e.
Sahar (سَحَرَ)
Al-Laits mengatakan bahwa السَّحَر adalah akhir malam,[1] yakni
sesaat sebelum shubuh.[2] Jumur nuhat memasukkan kata ini ke dalam ghairu
munsharif jika terkumpul beberapa syarat berikut:
1.
Yang
dimaksud dengan سَحَرَ disini adalah waktu
sahur yang tertentu,[3] yakni pada waktu dimana kamu berada.[4] Namun jika yang dimaksud adalah salah satu waktu sahur
(masih umum) maka ulama sepakat untuk membuatnya munsharif [5] sebagaimana kalam Allah:
نَّجَّيْنَاهُم
بِسَحَرٍ (القمر: 34)
2.
Digunakan
sebagai dzhorof. Jika dia bukan sebagai dzhorof namun ma’rifah, maka harus
menggunakan ال atau idhofah.[6] Misalnya: طابَ السَّحَرُ سَحَرُ ليلتِنا (sebaik-baik
waktu sahur adalah sahur pada malam kami).
3.
Syarat
terakhir ini sebetulnya berlaku untuk semua ‘adl. Yaitu tidak boleh diberi ال atau idhofah karena akan hilang unsur ‘adl-nya. Tidak boleh dibuat
tashghir karena tidak lagi mirip dengan fi’il. Dan tidak dijadikan sebagai isim
‘alam karena tidak lagi digunakan sebagai dzhorof. Jika semua syarat ini tidak
terpenuhi maka سَحَرَ menjadi munsharif.
Atas dasar tersebut maka akan kita dapati سَحَرَ yang
ghairu munsharif selalu dalam keadaan manshub sebagai dzhorof.[7]
Jumhur sepakat bahwa yang menyebabkan سَحَرَ ghairu
munsharif adalah ‘adl dan ma’rifah. Namun dia ‘adl dari kata apa dan apa yang
menyebabkan dia ma’rifah? Jumhur pun sepakat bahwa سَحَرَ adalah ‘adl
dari kata السحر dan
perubahan ini hanyalah perubahan lafadz tanpa mengubah makna sedikit pun.[8] Adapun
mengenai apa yang menyebabkannya menjadi ma’rifah ulama berselisih pendapat.
Yang paling rajih adalah karena dia syibhul ‘alam. Karena isim ma’rifah hanya
ada 5: dhomir, ‘alam, isyaroh, al, dan idhofah. Sedangkan سَحَرَ tidak
termasuk ke dalam salah satunya. Hanya saja سَحَرَ mirip
dengan ‘alam karena dia ma’rifah tanpa tanda ta’rif.[9]
Faedah yang bisa diambil:
·
Tujuan
dari ‘adl ini adalah ikhtishor.
Rizki Gumilar
Di Kampung Santri
[1] Tahdzibul
lughah: 4/293
[2] Al-Mishbahul
munir: 102
[3] Ash-Shofwatush
shofiyyah: 1/463
[4] Syarhul
muqoddimah al-Jazuliyyah: 2/720
[5] Al-Kitab:
1/225, al-Muqtadhob: 3/378, al-Ushul: 2/89, al-Masailul ‘adhodiyyat: 58, Amaly
Ibn asy-Syajary: 2/578, Syarhul mufashshol: 2/99, Syarhul kafiyah asy-syafiyah:
3/1481, Syarhut tashrih: 2/344
[6] Al-Kitab:
3/283, Syarhul kafiyah asy-syafiyah: 3/1479, Syarhut tashrih: 2/344
[8] Al-Kitab:
3/283, Syarhul mufashshol: 2/99, Syarh Ibn an-Nadzhim: 467, Ham’ul hawami’:
1/98, Hasyiyatush Shobban: 2/195
[9] Syarhul
mufashshol: 2/99, Al-Muqorrib: 360
0 komentar:
Posting Komentar