Selasa, 06 November 2018

Haruskah Seorang Da’i Bisa Bahasa Arab??




Awalnya tidak ingin saya terlibat dalam topik ini karena saya sendiri merasa bukan seorang da’i. Namun karena ini menyangkut bahasa Arab, dan banyaknya perdebatan di medsos yang diantaranya ada beberapa komentar yang menggelitik hati saya, akhirnya saya pun “tergoda” untuk ikut beropini. Diantara komentar yang membuat saya senyum-senyum sendiri:

“antum tinggal di kota besar enak.. lah kalau di kampung atau daerah pedalaman, susah cari orang yg fasih berbahasa Arab.. Mereka tetap punya kewajiban untuk mengajarkan islam semampunya.”

“Karena sdh maklum. Kewajiban dakwah itu hanya sebatas kemampuan. Kalo bisanya cuma faham satu ayat, maka dia dianjurkan menyampaikan ayat tersebut. Tidak harus bisa bahasa arab. Tidak bisa bahasa arab juga bukan berarti buta sama sekali dgn bahasa arab.”

        Sebelum menanggapi komentar-komentar diatas, ada baiknya kita tahu terlebih dahulu seberapa pentingkah bahasa Arab bagi seorang da’i, menurut para ulama.
قال شيخ الإسلام ابن تيمية: "لا بد في تفسير القرآن والحديث من أن يعرف ما يدل على مراد الله ورسوله من الألفاظ وكيف يُفهم كلامُه... فإن عامة ضلال أهل البدع، كان بهذا السبب."  (الإيمان: 111)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dalam menafsirkan al-Qur’an dan al-Hadits harus dengan mengetahui maksud Allah dan Rasul-Nya yang terkandung pada lafadz-lafadznya dan bagaimana cara agar Kalam-Nya bisa dipahami... karena umumnya kesesatan ahlul bida’ disebabkan oleh hal ini.”
قال الشاطبي: "الاجتهاد إن تعلق بالاستنباط من النصوص، فلا بد من اشتراط العلم بالعربية" (الموافقات: 5/124)
Asy-Syathibi berkata: “ijtihad jika berkaitan dengan membuat keputusan dari teks maka syaratnya harus mengetahui bahasa Arab.”
قال الألباني: "ولا سبيل إلى كتاب الله وسنة رسوله إلا عن طريق العربية" (حياة الألباني وآثاره وثناء العلماء عليه: 1/48)
Al-Albani berkata: “Tidak jalan lain untuk mencapai al-Qur’an dan as-Sunnah kecuali melalui jalan bahasa Arab.”
قال مجاهد: "لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم بكتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب" (البرهان في علوم القرآن: 1/292)
Mujahid berkata: “tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara dengan Kitabullah jika dia bukanlah ‘alim dalam bahasa Arab.”

Dan masih banyak lagi qoul ulama mengenai wajibnya mempelajari bahasa Arab bagi setiap muslim umumnya, dan bagi para da’i khususnya. Namun bahasa Arab yang mana yang perlu dipelajari oleh seorang da’i? Apakah perlu dipelajari semua disiplin ilmunya, seperti nahwu-nya, shorof-nya, balaghoh-nya, naqd adabi-nya, ashwat-nya, ma’ani-nya, ‘arudh dan qowafi-nya, ‘ilal-nya, dst....?
Atau juga perlu dipelajari semua kifayah lughowiyyah-nya, yaitu 3 unsur (shout, mufrodat, tarkib) dan 4 maharot lughoh (istima’, kalam, qiroah, kitabah)?
Kita simak perkataan para ulama berikut:
قال الشوكاني: "الشرط الثالث أي من شروط المجتهد: أن يكون عالمًا بلسان العرب" (مقدمة ابن خلدون: 522)
Asy-Syaukani berkata: “Syarat ketiga dari syarat-syarat seorang mujtahid adalah ‘alim dalam bahasa Arab.”
في شروط المجتهد: "علم العربية: لغة، ونحوًا، وتصريفًا، ...وليس عليه أن يبلغ مبلغ الخليل بن أحمد" (الإبهاج في شرح المنهاج: 3/255)
Diantara syarat mujtahid: “ilmu bahasa Arab, mencakup linguistik, nahwu, shorof,... dan tidak harus baginya mencapai tingkatan al-Khalil bin Ahmad.”
قال  الشيخ عبد الكريم زيدان: "إنما كان تعلم اللغة العربية على هذا الوجه ضروريًا للمجتهد، لأن نصوص الشريعة وردت بلسان العرب فلا يمكن فهمها واستفادة الأحكام منها إلا بمعرفة اللسان العربي على نحو جيد... ولكن لا يشترط في المجتهد أن يعرف اللغة معرفة أئمتها والمشهورين فيها، وإنما يكفيه منها القدر اللازم لفهم النصوص الشرعية فهمًا سليمًا ويمكنه من معرفة المراد منها." (الوجيز في أصول الفقه: 402)
Syaikh Abdul Karim Zaidan berkata: “Pada kondisi kondisi ini belajar bahasa Arab adalah suatu hal yang urgen bagi seorang mujtahid, karena semua teks syariat menggunakan bahasa Arab maka mustahil bisa memahaminya dan mengambil manfaat hukum-hukum darinya kecuali dengan memahami bahasa Arab dengan baik... akan tetapi tidak disyaratkan baginya mengetahui bahasa Arab dengan pengetahuan para pakar bahasa Arab atau yang bergelut di bidangnya. Cukup baginya sebatas untuk memahami teks-teks syariat dengan pemahaman yang lurus dan mengetahui maksud yang terkandung di dalamnya.”
قال أبو البركات الأنباري: "إن المجتهد لو جمع جمع العلوم لم يبلغ مرتبة الإجتهادحتى يعلم من قواعد النحو" (لمع الأدلة: 95)
Abul Barokat al-Anbari berkata: “Seandainya seorang mujtahid mampu mengumpulkan semua disiplin ilmu, tidak adakan mencapai martabat ijtihad hingga ia mengetahui kaidah nahwu”
قال المازني: "عليك بالنحو، فإن بني إسرائيل كفرت بحرف ثقيل خففوه. قال الله عز  وجل لعيسى عليه السلام: "إنّي ولّدتُك" فقالوا: "إنّي ولدتُك" فكفروا..."  (شأن الدعاء: 19-20)
Al-Mazini berkata: “wajib bagimu mempelajari nahwu, karena bani Israil menjadi kafir disebabkan huruf berat yang mereka ringankan, Allah berfirman kepada Isa ‘alaihis salam: “Aku menciptakanmu” namun mereka mengatakan: “Aku melahirkanmu”, maka merekapun kafir...”

