingat bahwa ibunda kita berasal dari tulang rusuk sang ayah? Maka asal muannats tidak lain adalah mudzakkar.
Dan hal ini tidak berlaku kebalikannya. Ketika fi’il mudzakkar dan fa’il mudzakkar dipisahkan oleh satu pemisah, tidak menjadikan fi’il-nya boleh di-ta’nits. Karena muannats bukan asal mudzakkar. Karena lelaki adalah lelaki. Seberat apapun beban yang dia pikul, dia harus tetap tegar. Karena dia tempat bersandar bukan malah mencari sandaran.
Namun, ketika ada muannats memiliki nama layaknya mudzakkar, misal saja namanya Zaid. Meskipun ada fashil sebanyak apapun, tetap fi’ilnya harus muannats. Hal ini bertujuan agar dia tidak kebablasan. Untuk mengingatkan bahwa sekuat apapun wanita dia tetaplah wanita. Jangan sampai dia lupa diri pada kodratnya sebagai wanita. Contoh:
جاءتكم أمسِ زيدُ
          Ikhwatii fillah...
          Kaidah diatas hanya berlaku ketika fi’ilnya disandarkan pada isim dzhohir. Adapun ketika dia bersandar kepada isim dhomir maka tidak peduli dia muannats haqiqi atau majazi, fi’ilnya harus tetap muannats, sama sekali tidak boleh dibuat mudzakkar. Contoh:
هند جاءت والشمس طلعت
Hal ini mengajarkan kepada kita, bahwa ketika wanita berada di depan, ketika dia berada di posisi yang mungkin bukan posisi dia semestinya secara fitrah, selalu ingatkan bahwa walau bagaimanapun dia adalah wanita, bukan lelaki.
          Kemudian kita lihat ketika fa’ilnya berupa isim jamak.
          Perlu diketahui ikhwati fillah, bahwa perkara jamak adalah perkara yang ringan. Hal ini dikarenakan isim jamak, sedikit atau banyak telah mengalami perubahan dari bentuk asalnya yaitu isim mufrod. Maka dari itu fi’il dari isim jamak boleh ditadzkir maupun dita’nits tanpa syarat, kecuali jamak mudzakkar salim. Para ulama kita memberikan satu kaidah: كلُّ جمعٍ مؤنثٌ إلا جمع المذكر السالم “setiap jamak adalah muannats, kecuali jamak mudzakkar salim”. Akan kita lihat rinciannya sebagaimana berikut:
          Jamak taksir. Kita tahu dia adalah jamak yang tidak menerima lafadz mufrodnya. Karena perubahannya yang kadang terlihat ekstrem membuat dia jauh dari bentuk mufrodnya. Sehingga kadang dia keluar dari bentuk asalnya (muzakkar). Kita lihat, kita bisa ubah fi’il jamak taksir menjadi muannats, padahal asalnya mudzakkar. Berakal maupun tidak berakal sama saja. Contoh:
جاء الرجال / جاءت الرجال، فُتِح الأبواب / فُتِحت الأبواب
Kata para ulama, fi’ilnya dibuat mudzakkar karena makna asalnya mudzakkar, sedangkan fi’ilnya dibuat muannats karena ditakwil makna جماعة. Bagaimana tidak, kita lihat lelaki yang tidak mampu mempertahankan ketegarannya sebagai lelaki maka dia akan menangis juga, sama persis seperti jamak taksir.
          Begitu juga dengan jamak muannats salim. Dia tidak mampu sepenuhnya menjaga bentuk mufrodnya. Kalau tidak ة nya yang hilang, pasti ى nya yang berubah. Contoh:
مسلمة + ات = مسلمات (hilang huruf ta marbuthoh)
خضراء + ات = خضروات (alif berubah menjadi wawu)
Karena tidak mampu menjaga bentuk asalnya maka boleh fi’ilnya mudzakkar. Contoh:
جاءت المسلمات / جاء المسلمات
          Berbeda halnya dengan jamak mudzakkar salim. Dia tetap kokoh dengan ke-lelakian-nya karena menjaga bentuk mufrodnya 100%. المسلم + او = المسلمون. Maka sama sekali tidak boleh fi’ilnya dibuat ta’nits.
          Namun jika dia termasuk mulhaq jamak mudzakkar salim (dianggap mudzakkar salim padahal bukan), maka boleh fi’ilnya dita’nits. Semirip apapun akan kelihatan mana yang asli dan mana yang KW. Contoh:
آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ (يونس: 90)
Ikhwatii fillah...
          Kaidah diatas hanya berlaku ketika fi’ilnya disandarkan pada isim dzhohir. Adapun ketika dia bersandar kepada isim dhomir maka kembalikan ke makna asal atau ke makna جماعة. Contoh:
الرجال فعلوا / الرجال فعلتْ، المسلمات فعلنَ / المسلمات فعلتْ
          Berbeda halnya dengan jamak yang tidak berakal, menjadi:
الأبواب فُتِحتْ / الأبواب فُتِحنَ
        Mengapa tidak kita katakan فُتَحُوا padahal asalnya adalah mudzakkar? Karena kurang akal identik dengan wanita, tidak bisa disandarkan kepada lelaki. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغلَبُ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ (رواه البخاري ومسلم)
“Tidaklah aku melihat makhluk yang lebih lemah akal dan agamanya dari kalian kaum wanita, namun mampu mengalahkan akal lelaki yang kokoh”
          Maka dalam bahasa Arab, setiap isim yang tidak berakal diposisikan sebagai muannats berdasarkan fitrahnya.
          Itu hanya contoh kasus sederhana yang menunjukkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang dekat dengan fitrah manusia. Adakah antum bisa memberi contoh lain?

Disari dari Kitab Syarah al-Anmudzaj fin Nahwi

Abu Kunaiza
Riyadh, 29 Dzulqo’dah 1439


0 komentar:

Posting Komentar