Kamis, 22 Februari 2018

Nahwu dan Farmasi



Siapa yang tak kenal al-Khalil, namanya seringkali disebut-sebut dalam kitabnya Sibawaih. Setiap kali Sibawaih menyebutkan “aku bertanya kepadanya” atau “dia berkata”, maka tidak lain yang dimaksud adalah al-Khalil, gurunya sendiri. Dialah al-Khalil seorang imam ahlusunnah yang menemukan ilmu ‘Arudh, pakar di bidang nahwu, dan orang pertama yang menulis kamus bahasa Arab, yang diberi nama Kitab al-‘Ain. Tentu pujian saya ini tidak ada apa-apanya dibanding pujian Imam Sufyan At-Tsauri terhadapnya: “barangsiapa yang ingin melihat manusia yang terbuat dari emas dan minyak kasturi, maka lihatlah al-Khalil bin Ahmad” (Mu’jamul Udaba: 3/1270).    Saya hendak menyampaikan sepotong kisah tentang beliau yang diceritakan oleh Imam As-Suyuthi di kitabnya Bughyatul Wu’ah: 1/559.
            Di masanya, ada seorang lelaki ahli farmasi spesialis mata yang meninggal dunia. Sepeninggalnya, tidak ada yang meneruskan profesi tersebut dan tidak ada yang tahu dimana resep racikannya disimpan. Padahal penduduk setempat sangat membutuhkannya. Di sela-sela kegundahan tersebut, al-Khalil bertanya: “apakah ada salinan resepnya?” mereka menjawab: “tidak ada”. Al-Khalil bertanya lagi: “apakah dia punya mortir yang digunakan untuk meracik obat?” mereka menjawab: “punya”, “berikan kepadaku” kata al-Khalil. Mereka pun membawakannya. Kemudian al-Khalil mencium aroma yang ada pada mortir tersebut, layaknya siswa farmasi ketika ujian praktek simplisia, mereka menebak sedian yang ada menggunakan indera penciuman dengan mata tertutup. Maka al-Khalil pun menyebutkan satu persatu bahan yang dicampur di dalamnya, hingga totalnya berjumlah 15 bahan baku. Dengan bahan-bahan tersebut, beliau mencoba meraciknya dan memberikan kepada mereka yang sakit mata. Dengan izin Allah mereka pun sembuh dengan sebab obat tersebut. Sungguh aneh tapi nyata, pertama kalinya orang-orang meminta resep obat kepada ahli nahwu. Hingga suatu hari salinan resep tersebut ditemukan, dan di sana tertulis bahwa bahan bakunya ada 16. Meskipun terlewat 1 bahan namun obat tersebut tetap mujarab.
            Dari kisah tersebut saya hendak menyampaikan bahwasanya farmasi adalah suatu seni mencampur satu bahan dengan bahan yang lain hingga terbentuklah sediaan obat. Dia bukanlah ilmu pasti melainkan ilmu terapan. Terkadang bahan atau takarannya kurang tapi tetap bisa menyembuhkan. Sedangkan nahwu adalah suatu formula yang terbatas, yang dengannya kita bisa membuat struktur kalimat tanpa batas. Misalnya dengan formula (fi’il + fa’il) saja kita bisa membuat lebih dari jutaan kalimat. Maka dari itu kita katakan nahwu itu ilmu pasti. Kata itu hanya isim, fi’il, dan harf, tidak ada yang keempat. I’rob itu hanya rofa’, nashob, jarr, dan jazm, tidak ada yang kelima. Bina itu hanya dhommah, fathah, kasroh, dan sukun, tidak ada yang kelima. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa setelah 8 tahun saya bergelut di bidang farmasi, akhirnya beralih ke bidang nahwu.

Abu Kunaiza
Riyadh



5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Nadwa Abu Kunaiza16 Juni 2020 pukul 21.13

    الله يبارك فيك

    BalasHapus
  3. MasyaaAllah, Baarakallahu Fiikum ustadz

    BalasHapus
  4. Maa syaa Allah tabarakallah.. Baru sadar ternyata ga ruwet mengenali bahasa Arab, semoga saya cepat dipahamkan bahasa arab

    BalasHapus