Diantara perkataan para ulama diatas, adakah disebutkan bahwa seorang da’i harus bisa lancar berbahasa Arab cas cis cus?
Adakah da’i itu harus pandai bersyair dengan ketentuan ‘arudh dan qowafi-nya?
Adakah da’i itu harus mahir menulis dengan seluruh khot-nya dan mengarang indah menggunakan bahasa Arab?
Adakah da’i itu harus menguasai seluruh kosakata bahasa Arab hingga menghafal mu’jam lisanul ‘arob?
Adakah da’i itu harus peka dengan setiap perkataan orang Arab dan mampu melafalkan lafadz-lafadznya dengan fasih?
Tidak ada sama sekali...
Maka perlu dipahami bahwa tujuan mempelajari bahasa Arab itu ada 2 tipe: tujuan umum, dan tujuan khusus. Tujuan umum itu bagi mereka yang hendak mempelajari bahasa Arab secara keseluruhan. Adapun tujuan khusus itu hanya untuk mereka yang ingin mempelajari bahasa Arab pada bagian-bagian tertentu saja. Misal bagi tenaga asing yang hendak bekerja di Arab Saudi maka dia akan mempelajari bagian istima’ dan kalam saja, atau bagi mahasiswa jurusan adab maka dia akan mempelajari naqd adabi saja, dst. Begitu juga bagi para da’i yang hendak mempelajari bahasa Arab, tujuan mereka adalah tujuan khusus, disesuaikan dengan objek kajian mereka. Sebagaimana para ulama menyebutkan diatas bahwa objek kajian da’i itu adalah teks-teks syariat, maka mereka hanya butuh qowa’id untuk memahaminya, khususnya nahwu.
Maka sungguh sangat lucu ketika ada mereka yang komentar bahwa sulit sekali mencari da’i yang bisa fasih berbahasa Arab.... terus untuk apa juga harus fasih ngomong bahasa Arab? Apakah itu solusi yang dibutuhkan umat di negeri kita ini? cobalah berfikir dengan jernih. Yang bukan da’i jangan baper ya... khusus untuk opini saya ini, saya terima kritik pedas sepedas-pedasnya, level 30 juga boleh...


