Rabu, 13 September 2017

Nun Sebagai Simbol Konsistensi Tatsniyyah dan Jamak


       
   Tanwin merupakan salah satu tanda khusus yang membedakan isim dengan yang lainnya. Yang dimaksud di sini adalah tanwin tamkin. Sebagaimana Ibnu Malik menyebutkan:
بالجرِّ والتنوينِ والندا وَأَلْ               ومسندٍ للاسمِ تمييزٌ حصلْ
“dengan jarr, tanwin, nida, al, dan musnad, isim mampu dibedakan”
Lebih dari itu, tanwin juga mampu membedakan isim munsharif dari isim ghairu munsharif dan isim mabni. Maka tak heran jika tanwin ini menjadi suatu kebanggaan di kalangan isim munsharif. Itu sebabnya isim munsharif yang tidak bisa dimasuki tanwin harus memiliki udzur yang kuat agar dia tetap diakui sebagai isim munsharif, seperti halnya isim maqshur (silakan baca: isim maqshur, isim yang dipingit). Maka betapa pentingnya eksistensi tanwin di dalam isim.
          Maka diantara kelompok isim, ada yang tidak mampu bertanwin namun tetap berusaha mencari penggantinya, yaitu tatsniyyah dan jamak mudzakkar salim. Ini menunjukkan konsistensi keduanya untuk tetap mematuhi ketentuan yang ada. Maka dipilihlah huruf nun sebagai pengganti tanwin karena hakekatnya tanwin adalah nun sukun secara lafadz. Nun di sini juga sekaligus menggantikan harakat pada isim munsharif. Di sini kita perlu membedakan antara tanwin dengan harakat. Karena tanwin itu tidak termasuk harakat. Bisa kita lihat isim ghairu munsharif berharakat namun tidak bertanwin. Sedangkan isim munsharif itu berharakat dan bertanwin.
         Muncul pertanyaan baru: kalau memang nun itu fungsinya sebagai pengganti tanwin, mengapa dia tidak hilang ketika dimasuki ال dan ketika idhofah dia hilang?
Jawabannya karena tanwin itu menjadi tanda nakiroh sedangkan nun bukan tanda nakiroh, sehingga nun tetap muncul bersama dengan tanda ma’rifah yaitu ال, misalnya المسلمُ – المسلمُونَ
Sedangkan pada idhofah itu tidak mesti menjadi tanda ma’rifah, misalnya: مدرسُ جامعةٍ – مدرسو جامعةٍ kita lihat tanwin dan nun-nya hilang meskipun keduanya nakiroh. Maka fungsi hilangnya tanwin dan nun pada idhofah bukan untuk menunjukkan bahwa isimnya ma’rifah melainkan untuk membedakan bentuk idhofah dengan bentuk mufrod atau sifat.
          Hakikatnya kedua isim ini tidak bisa diberi tanwin karena penambahan huruf mad di akhir kata. Alif pada kata زيدانِ sebagai pengganti ma’thuf pada kata زيدٌ وزيدٌ, begitu juga wawu pada jamak. Karena tidak memungkinkannya diberi tanwin dan harakat maka diganti dengan huruf nun sukun. Hal ini berdasarkan perkataan al-Mubarrad : “harakat itu akan terasa berat pada huruf mad dan layyin, maka dari itu disukunkan untuk meringankan”.[1]
         Timbul permasalahan baru, ketika huruf mad yang sukun bertemu dengan nun sukun maka akan sulit dibaca. Umumnya ketika huruf mad bertemu dengan huruf shahih yang sukun maka dihilangkan huruf mad-nya, seperti pada kata لا تَخَافْ menjadi لا تخَفْلا تقوْلْ menjadi لا تقلْ. Namun pada tatsniyyah dan jamak ini tidak bisa diterapkan. Mengingat alif adalah tanda tatsniyyah, wawu adalah tanda jamak, dan nun adalah tanda isim munsharif. Maka jika dihilangkan akan hilang salah satu fungsinya. Maka dari itu mereka lebih memilih untuk mengharakati huruf nun agar dapat dibaca.
          Mengapa nun tatsniyyah diharakati kasrah dan nun jamak diharakati fathah?
          Pertama, karena tatsniyyah lebih dulu daripada jamak, maka dia lebih berhak diberi harakat kasrah. Karena jika bertemu 2 sukun, maka harakati dengan harakat yang utama, yaitu kasrah. Seperti pada kalimat:
خُذِ الْعفو – عَنِ الجْاهلين – لمْ يكنِ الذين كفروا
Kemudian untuk membedakan dengan tatsniyyah, maka dipilih harakat fathah untuk jamak karena lebih ringan daripada dhammah.
          Kedua, karena jamak diakhiri oleh wawu yang sebelumnya dhammah atau diakhiri oleh ya yang sebelumnya kasrah. Tentu itu semua membuat dia menjadi berat diucapkan jika ditambah dengan kasrah. Maka dipilihlah harakat paling ringan yaitu fathah. Adapun tatsniyyah kebalikannya.
          Apa gunanya membedakan harakat nun padahal huruf sebelumnya saja sudah berbeda? tatsniyyah ditandai dengan alif sebelumnya fathah dan jamak ditandai dengan wawu sebelumnya dhammah.
          Jawabnya, untuk membedakan jamak isim maqshur dengan tatsniyyah isim shahih dalam kondisi nashab dan jarr. Misalnya: رأيت المصطفَيْن والزيدَيْن “aku melihat banyak Musthofa dan dua Zaid”. Jika huruf nun tidak diharakati maka kita akan sulit membedakannya.
          ‘Alaa kulli haal, harakat nun ini bukanlah sebagai tanda i’rab, melainkan karena bertemunya 2 sukun. Adapun tanda i’rab tatsniyyah dan jamak adalah dengan huruf, sebagai pengganti tanda i’rab harakat pada isim mufrad. Untuk pembahasan tentang tanda i'rab mutsanna silakan baca artikel berbanggalah karena bahasa arab punya mutsanna.

Rizki Gumilar
Di Toriyo, Sukoharjo

Referensi:
‘Ilalun Nahwi
Syarhul Mufashshol
Alfiyyah Ibnu Malik




[1] Al-Muqtadhob: 4/248

4 komentar:

  1. untaian kata yang mantap...

    Arif Farhan M.

    BalasHapus
  2. Jawabannya karena tanwin itu menjadi tanda nakiroh sedangkan nun bukan tanda nakiroh, sehingga nun tetap muncul bersama dengan tanda ma’rifah yaitu ال, misalnya المسلمُ – المسلمُونَ
    Sedangkan pada idhofah itu tidak mesti menjadi tanda ma’rifah, misalnya: مدرسُ جامعةٍ – مدرسو جامعةٍ kita lihat tanwin dan nun-nya hilang meskipun keduanya nakiroh. Maka fungsi hilangnya tanwin dan nun pada idhofah bukan untuk menunjukkan bahwa isimnya ma’rifah melainkan untuk membedakan bentuk idhofah dengan bentuk mufrod atau sifat.


    Untuk yang ini di kitab apa?

    BalasHapus
  3. Maa syaallah artikel yang sangat bermanfaat. Syukran ust abu kunaiza.

    BalasHapus
  4. Ulasanny lengkap dan mudah untuk dipahami tidak terkesan njlimet dengan pemilihan referensi yg tepat
    Mantap kang!

    BalasHapus