Minggu, 25 Februari 2018

Bisa Baca Kitab = Tujuan Akhir ?



             Sebagian besar ikhwah ketika ditanya “untuk apa antum belajar bahasa Arab?” maka mereka akan menjawab “supaya bisa baca kitab gundul”. Apakah tujuan tersebut bisa dibenarkan? Jawabnya, bisa iya bisa tidak. Apakah benar itu tujuan akhir mempelajari bahasa Arab? Jawabnya, tidak.
            Sebagaimana mayoritas orang Arab, mereka mampu membaca teks berbahasa Persia dan Urdu, karena memang hurufnya mirip. Begitu juga dengan anak-anak penutur asli bahasa Arab, mereka juga mampu membaca teks Arab tanpa harokat. Tapi apakah mereka memahami isinya? Maka bisa membaca saja bukanlah tujuan akhir.
            Jika kita melihat buku ath-Thoroiq hal. 19, disebutkan bahwa kelebihan no. 4 dari metode membaca adalah kemampuan membaca dalam hati dan memahami makna merupakan pencapaian tertinggi, inilah tujuan akhir yang sebenarnya. Tentu saja bagi mereka yang berprofesi sebagai pengajar, tujuan tersebut menjadi tidak lagi relevan baginya, dia harus bisa membuat muridnya memahami teks secara mandiri.
            Berikut ini tahapan dalam pengajaran membaca secara ringkas:
        1.     Pengenalan huruf, makhraj, dan sifatnya dalam bentuk praktek bukan teori.
        2.      Membaca teks berharokat dengan tujuan memahami tanda baca dan intonasi.
        3.      Membaca teks tanpa harokat dengan suara keras, dengan tujuan memperbaiki i’robnya.
        4.      Membaca teks tanpa harokat dengan suara lirih, dengan tujuan memahami maknanya.
    5.       Membaca teks tanpa harokat dalam hati, mengeluarkan pokok pikiran dalam teks dan memasukkan makna yang tersirat di luar teks. Inilah tujuan akhir dari membaca.
Bagi mereka yang tujuan akhirnya adalah bisa baca kitab gundul, maka mereka akan berhenti pada tahapan ke 3 dan tidak mendapatkan faedah apapun dari sang penulis. Padahal i’rob itu tercipta tidak lain untuk memahami makna. Berusahalah untuk mencapai tahapan tertinggi, bahkan jika bisa hingga tahapan ke 6 yaitu mengajarkan tahapan 1-5. Sebagaimana Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan: "Jika kalian meminta kepada Allah, mintalah surga Firdaus, karena dialah surga yang tertinggi". Meskipun akhirnya kita hanya mampu sampai tahapan pertama, tidaklah mengapa.


Abu Kunaiza
Riyadh


Kamis, 22 Februari 2018

Nahwu dan Farmasi



Siapa yang tak kenal al-Khalil, namanya seringkali disebut-sebut dalam kitabnya Sibawaih. Setiap kali Sibawaih menyebutkan “aku bertanya kepadanya” atau “dia berkata”, maka tidak lain yang dimaksud adalah al-Khalil, gurunya sendiri. Dialah al-Khalil seorang imam ahlusunnah yang menemukan ilmu ‘Arudh, pakar di bidang nahwu, dan orang pertama yang menulis kamus bahasa Arab, yang diberi nama Kitab al-‘Ain. Tentu pujian saya ini tidak ada apa-apanya dibanding pujian Imam Sufyan At-Tsauri terhadapnya: “barangsiapa yang ingin melihat manusia yang terbuat dari emas dan minyak kasturi, maka lihatlah al-Khalil bin Ahmad” (Mu’jamul Udaba: 3/1270).    Saya hendak menyampaikan sepotong kisah tentang beliau yang diceritakan oleh Imam As-Suyuthi di kitabnya Bughyatul Wu’ah: 1/559.
            Di masanya, ada seorang lelaki ahli farmasi spesialis mata yang meninggal dunia. Sepeninggalnya, tidak ada yang meneruskan profesi tersebut dan tidak ada yang tahu dimana resep racikannya disimpan. Padahal penduduk setempat sangat membutuhkannya. Di sela-sela kegundahan tersebut, al-Khalil bertanya: “apakah ada salinan resepnya?” mereka menjawab: “tidak ada”. Al-Khalil bertanya lagi: “apakah dia punya mortir yang digunakan untuk meracik obat?” mereka menjawab: “punya”, “berikan kepadaku” kata al-Khalil. Mereka pun membawakannya. Kemudian al-Khalil mencium aroma yang ada pada mortir tersebut, layaknya siswa farmasi ketika ujian praktek simplisia, mereka menebak sedian yang ada menggunakan indera penciuman dengan mata tertutup. Maka al-Khalil pun menyebutkan satu persatu bahan yang dicampur di dalamnya, hingga totalnya berjumlah 15 bahan baku. Dengan bahan-bahan tersebut, beliau mencoba meraciknya dan memberikan kepada mereka yang sakit mata. Dengan izin Allah mereka pun sembuh dengan sebab obat tersebut. Sungguh aneh tapi nyata, pertama kalinya orang-orang meminta resep obat kepada ahli nahwu. Hingga suatu hari salinan resep tersebut ditemukan, dan di sana tertulis bahwa bahan bakunya ada 16. Meskipun terlewat 1 bahan namun obat tersebut tetap mujarab.
            Dari kisah tersebut saya hendak menyampaikan bahwasanya farmasi adalah suatu seni mencampur satu bahan dengan bahan yang lain hingga terbentuklah sediaan obat. Dia bukanlah ilmu pasti melainkan ilmu terapan. Terkadang bahan atau takarannya kurang tapi tetap bisa menyembuhkan. Sedangkan nahwu adalah suatu formula yang terbatas, yang dengannya kita bisa membuat struktur kalimat tanpa batas. Misalnya dengan formula (fi’il + fa’il) saja kita bisa membuat lebih dari jutaan kalimat. Maka dari itu kita katakan nahwu itu ilmu pasti. Kata itu hanya isim, fi’il, dan harf, tidak ada yang keempat. I’rob itu hanya rofa’, nashob, jarr, dan jazm, tidak ada yang kelima. Bina itu hanya dhommah, fathah, kasroh, dan sukun, tidak ada yang kelima. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa setelah 8 tahun saya bergelut di bidang farmasi, akhirnya beralih ke bidang nahwu.

Abu Kunaiza
Riyadh