Terkadang
dalam al-Qur’an ada tanda baca yang tidak sesuai dengan i’rab pada umumnya.
Misalnya saja, dulu kita diajari sama Pak Kyai bahwa dhomir ha dibaca kasrah
jika sebelumnya ada harakat kasrah atau ya sukun, seperti: فِيْهِ dan بِهِ. Namun jika tidak didahului oleh 2 hal
itu, maka tetap dibaca dhammah,[1]
seperti: مِنْهُ dan لَهُ. Pak Kyai bertanya, bagaimana jika diawali
dengan kata عَلَى ?
Jika yang dimaksud adalah عَلَى huruf
jarr, maka alif di akhir kata hakikatnya adalah huruf ya. Sehingga ketika
bersambung dengan dhamir akan kembali ke bentuk asalnya, yaitu huruf ya. Maka
berdasarkan kaidah di atas, spontan kita akan membacanya عَلَيْهِ (dengan kasrah).
Namun apa jadinya jika
ternyata di al-Qur’an ada lafadz عَلَيْهُ (dengan dhammah). Lafadz tersebut hanya
muncul satu kali pada surat al-Fath ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ
اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا
يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ
أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang
melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya
sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan
memberinya pahala yang besar.”
Selain dari ayat ini,
semua lafadz عليه
dibaca kasrah. Mengapa pada ayat ini dhamir ha dibaca tidak sesuai dengan
kaidah yang diberikan Pak Kyai?
Maka
di sini saya bawakan 2 alasan mengapa pada ayat ini kita baca عليهُ:
1. Kendati yang paling masyhur adalah dibaca kasrah, namun ada 3 cara lain
dalam membaca ha mudzakkar setelah kasrah atau ya sukun:
·
Dengan kasrah dan diikuti dengan ya sukun: عليهِيْ
·
Dengan dhammah dan diikuti dengan wawu sukun:
عليهُوْ
·
Dengan dhammah dan menghilangkan wawu: عليهُ dan ini dialeknya Bani Hijaz.
Alasannya adalah karena dhamir ha asalnya dari kata هُوَ kemudian huruf wawunya
dihilangkan untuk meringankan. Maka dalam kondisi apapun tetap diakhiri dhammah
karena dia mabni.[2]
Dialek ini pula yang digunakan dalam qiro’ah riwayat Hafs.
Maka membaca dengan dhammah merupakan salah satu dialek dalam bahasa
Arab dan bukanlah suatu aib. Dialek ini juga muncul sekali lagi pada surat
al-Kahfi ayat 63: فَإِنِّي
نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ
2. Menggunakan harakat yang paling berat, yaitu dhammah, karena beratnya
peristiwa Bai’atur Ridwan sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa lafadz pada
ayat tersebut:
·
إِنَّ
الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ : bahwasanya 1400 sahabat j berjanji setia di bawah sebatang pohon untuk tidak meninggalkan
Rasulullah g seorang diri ketika beliau dilarang untuk memasuki ke Masjidil Haram
pada peristiwa Hudaibiyyah.
·
إِنَّمَا
يُبَايِعُونَ اللَّهَ : hakikatnya mereka j berjanji setia kepada Allah f.
·
يَدُ
اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ : Tangan Allah f di atas tangan mereka j, yakni Allah f mendengar ucapan mereka dan mengetahui isi hati mereka j.
· فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ : ancaman keras bagi mereka yang
mengingkarinya.
· وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ
أَجْرًا عَظِيمًا : ganjaran besar bagi mereka yang menepatinya
yaitu berupa keridhoan Allah f, ketenangan, kemenangan yang dekat di dunia,
dan dibebaskan dari api neraka. Allah f berfirman:
لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ
يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ
عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا (الفتح: 18)
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang
mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas
mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat
(waktunya)”
Dan Rasulullah g bersabda:
لا يدخل النار أحد ممن بايع تحت الشجرة إلا صاحب الجمل الأحمر
(رواه
أبوداود: 4653، والترمذي: 3860)
“Tidak
akan masuk neraka siapapun yang pernah mengikat janji di bawah pohon ini,
kecuali pemilik unta merah”
Yang dimaksud
dengan pemilik unta merah tersebut adalah Jadd bin Qais, tokoh munafik yang
memilih untuk mencari untanya yang hilang daripada berbaiat kepada Rasulullah g.
Dari
sini kita mengetahui bahwa terkadang tanda baca dalam al-Qur’an tidak sesuai
dengan kaidah karena ada kemaslahatan lain. Hal ini sama sekali tidak menurunkan
martabat al-Qur’an sebagai Afshohul Kalam, karena al-Qur’an turun dengan semua
dialek Arab. Wallahu Ta’ala A’lam.
Rizki Gumilar
Di Toriyo, Sukoharjo
Jawaban atas pertanyaan di Grup WA Mulakhos
Referensi:
Al-Qur’anul Karim
Balaghatul Kalimah fit Ta’biril Qur’any
Syarhul Kafiyah
Tafsir al-Qur’anil ‘Adzhim
Maa syaallah,, syukran atas ilmunya ust
BalasHapus...
Afwan...
BalasHapusKeterangan itu ada dlm kitab gk pa ustad saya pengen lebih mengenal maksudnya
BalasHapus