Abu Kunaiza
Riyadh

Senin, 29 Oktober 2018

Mudahkan Mereka yang Mengambil Ilmu Darimu




Manusia adalah makhluk yang bodoh jika tidak Allah berikan ilmu kepadanya. Allah berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa pun.”. (An-Nahl: 78)
Kemudian Allah berikan ilmu hingga manusia pun mengetahui banyak hal. Allah berfirman:
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ
“Dia telah mengajarkanmu apa yang belum kamu ketahui.” (An-Nisa: 113)
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ، عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Dialah yang mengajar dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-‘Alaq: 4-5)
         Sehingga dari sini kita mengetahui betapa besarnya nikmat ilmu, yang dengannya kita bisa terbebas dari gelapnya kebodohan. Bahkan nikmat ilmu ini lebih agung daripada nikmat ibadah. Karena tanpa ilmu kita tidak akan tahu bagaimana cara ibadah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَضْلُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ
“Keutamaan ilmu itu lebih baik daripada keutamaan ibadah." (HR. Ath-Thabrani).
Karena begitu besarnya nikmat ilmu maka mensyukurinya pun patut kita prioritaskan. Bagaimana cara mensyukuri nikmat ilmu? Jika cara mensyukuri nikmat harta dengan cara mensedekahkannya, maka begitu juga dengan ilmu, dengan cara mensedekahkannya (mengajarkannya). Sufyan ats-Tsaury rahimahullah pernah mengatakan:
لَا أعلَمُ مِن العِبادَة شَيئًا أفضَلُ من أنْ يُعلّمَ الناسَ العِلمَ
“Aku tidak mengetahui ada satu ibadah yang lebih utama dari mengajarkan suatu ilmu kepada manusia.” (Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlih: 124)
        Maka ikhwatii fillah, sungguh sangat mengherankan ketika ada orang yang berilmu atau ustadz namun sangat pelit untuk mengajarkan ilmu, padahal Allah begitu dermawan melimpahkan ilmu kepadanya. Sungguh tak habis pikir, disaat Allah mudahkan jalan meraih ilmu kepadanya namun dia persulit orang lain untuk mengambil ilmu darinya. Padahal dia mendapatkan ilmu tersebut dengan cuma-cuma, atau Allah mudahkan baginya mengais rejeki yang dengannya dia bisa menuntut ilmu, apa dia merasa ilmu tersebut didapat dengan kerja kerasnya? Sekali lagi tidak, Allah lah yang memberikan ilmu kepada siapa yang Dia kehendaki.
Oleh sebab itu janganlah pamrih wahai akhi wahai ukhti... ingatlah kau sama sekali tak akan merugi ketika kau sedekahkan ilmumu, justru ia akan menjadi sebuah investasi yang tak ternilai dan tak terhingga, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)


Abu Kunaiza

Riyadh



Minggu, 09 September 2018

Curahan Hati di Malam Hari


 
Sungguh miris sekali melihat praktek pengajaran bahasa Arab di negeri kita ini. Di saat bahasa asing lainnya diajarkan oleh para pengajar yang kompeten, maka bahasa Arab hanya diajarkan oleh ustadz-ustadz yang sebetulnya mereka tidak kompeten di bidangnya, hanya sebatas tahu bahasa Arab. Jadi seakan-akan bahasa Arab itu sekedar sampingan. Ketika kita mengajar materi aqidah, fiqih, tafsir, dll dianggap tidak profesional karena bukan bidang kita, mengapa mereka menutup mata dengan bahasa Arab?
Ketahuilah inilah yang membuat bahasa Arab kurang peminat. Seandainya pun ada yang berminat maka pasti mereka mencari yang gratisan, padahal untuk belajar bahasa Inggris mereka rela keluar uang hingga jutaan rupiah. Sungguh miris nasib bahasa Arab di negeri kita.
Pada dasarnya, ada 2 cara pengajar bahasa Arab dalam menyiapkan bahan ajar: dengan menyusunnya sendiri atau memilih dari buku panduan yang ada. Cara yang pertama ini lebih baik karena pengajar bisa menyesuaikan silabus berdasarkan kondisi murid yang dia hadapi, disamping itu juga pasti dia sudah menguasai betul apa yang dia tulis dengan tangannya sendiri. Adapun cara kedua juga sebetulnya tidaklah buruk, karena cara tersebut lebih mudah dan lebih cepat. Hanya saja, pengajar yang bukan spesialisasinya di bidang bahasa Arab dan minimnya pengalaman pasti akan memilih buku yang tersedia dan mudah didapat dan lupa bahwa murid-muridnya adalah non-Arab. Maka dia akan sikat habis murid-muridnya, memukul rata setiap murid dan meminta mereka telan bulat-bulat materi, layaknya mengajari burung beo bicara. Maka wajar saja jika bahasa Arab di mata anak negeri layaknya hantu yang menakutkan. Dan itu semua karena kesalahan pengajar.
Perlu diperhatikan, mengajar bahasa Arab kepada non-Arab jauh lebih sulit daripada mengajar kepada penutur asli. Sama halnya kita mengajar bahasa Indonesia kepada bule itu lebih sulit daripada mengajarkannya kepada pribumi. Ketika mengajarkan kepada penutur asli maka kita ajarkan kaidah bahasa apa adanya dan dengan cara apapun tidak jadi masalah. Yang jadi masalah ketika kita mengajarkannya kepada bukan penutur asli, dengan metode yang sama persis sebagaimana diajarkan oleh nenek moyang kita, maka ini yang perlu diperhatikan. Padahal non-Arab berbeda dengan orang Arab. Itu yang seringkali terlupakan. Non-Arab butuh beberapa pendekatan untuk mampu memahami bahasa Arab, terlebih lagi mereka belajar di usia yang tidak lagi belia. Tentu butuh metode yang runut, pemilihan kosakata yang familiar, adanya kamus mufrodat, adanya harokat, pengenalan tulisan dan makhroj, penyesuaian budaya, butuh audio dan visual, dan seterusnya. Maka jelas mengajarkan bahasa Arab kepada penutur asing butuh pengajar yang profesional bukan malah dijadikan pekerjaan serabutan.

