Rasulullah
g pernah
mengajarkan kita untuk membalas kebaikan kepada orang yang telah berbuat baik
kepada kita, minimalnya dengan ucapan jazakallahu khaira:
مَن
صُنِعَ إليه معروفٌ فقال لِفاعله: "جزاك الله خيرًا" فقد أبلغ في
الثناءِ
“Barang siapa yang diberi suatu kebaikan, maka
ucapkanlah kepada orang yang memberi tersebut: “Jazakallahu khaira”, maka hal
itu sudah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” [HR. at-Tirmidzi, Shahih
at-Targhib wat Tarhib: 969, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahihul Jami’:
6368]
Namun
sebagian ikhwah mengucapkannya dengan cara disukunkan: “Jazakallahu khair”, apakah hal ini dibolehkan?
Jawaban:
I’rab kata خَيْرًا pada kalimat جزاك الله خيرًا adalah sebagai maf’ul bih kedua milik fi’il جزى, adapun maf’ul pertamanya
adalah dhamir kaf. جزى merupakan saudari أعطى sehingga membutuhkan 2 maf’ul
bih yang bukan berasal dari mubtada khabar.
Fungsi maf’ul bih dalam kalimat hanyalah sebagai fadhlah (tambahan). Ibnu
Malik menyebutkan bahwa fadhlah adalah tambahan dari 2 unsur pokok isnad, yaitu
fi’il dan fa’il, atau mubtada dan khabar. Karena dia sebagai unsur tambahan
yang terletak di akhir kalimat, dan kalimat yang terdiri dari 3 kata atau lebih
dianggap kalimat yang panjang, maka fadhlah menggunakan harakat dan kondisi
yang teringan yaitu fathah dan nakirah.[1]
Ringannya harakat fathah disebabkan
karena mudahnya dalam pengucapan, cukup dengan membuka mulut dan mengeluarkan
suara. Sedangkan dhammah kita perlu me”monyong”kan bibir ketika mengeluarkan
suara. Butuh lebih banyak pergerakan otot ketika mengucapkannya. Begitu juga dengan
kasrah, kita perlu menyeret bagian pinggir bibir ke arah gusi ketika mengeluarkan
suara.[2]
Karena beratnya dhammah maka dia digunakan sebagai tanda umdah (unsur pokok), yaitu
mubtada, khabar, dan fa’il. Kemudian karena kasrah berada di antara dhammah dan
fathah maka dia digunakan sebagai penengah antara umdah dan fadhlah. Tersisa fathah
sebagai tanda fadhlah.[3]
Karena beratnya harakat
dhammah dan kasrah maka seringkali orang Arab mensukunkannya ketika waqof, seperti
قامَ زيدْ ومررت بِزيدْ .
Hal ini dijadikan dalil bagi mereka yang malas mempelajari nahwu, ini salah
kaprah. Orang Arab melakukan ini dengan tujuan takhfif (meringankan bacaan),
karena waqof adalah untuk istirahat.[4]
Mereka tahu hakikat i’rabnya, berbeda dengan kita yang mensukunkannya karena
tidak tahu i’rabnya. Sebagai renungan silakan baca artikel: Jangan kau malas membaca harakat akhir. Bahkan tidak hanya pada harakat i’rab yang mereka
sukunkan, namun pada harakat mabani mereka juga sukunkan, seperti عُنُقٌ menjadi عُنْقٌ atau فَخِذٌ menjadi فَخْذٌ.
Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku pada harakat fathah. Tidak pernah terdengar kata جَمْلٌ sebagai
takhfif dari kata جَمَلٌ. Hal ini dikarenakan fathah adalah harakat
yang ringan sehingga tidak perlu diringankan lagi. Begitu juga ketika dalam
keadaan nashab dan nakirah, fathah tidaklah disukunkan. Dan untuk membedakannya
dengan rafa’ dan jarr, juga untuk menjaga agar fathah tidak disukunkan maka
tanwinnya diganti dengan alif: رأيت زيدا. Meskipun demikian, Akhfasy meriwayatkan
bahwa dia pernah mendengar ada satu kaum yang membacanya dengan sukun: رأيت زيدْ,[5] yang
dimaksud adalah dialek Rabi’ah.[6] Maka menanggapi
hal ini, al-Mubarrad mengatakan: “barangsiapa mengatakan: رأيت زيدْ, tanpa alif, maka pada kata جَمَلٌ, dia harus mengucapkan جَمْلٌ”[7].
Maka maknanya boleh saja kita mensukunkan fathah mengikuti dialek Rabi’ah,
dengan syarat konsisten pada setiap kata.
Maka ikhwati fillah, katakanlah:
“jazakallahu khaira” atau “jazakallahu khairan”. Saya sarankan untuk mengikuti
bahasa yang disepakati jumhur karena lebih fasih dan lebih sesuai dengan
kaidah. Meskipun kita menulisnya dengan tulisan latin namun berusahalah untuk
berpegang dengan kaidah yang benar yang disepakati oleh jumhur. Wallahu A’lam.
Rizki Gumilar
Di Toriyo, Sukoharjo
0 komentar:
Posting Komentar