Rabu, 20 Desember 2017

Nahwu dan Mu'tazilah




Sejak lama saya bertanya-tanya: "Mengapa mayoritas ulama nahwu beraqidah mu'tazilah? Apa hubungan antara keduanya?" Ketika saya mencari tahu lebih dalam, saya temukan beberapa poin berikut:

1. Keduanya bagaikan saudara kembar, karena lahir di waktu dan tempat yang sama, yaitu abad ke 2 hijriyah di Bashrah. Sehingga wajar jika keduanya berhubungan erat.

2. Mu'tazily itu orangnya rasional dan sangat gemar dengan hal yang rasional. Sedangkan nahwu bagi mereka adalah ilmu yang rasional dan bisa menguatkan akal bagi yang mempelajarinya.

3. Pada masa keemasan ilmu nahwu, mu'tazilah adalah satu-satunya manhaj yang diakui pemerintah (sejak khalifah al-Manshur), bahkan adanya hukuman bagi yang tidak sejalan, yang dikenal dengan tragedi al-mihnah.

4. Mu'tazilah butuh nahwu dan balaghah. Karena hanya dengannya mereka bisa mempertahankan hujjah mereka. Ketika mereka temukan ada hal yang mengarah kepada tasybih dalam al-Qur'an, maka mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu berjalan pada prinsip bahasa.

5. Bahasa itu bisa membuat orang kagum. Simak ucapan Zamakhsyari (ulama mu'tazilah) berikut ini:
"aku melihat saudara kami seagama senang memadukan antara ilmu bahasa dan ilmu agama, setiap kali mereka datang kepadaku untuk meminta penjelasan suatu ayat, maka aku singkapkan kepada mereka sebagian hakikat yang ada di balik tabir. Mereka pun bertambah kagum dan takjub. Hingga mereka merindukan seorang penulis yang mampu menghimpun semua aspek hakikat tersebut" (al-Kasysyaf: 24).

Apa bukti yang paling menonjol di kitab-kitab mereka bahwasanya mereka bermanhaj mu'tazilah?

"Hampir tidak kita dapati para ulama nahwu klasik berhujjah dengan hadits, atau sedikit sekali. Karena mereka termasuk ingkar sunnah"

Imam asy-Syafi'i dijuluki dengan
ناصر السنة (penolong sunnah) karena beliau menghadapi kaum mu'tazilah yang sedang berkembang di Baghdad ketika itu. Sehingga mereka dikenal dengan kaum yang menolak sunnah atau mentakwilnya.

Mari kita buktikan dengan mengambil beberapa sample kitab:

1. Al-Kitab milik Sibawaih
Di dalamnya terdapat 1050 syair, 400 ayat al-Qur'an, dan sekitar 4 hadits saja.

2. Al-Muqtadhob milik al-Mubarrid
Di dalamnya terdapat 561 syair, 500 ayat al-Qur'an, dan tidak lebih dari 3 hadits.

3. Al-Masail al-'askariyyah milik Abu Ali al-Farisy
Di dalamnya terdapat 113 syair, 68 ayat al-Qur'an, dan tidak ada hadits sama sekali.

Alasan mereka:
     1.     Bolehnya meriwayatkan hadits dengan maknanya saja.
    2.    Kebanyakan perowi adalah non Arab, sehingga ada kemungkinan terdapat kesalahan bahasa dalam hadits.
     3.    Tidak pernah ada contoh dari ulama sebelumnya. 
     4.    Banyaknya hadits palsu, sehingga hadits bukan lagi sumber otentik dan kita cukupkan dengan al-Qur'an dan syair saja.

Bantahan kami:
     1.     Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkan periwayatan hadits dengan makna ketika belum dibukukannya hadits, namun syaratnya sang perowi harus orang yang paham bahasa Arab. Akan tetapi mayoritas ulama hadits melarang periwayatan hadits dengan makna secara mutlak.

     2.    Bahkan kebanyakan imam nahwu adalah non Arab, seperti: Sibawaih dari Iran, Ibnu Jinni dari Romawi, Zamakhsyari dari Uzbekistan, Ibnu Malik dari Spanyol. Dalam keseharian mereka tidak berbahasa Arab, namun keilmuan mereka dalam ilmu nahwu dijadikan rujukan di seluruh penjuru dunia. Dan perlu diingat, untuk menjadi perowi hadits itu harus melalui persyaratan yang ketat. Contoh kecil saja, ketika Sibawaih hendak belajar hadits kepada Hammad (ulama hadits), maka Hammad berkata: "bahasa Arabmu kacau". Maka pergilah Sibawaih kepada Khalil untuk belajar nahwu. Disini kita ambil pelajaran bahwa untuk menjadi ulama hadits harus memperbagus ilmu bahasanya.