Sekedar curahan hati di heningnya malam kota Riyadh

Abu Kunaiza

Selasa, 21 Agustus 2018

Mengapa Rasm Utsmani Berbeda dengan Rasm Qiyasi?




       

         A.   Pentingnya mempelajari Rasm Utsmani
Rasm maknanya adalah tulisan, dan ia terbagi menjadi 2 jenis: Rasm Qiyasi dan Rasm Isthilahi. Rasm Qiyasi adalah kaidah penulisan bahasa Arab yang ada pada kita sekarang ini, atau yang biasa disebut kaidah imlaiyyah. Rasm ini sangat mudah kita dapati di berbagai media tulisan, seperti hadits, kitab para ulama, buku-buku pelajaran, koran, dan semua media yang menggunakan bahasa Arab.
Sedangkan Rasm Isthilahi adalah kaidah penulisan yang hanya ada pada Mushaf al-Qur’an, dikenal juga dengan Rasm Utsmani, disandarkan kepada Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu atas gagasan beliau dalam pembukuan al-Qur’an. Pada dasarnya Rasm Utsmani ini berkesesuaian dengan Rasm Qiyasi, hanya saja dalam beberapa hal terdapat perbedaan, dan itu tidak banyak.
Mempelajari ilmu Rasm Utsmani ini penting bagi setiap muslim. Karena beberapa hal berikut ini:
1.     Rasm Utsmani merupakan ijma’ Sahabat. Dan ijma’ ini bukanlah ijma’ yang kecil, melainkan 12.000 Sahabat sepakat atas perintah Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Bahkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang semula tetap bertahan dengan mushafnya sendiri, akhirnya beliau membakar mushafnya dikarenakan ijma’ ini. Maka penting bagi kita mengetahui ilmu ini agar tidak menyelisihi ijma’ sahabat.
2.    Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
     مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan: “alif lam mim” satu huruf akan tetapi “alif” satu huruf, “laam” satu huruf dan “miim” satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469).
Diantara faedah hadits diatas adalah setiap ibadah yang berkaitan dengan al-Qur’an itu ditentukan berdasarkan Rasm Utsmani. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyebutkan bahwa pahala membaca الم adalah 3 kebaikan berdasarkan Rasm Utsmani, seandainya berdasarkan lafadz yang diucapkan maka semestinya 9 kebaikan karena terdiri dari 9 huruf: أَلِف لاَم مِيم.
3.    Imam Ibnul Jazari rahimahullah menyebutkan dalam Nadzhom Thoyyibatun Nasyr, bahwa syarat bacaan al-Qur’an yang benar itu ada 3:
     فَكُلُّ ما وافَقَ وَجهَ نَحوِ    وَكانَ لِلرَّسمِ احتِمالًا يَحوِي
     وَصَحَّ إسنادًا هُوَ القُرآنُ    فَهذِهِ الثَّلاثَةُ الأركانُ
     وَحَيثُما يَختَلَّ رُكنٌ أثبِتِ   شُذُوذَهُ لَو أنَّهُ فِي السَّبعَةِ
“Setiap yang berkesesuaian dengan kaidah nahwu meskipun hanya 1 madzhab, dan yang berkesesuaian dengan Rasm Utsmani meskipun ihtimal (opsional), dan sanad yang bersambung, itulah al-Qur’an. Inilah 3 rukun bacaan yang benar. Dimana salah satu rukunnya tidak terpenuhi maka itu adalah bacaan yang syadz (menyelisihi kaidah) meskipun dia mengikuti 7 imam.”
Kita mengetahui ada banyak dari kalangan kita yang mempelajari rukun pertama dan ketiga. Namun jarang diantara kita yang menaruh perhatian pada rukun yang kedua, yaitu ilmu Rasm Utsmani.
4.    Jika kita mengetahui bahwa seorang ahli nahwu dan seorang musnid (yang memiliki sanad al-Qur’an) termasuk ke dalam penjaga wahyu. Maka ketahuilah bahwa seorang yang menguasai kaidah Rasm Utsmani termasuk ke dalam deretan tersebut.

