Rabu, 20 September 2017

‘Alaihi atau ‘Alaihu?


Terkadang dalam al-Qur’an ada tanda baca yang tidak sesuai dengan i’rab pada umumnya. Misalnya saja, dulu kita diajari sama Pak Kyai bahwa dhomir ha dibaca kasrah jika sebelumnya ada harakat kasrah atau ya sukun, seperti: فِيْهِ dan بِهِ. Namun jika tidak didahului oleh 2 hal itu, maka tetap dibaca dhammah,[1] seperti: مِنْهُ dan لَهُ. Pak Kyai bertanya, bagaimana jika diawali dengan kata عَلَى ?
Jika yang dimaksud adalah عَلَى huruf jarr, maka alif di akhir kata hakikatnya adalah huruf ya. Sehingga ketika bersambung dengan dhamir akan kembali ke bentuk asalnya, yaitu huruf ya. Maka berdasarkan kaidah di atas, spontan kita akan membacanya عَلَيْهِ (dengan kasrah).
Namun apa jadinya jika ternyata di al-Qur’an ada lafadz عَلَيْهُ (dengan dhammah). Lafadz tersebut hanya muncul satu kali pada surat al-Fath ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
          Selain dari ayat ini, semua lafadz عليه dibaca kasrah. Mengapa pada ayat ini dhamir ha dibaca tidak sesuai dengan kaidah yang diberikan Pak Kyai?
          Maka di sini saya bawakan 2 alasan mengapa pada ayat ini kita baca عليهُ:
     1.     Kendati yang paling masyhur adalah dibaca kasrah, namun ada 3 cara lain dalam membaca ha mudzakkar setelah kasrah atau ya sukun:
·         Dengan kasrah dan diikuti dengan ya sukun: عليهِيْ
·         Dengan dhammah dan diikuti dengan wawu sukun: عليهُوْ
·         Dengan dhammah dan menghilangkan wawu: عليهُ dan ini dialeknya Bani Hijaz. Alasannya adalah karena dhamir ha asalnya dari kata هُوَ kemudian huruf wawunya dihilangkan untuk meringankan. Maka dalam kondisi apapun tetap diakhiri dhammah karena dia mabni.[2] Dialek ini pula yang digunakan dalam qiro’ah riwayat Hafs.
Maka membaca dengan dhammah merupakan salah satu dialek dalam bahasa Arab dan bukanlah suatu aib. Dialek ini juga muncul sekali lagi pada surat al-Kahfi ayat 63: فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ
      2.    Menggunakan harakat yang paling berat, yaitu dhammah, karena beratnya peristiwa Bai’atur Ridwan sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa lafadz pada ayat tersebut:
·         إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ : bahwasanya 1400 sahabat j berjanji setia di bawah sebatang pohon untuk tidak meninggalkan Rasulullah g seorang diri ketika beliau dilarang untuk memasuki ke Masjidil Haram pada peristiwa Hudaibiyyah.
·         إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ : hakikatnya mereka j berjanji setia kepada Allah f.
·          يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ : Tangan Allah f di atas tangan mereka j, yakni Allah f mendengar ucapan mereka dan mengetahui isi hati mereka j.
·       فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ : ancaman keras bagi mereka yang mengingkarinya.
·       وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا : ganjaran besar bagi mereka yang menepatinya yaitu berupa keridhoan Allah f, ketenangan, kemenangan yang dekat di dunia, dan dibebaskan dari api neraka. Allah f berfirman:
 لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا (الفتح: 18)
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”
Dan Rasulullah g bersabda:
لا يدخل النار أحد ممن بايع تحت الشجرة إلا صاحب الجمل الأحمر
(رواه أبوداود: 4653، والترمذي: 3860)
“Tidak akan masuk neraka siapapun yang pernah mengikat janji di bawah pohon ini, kecuali pemilik unta merah”
Yang dimaksud dengan pemilik unta merah tersebut adalah Jadd bin Qais, tokoh munafik yang memilih untuk mencari untanya yang hilang daripada berbaiat kepada Rasulullah g.
 Dari sini kita mengetahui bahwa terkadang tanda baca dalam al-Qur’an tidak sesuai dengan kaidah karena ada kemaslahatan lain. Hal ini sama sekali tidak menurunkan martabat al-Qur’an sebagai Afshohul Kalam, karena al-Qur’an turun dengan semua dialek Arab. Wallahu Ta’ala A’lam.

Rizki Gumilar
Di Toriyo, Sukoharjo
Jawaban atas pertanyaan di Grup WA Mulakhos

Referensi:
Al-Qur’anul Karim
Balaghatul Kalimah fit Ta’biril Qur’any
Syarhul Kafiyah
Tafsir al-Qur’anil ‘Adzhim




[1] Syarhul Kafiyah: 2/421
[2] Syarhul Kafiyah: 2/421

3 komentar:

  1. Maa syaallah,, syukran atas ilmunya ust
    ...

    BalasHapus
  2. Nadwa Abu Kunaiza16 Juni 2020 pukul 21.09

    Afwan...

    BalasHapus
  3. Keterangan itu ada dlm kitab gk pa ustad saya pengen lebih mengenal maksudnya

    BalasHapus