     3.    Alasan ini tidak kuat. Ulama terdahulu tidak berdalil dengan hadits tidak menjadikan hukumnya haram, jika kita hendak menjadikan hadits sebagai hujjah dalam nahwu.

     4.    Mungkin mereka kurang piknik. Betapa banyak perowi hadits yang tsiqoh. Jika hadits saja yang begitu selektif periwayatannya mereka ragukan, bagaimana dengan syair? Betapa banyak syair yang diubah kata-katanya, karena tidak adanya periwayatan yang jelas. Jika memang alasan mereka adalah masalah keotentikan, maka mengapa al-Qur'an mereka tempatkan di nomor 2 setelah syair? Padahal al-Qur'an adalah sumber yang paling otentik.

Namun bagaimana hukumnya kita belajar kepada mereka?

Syaikh Utsaimin dan Syaikh Khudhoir pernah ditanya, bolehkah mempelajari Tafsir al-Kasysyaf milik Zamakhsyary?

Syaikh Utsaimin menjawab: "Dalam masalah apa? Zamakhsyari ia seorang mu’tazilah, ia menamakan orang-orang yang menetapkan sifat Allah, sebagai Hasyawiyah (tidak bisa dipercaya) atau Mujassimah (berbentuk), dan menyesatkan mereka. Oleh karenanya bagi siapa saja yang membaca bukunya dalam menafsirkan al-Qur’an agar berhati-hati dengan pendapatnya dalam masalah sifat-sifat Allah. Namun kitab tafsir tersebut dari sisi balaghah adalah baik, banyak memberikan manfaat"

Syaikh Khudhoir menjawab: "Jika tidak terpengaruh dengan pemikiran-pemikirannya yang tidak sejalan dengan syariah maka hukumnya adalah boleh"

Adapun kitab-kitab mereka yang  hanya khusus membahas ilmu nahwu, maka insya Allah tidak masalah. Demikian sekilas kita menengok ke masa lalu untuk dijadikan pembelajaran. Semoga kedepannya kita bisa mencetak ahli nahwu yang bermanhaj ahli sunnah.


Abu Kunaiza
Riyadh




Rabu, 29 November 2017

Nahwiyyun VS Lughowiyyun


Disini, di tempat ini, akhirnya saya tahu apa yang sebelumnya tidak saya ketahui... Sesuatu yang selama ini tersekat dalam benak. Kini, perlahan mulai terungkap, satu demi satu... Bi idznillah...
Lughowiyyin... dan Nahwiyyin... Sepintas nampak identik, namun tak serupa, bahkan kadang “tak sejalan”... siapakah mereka?Terlalu kerdil jika saya simpulkan prinsip mereka yang pelik. Sebut saja, mereka adalah pakar dari salah dua cabang ilmu bahasa Arab: ilmu lughoh dan ilmu nahwu.
          Cukup sulit mempersaudarakan dua kubu ini. Disaat nahwu dan shorof masih bisa bergandengan tangan, karena keduanya saling melengkapi. Maka berbeda halnya dengan nahwu dan lughoh.... keduanya saling sikut di ranah yang sama. Itu sebabnya seringkali kita dengar: menurut bahasa, dan menurut istilah... lughotan wa ishthilahan...
          Tentu bukan kapasitas saya merajihkan salah satunya. Hanya saja... anggap ini sebuah anekdot.
Ketika ada seorang ahli nahwu mengatakan: “ahli bahasa tidak pernah merumuskan suatu hukum, mereka hanya “copy paste” dari orang-orang Badui, yang bahkan anak kecil sekalipun mampu melakukannya...”.
Maka ahli lughoh akan menimpali: “tidakkah mereka tahu bahwasanya bahasa itu berporos pada lafadz, yang dengannya satu dengan lainnya bisa saling memahami, maka nahwu hanyalah bagian kecil dari bahasa itu sendiri”.
Ahli nahwu: “namun kita semua tahu, bahwa para ulama tidaklah mewajibkan kita untuk berbahasa satu untuk saling berinteraksi. Kita hanya berhajat pada nahwu yang dengannya kita bisa memahami Kalamullah”.
Ahli lughoh: “pernahkah al-Qur’an menyebutkan istilah lain selain “lisan”? cukuplah ini sebagai bukti betapa pentingnya lisan”.
.......
Kira-kira seperti itulah perdebatan yang terjadi disini, dan mungkin kepala ini akan terus diisi dengan hal semacam itu, hari demi hari...
Terus untuk apa? Apa yang dicari?
Bukankah Abdul Lathif al-Baghdadi pernah menyebutkan bahwasanya Lughowiyyin itu bagaikan Muhadditsin dan Nahwiyyin itu bagaikan Fuqoha?! Namun mengapa hanya Muhadditsin dan Fuqoha saja yang bisa berpangku tangan?! Disaat Muhadditsin mengumpulkan bahan baku, tanpa tersisa sedikitpun, maka Fuqoha mengolahnya hingga siap saji, tanpa tersisa sedikitpun. Tidak sanggupkah kalian seperti itu?!
Seandainya pun tidak ada jalan untuk mempersatukan keduanya, maka setidaknya ingatlah tujuan masing-masing... Lughowiyyin punya tujuan umum, sedangkan Nahwiyyin punya tujuan khusus... tidak perlu saling menjatuhkan. Cukuplah hati ini akan semakin terlukai, jika ada orang ketiga yang mencuri kesempatan dan mulai menodai... waspadalah...