         B.    Sebab-sebab Perbedaan Rasm Utsmani dengan Rasm Qiyasi
Kita dapati ada banyak tulisan yang membahas tentang makna rahasia dibalik penulisan Rasm Utsmani yang menyelisihi Rasm Qiyasi. Hanya saja kebanyakan tulisan tersebut hanyalah dugaan semata tanpa dalil yang kuat. Berikut ini saya bawakan sebab-sebab perbedaan tersebut berdasarkan pendapat jumhur ulama:
1.     Rasm Utsmani adalah Tauqifiyyah, hal yang tidak perlu dipertanyakan sebabnya. Ketahuilah bahwasanya para Sahabat menuliskan al-Qur’an berdasarkan arahan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau. Dan beliau tidaklah mengetahui hal itu melainkan dari Jibril ‘alaihis salam, karena beliau adalah seorang yang ummiy (tidak bisa baca tulis). Maka tidak perlu dipertanyakan alasannya karena rasm ini sudah tersimpan sejak dahulu kala di Lauhul Mahfudz. Sama halnya dengan urutan ayat adalah perkara tauqifiyyah. Terkadang ayat nasikh (yang menggantikan) muncul lebih dulu daripada ayat mansukh (yang digantikan), dan tidak perlu kita pertanyakan.
2.    Rasm Utsmani yang ada sekarang ini merupakan Rasm Qiyasi pada masa Sahabat. Dan hal ini ditemukan pada tulisan-tulisan mereka selain al-Qur’an. Hingga akhirnya muncul Madzhab Nahwu Basrah dan Kufah. Barulah pada masa itu dirumuskan kaidah-kaidah penulisan untuk memudahkan pelajar, yang disebut dengan Rasm Qiyasi. Sehingga kita merasakan sedikit kesulitan memahami Rasm Utsmani dikarenakan kita sudah terbiasa dengan Rasm Qiyasi. Maka suatu hal yang tidak pantas ketika kita menghakimi Rasm Utsmani menggunakan Rasm Qiyasi, padahal Rasm Utsmani muncul lebih dahulu daripada Rasm Qiyasi.
3.    Pada masa Rasm Utsmani belum ada tanda baca, titik, tanda hamzah, tasydid, dan lainnya. Sehingga kata مِنْهُ itu sama tulisannya dengan مِئَةٌ ketika itu, maka dari itu diberi tanda alif setelah mim untuk membedakan menjadi مِائَةٌ. Atau contoh lain kata إِلَيْكَ itu sama tulisannya dengan أُلَئِكَ pada masa itu, maka dari itu diberi tanda wawu setelah hamzah untuk membedakan menjadi أُولئِكَ. Dan masih banyak lagi contoh lainnya, yang mana semua ini bertujuan untuk menghindari iltibas.
4.    Ada kemungkinan rasm tersebut tidak baku menurut satu dialek namun baku menurut dialek yang lain. Sebagai contoh penulisan ة bagi Bani Thoyyi’ lebih baku menggunakan ت maka dalam al-Qur’an juga ada yang semisal itu. Atau menghilangkan huruf ي pada kata يأتِ padahal tidak ada penjazm, dan ini ada pada dialek Bani Hadzil dan ada juga dalam al-Qur’an. Begitu contoh-contoh yang lainnya, ini semua merupakan bahasa yang fasih.
5.    Untuk mengetahui mukholafah mughtafaroh, yakni adanya kemungkinan bacaan lain yang diperbolehkan. Misalnya kata مالِكِ ditulis tanpa alif untuk menandakan boleh juga dibaca pendek. Atau kata كلمت ditulis tanpa alif untuk menandakan boleh dibaca panjang yang bermakna jamak, boleh juga dibaca pendek yang bermakna mufrod. Atau yang semisal itu.
6.    Atau untuk menandakan asal hurufnya misalnya kata الصلوة، الزكوة، الحيوة tidak menggunakan alif untuk menandakan bahwa asalnya adalah wawu.

Itu diantara sebab-sebab mengapa Rasm Utsmani berbeda dengan Rasm Qiyasi. Wallahu a’lam.

