Siapa yang tak kenal al-Khalil, namanya seringkali disebut-sebut
dalam kitabnya Sibawaih. Setiap kali Sibawaih menyebutkan “aku bertanya
kepadanya” atau “dia berkata”, maka tidak lain yang dimaksud adalah al-Khalil,
gurunya sendiri. Dialah al-Khalil seorang imam ahlusunnah yang menemukan ilmu ‘Arudh,
pakar di bidang nahwu, dan orang pertama yang menulis kamus bahasa Arab, yang
diberi nama Kitab al-‘Ain. Tentu pujian saya ini tidak ada apa-apanya dibanding
pujian Imam Sufyan At-Tsauri terhadapnya: “barangsiapa yang ingin melihat
manusia yang terbuat dari emas dan minyak kasturi, maka lihatlah al-Khalil bin
Ahmad” (Mu’jamul Udaba: 3/1270). Saya hendak
menyampaikan sepotong kisah tentang beliau yang diceritakan oleh Imam As-Suyuthi
di kitabnya Bughyatul Wu’ah: 1/559.
Di masanya, ada seorang
lelaki ahli farmasi spesialis mata yang meninggal dunia. Sepeninggalnya, tidak
ada yang meneruskan profesi tersebut dan tidak ada yang tahu dimana resep
racikannya disimpan. Padahal penduduk setempat sangat membutuhkannya. Di sela-sela
kegundahan tersebut, al-Khalil bertanya: “apakah ada salinan resepnya?” mereka
menjawab: “tidak ada”. Al-Khalil bertanya lagi: “apakah dia punya mortir yang
digunakan untuk meracik obat?” mereka menjawab: “punya”, “berikan kepadaku”
kata al-Khalil. Mereka pun membawakannya. Kemudian al-Khalil mencium aroma yang
ada pada mortir tersebut, layaknya siswa farmasi ketika ujian praktek
simplisia, mereka menebak sedian yang ada menggunakan indera penciuman dengan
mata tertutup. Maka al-Khalil pun menyebutkan satu persatu bahan yang dicampur
di dalamnya, hingga totalnya berjumlah 15 bahan baku. Dengan bahan-bahan
tersebut, beliau mencoba meraciknya dan memberikan kepada mereka yang sakit
mata. Dengan izin Allah mereka pun sembuh dengan sebab obat tersebut. Sungguh aneh
tapi nyata, pertama kalinya orang-orang meminta resep obat kepada ahli nahwu. Hingga
suatu hari salinan resep tersebut ditemukan, dan di sana tertulis bahwa bahan
bakunya ada 16. Meskipun terlewat 1 bahan namun obat tersebut tetap mujarab.
Dari kisah tersebut
saya hendak menyampaikan bahwasanya farmasi adalah suatu seni mencampur satu bahan
dengan bahan yang lain hingga terbentuklah sediaan obat. Dia bukanlah ilmu
pasti melainkan ilmu terapan. Terkadang bahan atau takarannya kurang tapi tetap
bisa menyembuhkan. Sedangkan nahwu adalah suatu formula yang terbatas, yang
dengannya kita bisa membuat struktur kalimat tanpa batas. Misalnya dengan
formula (fi’il + fa’il) saja kita bisa membuat lebih dari jutaan kalimat. Maka dari
itu kita katakan nahwu itu ilmu pasti. Kata itu hanya isim, fi’il, dan harf,
tidak ada yang keempat. I’rob itu hanya rofa’, nashob, jarr, dan jazm, tidak
ada yang kelima. Bina itu hanya dhommah, fathah, kasroh, dan sukun, tidak ada
yang kelima. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa setelah 8 tahun saya
bergelut di bidang farmasi, akhirnya beralih ke bidang nahwu.
Abu Kunaiza
Riyadh
BalasHapusBarakallahufiik
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusالله يبارك فيك
BalasHapusMasyaaAllah, Baarakallahu Fiikum ustadz
BalasHapusMaa syaa Allah tabarakallah.. Baru sadar ternyata ga ruwet mengenali bahasa Arab, semoga saya cepat dipahamkan bahasa arab
BalasHapus