Abu Kunaiza
Riyadh

Sabtu, 11 November 2017

Kamis, 21 September 2017

Katakan: “Jazakallahu Khaira”




Rasulullah g pernah mengajarkan kita untuk membalas kebaikan kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita, minimalnya dengan ucapan jazakallahu khaira:
مَن صُنِعَ إليه معروفٌ فقال لِفاعله: "جزاك الله خيرًا" فقد أبلغ في الثناءِ
“Barang siapa yang diberi suatu kebaikan, maka ucapkanlah kepada orang yang memberi tersebut: “Jazakallahu khaira”, maka hal itu sudah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” [HR. at-Tirmidzi, Shahih at-Targhib wat Tarhib: 969, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahihul Jami’: 6368]
Namun sebagian ikhwah mengucapkannya dengan cara disukunkan: Jazakallahu khair”, apakah hal ini dibolehkan?

Jawaban:
I’rab kata خَيْرًا pada kalimat جزاك الله خيرًا adalah sebagai maf’ul bih kedua milik fi’il جزى, adapun maf’ul pertamanya adalah dhamir kaf. جزى merupakan saudari أعطى sehingga membutuhkan 2 maf’ul bih yang bukan berasal dari mubtada khabar.
Fungsi maf’ul bih dalam kalimat hanyalah sebagai fadhlah (tambahan). Ibnu Malik menyebutkan bahwa fadhlah adalah tambahan dari 2 unsur pokok isnad, yaitu fi’il dan fa’il, atau mubtada dan khabar. Karena dia sebagai unsur tambahan yang terletak di akhir kalimat, dan kalimat yang terdiri dari 3 kata atau lebih dianggap kalimat yang panjang, maka fadhlah menggunakan harakat dan kondisi yang teringan yaitu fathah dan nakirah.[1]
Ringannya harakat fathah disebabkan karena mudahnya dalam pengucapan, cukup dengan membuka mulut dan mengeluarkan suara. Sedangkan dhammah kita perlu me”monyong”kan bibir ketika mengeluarkan suara. Butuh lebih banyak pergerakan otot ketika mengucapkannya. Begitu juga dengan kasrah, kita perlu menyeret bagian pinggir bibir ke arah gusi ketika mengeluarkan suara.[2] Karena beratnya dhammah maka dia digunakan sebagai tanda umdah (unsur pokok), yaitu mubtada, khabar, dan fa’il. Kemudian karena kasrah berada di antara dhammah dan fathah maka dia digunakan sebagai penengah antara umdah dan fadhlah. Tersisa fathah sebagai tanda fadhlah.[3]
Karena beratnya harakat dhammah dan kasrah maka seringkali orang Arab mensukunkannya ketika waqof, seperti قامَ زيدْ ومررت بِزيدْ . Hal ini dijadikan dalil bagi mereka yang malas mempelajari nahwu, ini salah kaprah. Orang Arab melakukan ini dengan tujuan takhfif (meringankan bacaan), karena waqof adalah untuk istirahat.[4] Mereka tahu hakikat i’rabnya, berbeda dengan kita yang mensukunkannya karena tidak tahu i’rabnya. Sebagai renungan silakan baca artikel: Jangan kau malas membaca harakat akhir. Bahkan tidak hanya pada harakat i’rab yang mereka sukunkan, namun pada harakat mabani mereka juga sukunkan, seperti عُنُقٌ menjadi عُنْقٌ atau فَخِذٌ menjadi فَخْذٌ.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada harakat fathah. Tidak pernah terdengar kata جَمْلٌ sebagai takhfif dari kata جَمَلٌ. Hal ini dikarenakan fathah adalah harakat yang ringan sehingga tidak perlu diringankan lagi. Begitu juga ketika dalam keadaan nashab dan nakirah, fathah tidaklah disukunkan. Dan untuk membedakannya dengan rafa’ dan jarr, juga untuk menjaga agar fathah tidak disukunkan maka tanwinnya diganti dengan alif: رأيت زيدا. Meskipun demikian, Akhfasy meriwayatkan bahwa dia pernah mendengar ada satu kaum yang membacanya dengan sukun: رأيت زيدْ,[5] yang dimaksud adalah dialek Rabi’ah.[6] Maka menanggapi hal ini, al-Mubarrad mengatakan: “barangsiapa mengatakan: رأيت زيدْ, tanpa alif, maka pada kata جَمَلٌ, dia harus mengucapkan جَمْلٌ[7]. Maka maknanya boleh saja kita mensukunkan fathah mengikuti dialek Rabi’ah, dengan syarat konsisten pada setiap kata.
Maka ikhwati fillah, katakanlah: “jazakallahu khaira” atau “jazakallahu khairan”. Saya sarankan untuk mengikuti bahasa yang disepakati jumhur karena lebih fasih dan lebih sesuai dengan kaidah. Meskipun kita menulisnya dengan tulisan latin namun berusahalah untuk berpegang dengan kaidah yang benar yang disepakati oleh jumhur. Wallahu A’lam.