     Rujukan utama: Kitab Samiru ath-Tholibin fi Rasmi wa Dhobthi al-Kitabi al-Mubin


     Abu Kunaiza
     Riyadh, 9 Dzulhijjah 1439 H

Jumat, 17 Agustus 2018

Memahami Makna Maa Maushulah pada Surat al-Kafirun




Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “ما  dalam kaidah bahasa Arab ditujukan bagi sesuatu yang tidak berakal atau sifat bagi yang berakal.” (Majmu’ Fatawa: 16/562). ما  yang menunjukkan tidak berakal insya Allah antum sekalian sudah mengetahuinya. Adapun contoh untuk ما  yang menunjukkan sifat bagi yang berakal adalah pada ayat: فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ “Maka nikahilah wanita-wanita yang baik bagi kalian” (an-Nisa: 3).
Jika ada yang bertanya, mengapa isim maushul pada surat al-Kafirun menggunakan ما : لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ dan tidak menggunakan مَن: لَا أَعْبُدُ مَنْ تَعْبُدُونَ ? Ada yang berpendapat bahwa karena berhala itu tidak berakal. Maka jawaban ini tidak tepat, karena sesembahan mereka ada juga yang berasal dari malaikat, orang-orang sholeh, para nabi, jin, dan lain-lain. Meskipun ada juga sesembahan mereka yang tidak berakal, namun yang berakal semestinya mengalahkan yang tidak berakal sebagaimana firman Allah:
فَمِنْهُم مَّن يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُم مَّن يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُم مَّن يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ 
“diantaranya ada yang berjalan di atas perutnya, ada yang berjalan dengan dua kakinya, dan ada yang berjalan dengan empat kaki” (an-Nur: 45)
Kita lihat pada ayat diatas, semuanya menggunakan lafadz مَن, padahal tidak semua yang dimaksud adalah manusia (yang berakal). Sehingga semestinya yang berakal mengalahkan yang tidak berakal.
Maka makna ما  maushulah pada ayat لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ adalah mencakup semua jenis yang disembah, baik dia tidak berakal maupun sifat dari yang berakal. Sedangkan jika menggunakan مَن, akan menjadi lebih spesifik yaitu hanya untuk yang berakal.
Bukti yang menguatkan bahwa ما  itu menunjukkan makna jenis secara umum adalah ucapan Fir’aun: وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ (الشعراء: 23). Apakah Fir’aun hendak menanyakan hakikat Robb? Bukan, karena dia sudah mengetahuinya, sebagaimana Nabi Musa berkata: لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ (الإسراء: 102) "Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan ayat-ayat itu kecuali Robb Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti yang nyata”. Lantas mengapa Fir’aun bertanya menggunakan ما ? Karena jika dia menggunakan مَن akan menunjukkan bahwa dia mengetahui hakikat Robb yang sebenarnya. Sehingga dia menggunakan kata ما sebagai bentuk pengingkaran: “Apa pula dia ini? Apa itu yang kau namakan Robb semesta alam?”.
Setelah kita mengetahui apa makna ما yang sebenarnya, sekarang bisa kita ambil kesimpulan mengapa pada surat al-Kafirun menggunakan kata ما  dan bukan مَن:
Pertama, menunjukkan bahwa kita harus berlepas diri dari semua jenis ilah selain Allah, baik berakal maupun tidak. Sedangkan jika menggunakan مَن hanya terbatas pada yang berakal. Kedua, berlepas diri disini tidak hanya terbatas pada objek yang disembahnya namun juga dari pelaku syiriknya dan ritual penyembahannya, karena semuanya batil. Sedangkan jika menggunakan مَن hanya terbatas pada objek yang disembah. Ketiga, menunjukkan bahwa semua ibadah mereka adalah batil meskipun di sebagian waktu mereka menyembah Allah, karena ibadah mereka adalah ibadah yang majemuk. Sedangkan jika menggunakan مَن akan menunjukkan bahwa sebagian ibadah mereka salah, sebagian lagi benar. Keempat, ketika ibadah mereka majemuk maka mereka juga berlepas diri dari kaum muslimin. Sedangkan jika menggunakan مَن mereka akan mengklaim bahwa ketika menyembah Allah mereka juga muslim meskipun setelah itu berbuat syirik lagi. Kelima, menunjukkan bahwa semua yang mereka yakini tentang Dzat Allah adalah batil. Sedangkan jika menggunakan مَن maka kita membenarkan anggapan mereka bahwa Nabi Isa itu Allah, patung itu Allah, dan seterusnya. Keenam, menunjukkan bahwa semua yang mereka yakini tentang Sifat Allah adalah batil. Seperti Allah memiliki anak, Allah ada dimana-mana, dan seterusnya. Jika menggunakan مَن makna ini tidak akan tercapai. Wallahu a’lam.