Rizki Gumilar
Di Toriyo, Sukoharjo




[1] Syarhul Umdah: 1/420
[2] Ihya’un Nahwi: 79-80
[3] Syarhut Tashil: 2/841-842
[4] Syarhusy Syafiyah: 2/274
[5] Syarhul Mufashshol: 5/212
[6] Dzhohirotul Hadzfi: 88
[7] Syarhul Mufashshol: 5/212

Rabu, 20 September 2017

‘Alaihi atau ‘Alaihu?


Terkadang dalam al-Qur’an ada tanda baca yang tidak sesuai dengan i’rab pada umumnya. Misalnya saja, dulu kita diajari sama Pak Kyai bahwa dhomir ha dibaca kasrah jika sebelumnya ada harakat kasrah atau ya sukun, seperti: فِيْهِ dan بِهِ. Namun jika tidak didahului oleh 2 hal itu, maka tetap dibaca dhammah,[1] seperti: مِنْهُ dan لَهُ. Pak Kyai bertanya, bagaimana jika diawali dengan kata عَلَى ?
Jika yang dimaksud adalah عَلَى huruf jarr, maka alif di akhir kata hakikatnya adalah huruf ya. Sehingga ketika bersambung dengan dhamir akan kembali ke bentuk asalnya, yaitu huruf ya. Maka berdasarkan kaidah di atas, spontan kita akan membacanya عَلَيْهِ (dengan kasrah).
Namun apa jadinya jika ternyata di al-Qur’an ada lafadz عَلَيْهُ (dengan dhammah). Lafadz tersebut hanya muncul satu kali pada surat al-Fath ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
          Selain dari ayat ini, semua lafadz عليه dibaca kasrah. Mengapa pada ayat ini dhamir ha dibaca tidak sesuai dengan kaidah yang diberikan Pak Kyai?
          Maka di sini saya bawakan 2 alasan mengapa pada ayat ini kita baca عليهُ:
     1.     Kendati yang paling masyhur adalah dibaca kasrah, namun ada 3 cara lain dalam membaca ha mudzakkar setelah kasrah atau ya sukun:
·         Dengan kasrah dan diikuti dengan ya sukun: عليهِيْ
·         Dengan dhammah dan diikuti dengan wawu sukun: عليهُوْ
·         Dengan dhammah dan menghilangkan wawu: عليهُ dan ini dialeknya Bani Hijaz. Alasannya adalah karena dhamir ha asalnya dari kata هُوَ kemudian huruf wawunya dihilangkan untuk meringankan. Maka dalam kondisi apapun tetap diakhiri dhammah karena dia mabni.[2] Dialek ini pula yang digunakan dalam qiro’ah riwayat Hafs.
Maka membaca dengan dhammah merupakan salah satu dialek dalam bahasa Arab dan bukanlah suatu aib. Dialek ini juga muncul sekali lagi pada surat al-Kahfi ayat 63: فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ
      2.    Menggunakan harakat yang paling berat, yaitu dhammah, karena beratnya peristiwa Bai’atur Ridwan sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa lafadz pada ayat tersebut:
·         إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ : bahwasanya 1400 sahabat j berjanji setia di bawah sebatang pohon untuk tidak meninggalkan Rasulullah g seorang diri ketika beliau dilarang untuk memasuki ke Masjidil Haram pada peristiwa Hudaibiyyah.
·         إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ : hakikatnya mereka j berjanji setia kepada Allah f.
·          يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ : Tangan Allah f di atas tangan mereka j, yakni Allah f mendengar ucapan mereka dan mengetahui isi hati mereka j.
·       فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ : ancaman keras bagi mereka yang mengingkarinya.
·       وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا : ganjaran besar bagi mereka yang menepatinya yaitu berupa keridhoan Allah f, ketenangan, kemenangan yang dekat di dunia, dan dibebaskan dari api neraka. Allah f berfirman:
 لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا (الفتح: 18)
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”
Dan Rasulullah g bersabda:
لا يدخل النار أحد ممن بايع تحت الشجرة إلا صاحب الجمل الأحمر
(رواه أبوداود: 4653، والترمذي: 3860)
“Tidak akan masuk neraka siapapun yang pernah mengikat janji di bawah pohon ini, kecuali pemilik unta merah”
Yang dimaksud dengan pemilik unta merah tersebut adalah Jadd bin Qais, tokoh munafik yang memilih untuk mencari untanya yang hilang daripada berbaiat kepada Rasulullah g.
 Dari sini kita mengetahui bahwa terkadang tanda baca dalam al-Qur’an tidak sesuai dengan kaidah karena ada kemaslahatan lain. Hal ini sama sekali tidak menurunkan martabat al-Qur’an sebagai Afshohul Kalam, karena al-Qur’an turun dengan semua dialek Arab. Wallahu Ta’ala A’lam.

Rizki Gumilar
Di Toriyo, Sukoharjo
Jawaban atas pertanyaan di Grup WA Mulakhos

Referensi:
Al-Qur’anul Karim
Balaghatul Kalimah fit Ta’biril Qur’any
Syarhul Kafiyah
Tafsir al-Qur’anil ‘Adzhim




[1] Syarhul Kafiyah: 2/421
[2] Syarhul Kafiyah: 2/421

Sabtu, 16 September 2017

Kana VS Inna


Berikut ini saya rangkumkan beberapa fakta menarik tentang kana dan inna yang perlu anda ketahui: 

كَانَ
إِنَّ
Disebut sebagai fi’il naqish karena hilang salah satu unsur pokoknya. Setiap fi’il memiliki 2 unsur pokok: makna pekerjaan dan waktu. Sedangkan kana hanya memilliki unsur waktu namun tidak memiliki unsur makna. Maka dari itu untuk menyempurnakan kekurangannya dia membutuhkan khobar. Misalnya:
كَانَ زيدٌ قائمًا maknanya adalah قامَ زيدٌ .
Disebut harf yang mirip fi’il, karena:
1, Hanya bersambung dengan isim
2, Lebih dari 2 huruf (umumnya harf: 1-2 huruf)
3, Diakhiri dengan fathah (mirip fi’il madhi)
4, Merafa’kan dan menashabkan (seperti fi’il merafa’kan fa’il dan menashabkan maf’ul)
5, Bermakna fi’il (أكّدَ)
6, Bersambung dengan nun wiqoyah
Menashabkan yang jauh, karena:
1, Fi’il beramal dengan kuat
2, Mengikuti fi’il lain ketika menashabkan maf’ul
Menashabkan yang dekat, karena:
1, Harf beramal dengan lemah
2, Inna dan saudarinya diakhiri oleh tasydid, maka butuh harakat ringan setelahnya
Hanya ada pada jumlah fi’liyyah
Hanya ada pada jumlah ismiyyah
Karena kuat maka susunannya lebih variatif:
Berurutan: كان زيدٌ قائمًا
Khobar di tengah:كان قائمًا زيدٌ
Khobar di depan: قائمًا كان زيدٌ
Ada pemisah berupa syibhul jumlah: كان في الفصل آكِلًا زيدٌ
Hilang huruf nun-nya: لمْ يَكُ زيدٌ قائمًا
Hilang amilnya: أمَّا زيدٌ قائمًا
Karena lemah maka susunannya harus berurutan: إِنَّ زيدًا قائمٌ
Tidak boleh khobar di tengah kecuali syibhul jumlah:  إنّ قائمٌ زيدًا
Tidak boleh khobar di depan:
قائمٌ إنّ زيدًا
Batal amalannya jika:
Ada pemisah apapun bentuknya: إنّ في الفصل زيدٌ آكلٌ
Hilang 1 nun-nya: إنْ زيدٌ قائمٌ
Tidak boleh hilang amilnya: زيدًا قائمٌ
Kana punya 12 saudari semuanya fi’il:
ظلّ، بات، أضحى، أصبح، أمسى، صار، ليس، مازال، ماانفكّ، مابرح، مافتئ، مادام
Punya 4 kerabat harf:
ما الحجازية، لا النافية للوحدة، لات، إن النافية
Punya kerabat yang banyak sekali semuanya fi’il, diantaranya:
كاد، كرب، أوشك، عسى، حرى، اخلولق،  أنشأ، علق، بدأ، جعل، أخذ، طفق، قام، هب،...
Inna punya 1 kembaran harf: أنّ
Punya 4 saudari semuanya harf:
لكنّ، لعلّ، كأنّ، ليت
Punya 1 kerabat: لا النافية للجنس

Rizki Gumilar
Di Toriyo, Sukoharjo

Referensi:
Syarh Qothrun Nada
Syarhul Mufashshol

Asrorul Arobiyyah

Jumat, 15 September 2017