Disari dari Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 16




Abu Kunaiza
Riyadh, 5 Dzulhijjah 1439 H


Mengetahui Makna Fi’il pada Surat al-Kafirun




          Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Fi’il Mudhori’ dalam kaidah bahasa Arab menunjukkan waktu yang kontinyu selain waktu lampau. Dengan kata lain ia mencakup waktu sekarang dan mendatang.” (Majmu’ Fatawa: 16/551). Misalnya dalam surat al-Kafirun ada kata لَاأَعبُدُ dan ماتَعبُدُونَ, keduanya menggunakan fi’il mudhori’ yang bermakna menafikan ibadah kepada sesembahan mereka yang sekarang dan mendatang.
          Berbeda dengan ayat setelahnya yang menggunakan syibhul fi’li وَلا أنا عابِدٌ dan menggunakan fi’il madhi ماعَبَدتُّم. Maka ini bermakna menafikan ibadah kepada sesembahan mereka yang telah lalu. Sehingga jika 2 kalimat ini digabungkan, sudah mencakup penafian di semua waktu: dulu, sekarang, dan mendatang.
          Kemudian kalau kita perhatikan pada ayat yang kedua ini وَلا أنا عابِدٌ menggunakan syibhul fi’li (isim fa’il), tidak menggunakan fi’il sebagaimana ayat sebelumnya لَاأَعبُدُ. Sepintas tampak sama namun ada perbedaan makna. Huruf لا yang masuk pada jumlah ismiyyah diatas adalah لا التَّبْرِئَةُ المُهْمَلَة (nama lain dari laa nafiyyah lil jinsi yang tidak beramal). Huruf ini tidak beramal karena isimnya bukan isim nakiroh. Jenis لا ini berbeda dengan laa nafiyyah yang masuk kepada fi’il, karena ia memiliki makna tambahan yaitu tabri’ah (berlepas diri, membersihkan), sehingga makna nafi-nya lebih kuat.
          Contoh sederhananya sebagaimana kalimat: لا أفعلُ كذا artinya “aku tidak melakukan hal itu”, sedangkan لا أنا فاعلٌ كذا artinya “aku membersihkan diriku dari melakukan hal itu, artinya berlepas diri secara total”. Syaikhul Islam memperjelas lagi bahwa model kalimat yang pertama yang menggunakan fi’il, boleh jadi dia meninggalkan perbuatan itu tanpa disertai benci namun karena ada sebab lain. Sedangkan model kalimat kedua yang menggunakan isim, bermakna dia harus mencegah dirinya dari perbuatan itu dengan kebencian, inilah yang dimaksud dengan baro’ah.
Hal ini sejalan dengan firman Allah di ayat yang lain:
أَنتُم بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ
Kalian berlepas diri dari apa yang aku kerjakan dan aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan” (Yunus: 41)
          Begitu juga sebaliknya, dari pihak orang kafir pun menggunakan لا التبرئة yakni ولا أنتم عابِدُونَ “bahwasanya kalian juga berlepas diri dari ibadah apa yang kaum muslimin sembah”. Ini menunjukkan bahwa jiwa mereka itu kotor dan tidak layak menyembah Ilaah-nya Nabi Muhammad -shalallahu ‘alaihi wa sallam-.
          Uniknya, ketika disandarkan kepada kaum kafir, objek yang disembahnya menggunakan fi’il mudhori:  ولا أنتم عابِدُونَ ماأعبُدُ tidak seperti ayat sebelumnya yang menggunakan fi’il madhi: ولا أنا عابِدٌ ماعَبَدتُّم. Apa sebabnya? Jawabnya adalah sekiranya menggunakan kalimat ولا أنتم عابِدُونَ ماعَبَدتُّ maka mereka akan menyangkal dengan mengatakan: “Siapa bilang? Kami juga menyembah apa yang kalian sembah ketika kalian masih jahiliyyah dahulu.” Maka lebih sesuai menggunakan fi’il mudhori, yang maknanya kalian berlepas diri dari apa yang aku sembah sekarang ini.
          Maka itulah alasannya mengapa ayat وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ diulang 2 kali dan keduanya menggunakan fi’il mudhori. Yakni وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ yang pertama untuk dipasangkan dengan ayat لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ yaitu menafikan ibadah apa yang disembah orang kafir sekarang dan yang akan datang. Sedangkan yang kedua untuk menafikan ibadah apa yang disembah orang kafir dahulu kala. Keduanya menggunakan fi’il mudhori مَا أَعْبُدُ karena kenyataannya para sahabat juga sebelum masuk Islam juga menyembah apa yang orang kafir sembah. Wallahu a’lam.

Disari dari Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 16



Abu Kunaiza
Riyadh, 5 Dzulhijjah 1439 H

Rabu, 15 Agustus 2018

Tasyabbuh Membuat Pelakunya Keluar dari Asalnya




          Ikhwati fillah, ketahuilah bahwasanya tasyabbuh (penyerupaan) akan membuat pelakunya keluar dari asalnya. Sebagaimana seorang lelaki yang menyerupai wanita dalam hal berpakaian atau berhias maka secara psikologis akan   mengeluarkan dia dari sifat kelelakiannya tanpa disadari. Begitu juga seorang muslim yang menyerupai orang kafir akan mengeluarkan dia dari fitrahnya (islam) secara perlahan. Hal semacam ini juga terjadi pada kaidah nahwu.
          Kita lihat 3 unsur kata (isim, fi’il, dan harf) akan keluar dari prinsip asalnya ketika menyerupai satu sama lain. Perhatikan penjelasan berikut dan pegang erat kaidah ini, kelak antum akan membutuhkannya.