Isim Maqshur, Isim yang Dipingit


          Satu-satunya isim mu’rab yang diberi udzur tanpa batas untuk tidak menampakkan tanda i’robnya adalah isim maqshur. Hal ini disebabkan oleh alif yang ada di akhirnya. Sebagaimana kita tahu alif tidak akan pernah berharakat, abadan, selamanya. Karena jika alif berharakat, bukan lagi alif namanya, namun berubah menjadi hamzah. Ya, hamzah adalah alif berharakat. Maka selama alif tidak bisa diharakati, maka isim maqshur diberi izin untuk tidak menampakkan tanda i’robnya, unlimited alias tanpa batas. Berbeda halnya dengan مَنْ, كَمْ, atau yang semisalnya, huruf sukun selain alif tidak diberi udzur khusus, sehingga tidak dimasukkan ke dalam isim mu’rab.
          Saking tertutupnya isim maqshur dari tanda i’rob, sampai-sampai ulama menamainya isim maqshur. Maqshur secara bahasa maknanya dipingit. Sebagaimana Allah f berfirman:
حُورٌ مَّقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ (الرحمن: 72)
“Para bidadari yang jelita, yang dipingit didalam rumah”
Maka isim maqshur adalah isim yang dipingit (dijaga) dari semua tanda i’rob. Ketika kita mengatakan قام الفتى، ورأيت الفتى، ونظرتُ إلى الفتى maka kita niatkan adanya harakat i’rob di akhir kata, meskipun tidak nampak.
Adapun menurut istilah, isim maqshur adalah setiap isim yang diakhiri oleh alif maqshurah. Disebutkan alif maqshurah untuk membedakan dia dengan alif mamdudah, yang mana alif mamdudah adalah alif yang dipanjangkan karena setelahnya diikuti oleh hamzah.
Meskipun semua isim maqshur pasti mu’rab, namun dia terbagi ke dalam 2 kelompok: munsharif dan ghairu munsharif. Bagaimana cara membedakannya?
Sebelumnya kita harus tahu terlebih dahulu jenis alifnya. alif pada isim maqshur terbagi menjadi 2: alif sebagai huruf asli (sebagai lamul kalimah) yang mana hakikatnya dia wawu atau ya, dan alif sebagai huruf tambahan yang berfungsi sebagai ta’nits, ilhaq, atau untuk memanjangkan kata. Contoh:
1.     Alif yang berasal dari wawu: عصًا، قفًا
2.    Alif yang berasal dari ya: فتًى، هدًى
3.    Alif ta’nits: سلمَى، حُبلَى
4.    Alif ilhaq: أرطًى، ذِفْرًى
5.    Alif untuk memanjangkan kata: قَبَعثَرًى، كُمَّثرًى

Dari keterangan di atas, bisa kita ambil beberapa faedah:
     
     ·         Hanya isim maqshur yang diakhiri dengan alif ta’nits yang termasuk ghairu munsharif. Karena tanda ta’nits tersebut menghalangi dia dari tanwin.
       ·         Untuk membedakan alif asli dengan alif tambahan adalah dengan melihat semua kata turunannya. Jika alif tersebut hilang pada turunan yang lain maka dia bukan alif asli.
      ·         Untuk membedakan alif yang berasal dari wawu dengan alif yang berasal dari ya, bisa kita lihat dari bentuk alifnya. Yang berasal dari wawu ditandai dengan alif lurus, sedangkan yang berasal dari ya ditandai dengan alif bengkok.
      ·         Selain dengan tanwin, untuk membedakan alif ilhaq dan alif pemanjang dengan alif ta’nits adalah dengan cara menambahkan ta marbuthah. Alif ta’nits tidak mungkin bisa ditambahkan ta marbuthah karena tidak bisa 2 tanda ta’nits bergabung dalam 1 kata. Sedangkan alif lain bisa ditambahkan ta marbuthah, seperti أرْطاةٌ.
      ·         Untuk membedakan alif ilhaq dengan alif pemanjang adalah. Untuk alif ilhaq harus memiliki kata pembanding yang diikuti wazannya. Misalnya kata أرطًى mengikuti kata جَعفَرٌ dan مِعزًى mengikuti kata دِرهَمٌ. Adapun , alif pada kata قَبَعثَرًى adalah murni hanya untuk memanjangkan kata, yang semula 5 huruf menjadi 6 huruf, tanpa adanya kata yang diikuti. Maka setiap ilhaq pasti berdampak memanjangkan kata, namun tidak semua kata yang dipanjangkan itu mengikuti kata lain (ilhaq).

Kita lihat isim maqshur yang munsharif lebih banyak daripada yang ghairu munsharif. Tandanya adalah ketika dia nakirah akan nampak tanwinnya (fathatain), seperti  هذا فَتًى، ورأيت فَتًى، ونظرتُ إلى فَتًى.
Apakah fathatain tersebut menjadi tanda i’rab? Jawabnya, tidak. Tetap tanda i’rabnya tidak kasat mata (dhammah muqaddarah, fathah muqaddarah, dan kasrah muqaddarah). Adapun tanwin tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa dia munsharif. Awalnya, bertemu 2 sukun berturut-turut ketika nakirah, yaitu pada alif dan tanwin. Maka kaidahnya ketika bertemu 2 sukun, yang mana huruf pertama adalah huruf mad, dan dia tidak memiliki fungsi vital pada kata tersebut maka hilangkan, adapun huruf kedua dibiarkan. Kita lihat alif maqshurah tidak memiliki fungsi vital melainkan hanya sebagai lamul kalimah, seandainya kita hilangkan maka masih ada huruf yang tersisa. Adapun tanwin di sini fungsinya cukup penting, yakni untuk membedakan dia dari ghairu munsharif. Di samping itu, meskipun alif secara lafadz hilang namun secara tulisan tetap ada, ditambah lagi di setiap kondisi i’rab kita letakkan fathatain untuk menunjukkan bahwa setelahnya masih ada alif. Maka dari itu tidak ada masalah sama sekali jika kita hilangkan alif maqshurah secara lafadz ketika nakirah.
Adapun ketika ghairu munsharif, alif tersebut tetap ada secara lafadz maupun tulisan. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya tanwin. Misalnya:
 هذا سلمَى، ورأيت سلمَى ، ونظرتُ إلى سلمَى
Eits.... jangan lupa! Tidak ada kasrah muqaddarah pada isim maqshur jenis ini karena dia ghairu munsharif. Sehingga tanda i’rabnya hanya 2: dhammah muqaddarah dan fathah muqaddarah.
          Demikian pembahasan singkat tentang isim maqshur yang dipingit, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Rizki Gumilar
Di Toriyo, Sukoharjo

Referensi:
Syarhul Mufashshol

Mausu’atu ‘Ulumil Lughatil ‘Arabiyyah