     1.     Isim menyerupai fi’il
Pada asalnya isim adalah munshorif, yakni bisa dimasuki tanwin dan bisa dimasuki tanda jarr. Namun ketika isim itu mirip dengan fi’il, maka menyebabkan ia ghoiru munshorif sebagaimana fi’il juga tidak bisa dimasuki tanwin dan tidak majrur. Misalnya نظرت إلى أحمدَ. Sisi kemiripan antara isim ghoiru munshorif dan fi’il adalah: fi’il harus memiliki 2 unsur agar bisa dikatakan fi’il sempurna yaitu hadats (makna pekerjaan) dan zaman (waktu), begitu juga isim agar bisa menjadi ghoiru munshorif harus memiliki 2 ‘illat (sebab) yaitu ‘illat makna dan ‘illat lafadz.

     2.    Isim menyerupai harf
Pada asalnya isim adalah mu’rob, yakni bisa dimasuki tanda rofa’, nashob, dan jarr. Namun ketika isim itu mirip dengan harf, maka menyebabkan ia mabni sebagaimana semua harf juga mabni. Misalnya مَنْ هُوَ؟. Sisi kemiripan isim mabni dan harf diantaranya karena lafadz dan makna. Dari segi lafadz, ada isim yang terdiri dari 1-2 huruf sebagaimana harf seperti هو, padahal asalnya isim adalah 3-4 huruf. Dari segi makna, ada isim yang maknanya mirip harf seperti مَن yaitu mirip hamzah istifham.

     3.    Fi’il menyerupai isim
Pada asalnya fi’il adalah mabni. Namun ketika fi’il itu mirip dengan isim, maka menyebabkan ia mu’rob sebagaimana isim juga mu’rob. Yang dimaksud fi’il mu’rob disini adalah fi’il mudhori’. Misalnya لَنْ أذهبَ. Sisi kemiripan fi’il mudhori’ dengan isim diantaranya dari lafadz dan amalannya. Dari segi lafadz, harokatnya sama dengan isim fa’il-nya seperti مُسْلِمُوْنَ – يُسْلِمُُوْنَ. Dari segi amalannya, sama-sama merofa’kan fa’il dan menashobkan maf’ul bih.

     4.    Fi’il menyerupai harf
Pada asalnya fi’il adalah mutashorrif, yakni bisa di-tashrif berdasarkan perubahan waktunya. Namun ketika fi’il itu mirip dengan harf, maka menyebabkan ia jamid (tidak bisa ditashrif) sebagaimana harf juga tetap pada setiap waktunya. Misalnya fi’il لَيْسَ dan عَسَى tidak memiliki bentuk mudhori’ dan amr. Sisi kemiripan fi’il jamid dengan harf adalah dari segi makna, لَيْسَ sama seperti ما bermakna nafi, dan عَسَى sama seperti لعلّ bermakna taroji (harapan).

     5.    Harf menyerupai fi’il
Pada asalnya harf beramal dengan lemah, yakni hanya bisa beramal pada 1 ma’mul. Namun ketika harf itu mirip dengan fi’il, maka menyebabkan ia beramal lebih kuat sebagaimana fi’il bisa beramal pada 2 ma’mul. Yang dimaksud harf disini adalah inna wa akhowatuha. Misalnya إنَّ زيدًا قائمٌ. Sisi kemiripan inna wa akhowatuha dengan fi’il adalah dari segi lafadznya, yaitu sama-sama terdiri dari 3 huruf dan diakhiri dengan fathah sebagaimana fi’il madhi. Begitu juga dari segi maknanya, yaitu إنّ bermakna أتأكّدُ.

     6.    Harf menyerupai isim
Pada asalnya harf tidaklah bermakna kecuali bersama-sama dengan ma’mulnya. Namun ketika harf itu mirip dengan isim, maka menyebabkan ia bermakna isim. Misalnya harf khithob pada ذلكم، أولئكَ، إياكما atau dhomir fashl pada زيدٌ هو القائمُ. Huruf-huruf tersebut bermakna dhomir dan taukid layaknya isim dikarenakan lafadznya yang sama seperti isim dhomir.

          Itulah bentuk-bentuk kemiripan kata satu sama lain yang menyebabkan ia keluar dari prinsip asalnya. Pahami dan hafalkan maka insya Allah akan bermanfaat.

Abu Kunaiza
Riyadh, 3 Dzulhijjah 1439 H