Jumat, 20 April 2018

Tamu itu Bernama Romadhon



Banyak diantara kita yang mendambakan kedatangan tamu agung, bulan suci Romadhon, namun tak banyak yang mengetahui asal-usul penamaannya. Maka dari itu kali ini kami hendak memperkenalkannya kepada antum sekalian.
Romadhon (رمضان) merupakan isim ‘alam dari kata الرَّمَضُ yang bermakna batu atau pasir yang panas karena terkena sinar matahari. Ketika ia berbentuk fi’il (رَمِضَ) maka maknanya menjadi terkena panas atau kepanasan, sebagaimana Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
 صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتِ الْفِصَالُ
“Shalat dhuha itu ketika anak-anak unta mulai kepanasan” (H.R. Muslim: 748)
          Maka bulan ke 9 dinamakan bulan Romadhon karena bulan tersebut adalah puncaknya musim panas, terlebih lagi ada ibadah yang mulia yang mampu membakar dosa-dosa kita, yakni shaum.
          Dahulunya pada masa jahiliyyah, bulan ini dikenal dengan nama bulan Natiq (نَاتِق) “yang merobek”, karena pada bulan tersebut orang Arab biasa menyiapkan persenjataan mereka untuk peperangan pada bulan Syawwal sebelum bulan-bulan haram tiba. Hal ini sebagaimana dilantunkan oleh Ibnu Sayyidah:
وفي ناتِقٍ أجْلَتْ لدى حَومَةِ الوَغى            وولَّتْ على الأدبارِ فُرسانُ خَثعَما
“Di penghujung bulan Natiq, pasukan berkuda melepaskan singa-singa mereka ke medan peperangan”
Kemudian namanya diganti menjadi bulan Romadhon seiring dengan Firman Allah Ta’ala:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“Bulan Romadhon, bulan yang padanya diturunkan Al Quran” (al-Baqoroh: 185).
          Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ketika mengucapkan kata “Romadhon” wajib di-idhofah-kan kepada kata “Syahru” berdasarkan ayat diatas dan Hadits yang dibawakan oleh Abu Hurairah berikut:
لا تقولوا رمضان، فإن رمضان اسم من أسماء الله، ولكن قولوا: شهر رمضان
“Jangan kalian katakan “Romadhon”, karena Romadhon adalah salah satu nama Allah, namun katakanlah: “Syahru Romadhon”.”
Meskipun demikian, al-Bukhori mengatakan di kitab Mizanul I’tidal bahwa hadits ini mungkar karena adanya nama Abu Ma’syar Najihul Madani dalam sanadnya. Ibnul Jauzi juga mengatakan dalam kitab al-Maudhu’at bahwa hadits ini palsu tidak ada asal-usulnya. Begitu juga Ibnu Hajar melemahkan hadits ini dalam kitab al-Fath. Hal ini juga sejalan dengan lafadz-lafadz yang digunakan Rasulullah di dalam haditsnya, seperti: "مَن صام رمضان" (al-Bukhori: 1901, Muslim: 760) atau "إذا دخل رمضان" (al-Bukhori: 3103, Muslim: 1079) disebutkan tanpa kata “syahru”.
          Lantas mengapa al-Qur’an menggunakan lafadz “syahru” sedangkan dalam Hadits tidak? Apakah ada perbedaan makna antara keduanya?
Benar, bahwasanya ada perbedaan antara dua ungkapan tersebut:
Pertama, yang dipahami dari perkataan Sibawaih bahwa ketika Romadhon di-idhofah-kan kepada “syahru” maka fungsinya sama seperti dzhorof-dzhorof yang lain, yakni ada taqdir huruf في di depannya. Ketika ia bermakna dzhorof, maka seyogyanya ia merupakan jawaban dari pertanyaan “kapan?”.
Sedangkan ketika ia tidak diikuti dengan kata “syahru”, maka seyogyanya ia tidak hendak mengabarkan keterangan waktu namun hendak mengabarkan bilangannya, entah ia sebagai maf’ul bih seperti "مَن صام رمضان" atau sebagai fa’il seperti "إذا دخل رمضان". Sehingga taqdirnya adalah مَن صام الثلاثين يوما dan إذا دخل الثلاثون يوما yakni hakekatnya jawaban dari pertanyaan “berapa?”.
Jika kita perhatikan pada surat al-Baqoroh: 185, kata Romadhon disana tidak hendak mengabarkan bilangannya 30 hari, karena al-Qur’an tidak turun setiap hari pada bulan tersebut, melainkan hanya pada salah satu harinya saja, maka dari itu ditambahkan kata “syahru” sebelumnya.
Kedua, jika ayat tersebut berbunyi رَمَضَانُ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ (tanpa kata “syahru”) maka pengagungannya hanya terbatas pada Romadhon dimana al-Qur’an diturunkan saja. Sedangkan jika ditambahkan kata “syahru”, pengagungannya berlaku pada semua bulan Romadhon setiap tahunnya, ini pendapat yang dibawakan Ibnu Qoyyim.

Itu sekilas mengenai asal-usul Romadhon yang bisa kami sampaikan, Wallahu Alam.

Abu Kunaiza
Riyadh

Referensi:
-      Lisanul ‘Arob
-      Badai’ul Fawaidh
-      Al-Mawahib al-Laduniyyah
-      An-Nukat wal ‘Uyun
-      Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an

-      Kitab Sibawaih

Jumat, 13 April 2018

Nahwu dan Ushul Fikih




Jika berbicara tentang ushul fikih dan nahwu, saya jadi teringat orang tercerdas di muka bumi pada masanya, yaitu Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Beliau perumus ilmu ushul fikih pertama melalui kitabnya yang fenomenal yaitu ar-Risalah. Sampai-sampai Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Dahulu fikih itu terkunci pada ahlinya saja, hingga Allah bukakan melalui asy-Syafi’i.”

Tidak hanya di bidang ushul fikih, beliau juga imam di kalangan ulama bahasa. Diantara pujian ulama terhadapnya dalam masalah bahasa adalah perkataan al-Mazini: “Asy-Syafi’i adalah hujjah bagi kami dalam nahwu”. Az-Za’faroni berkata: “Tidak pernah aku melihatnya salah dalam berbahasa, sama sekali!”. Padahal masa istisyhad (masa dimana ucapan seseorang bisa dijadikan hujjah dalam kaidah nahwu) berakhir pada tahun 150 H menurut kesepakatan ulama. Kecuali imam asy-Syafi’i, meskipun beliau lahir pada tahun 150 H, ulama tetap mengambil ucapannya sebagai hujjah dalam ilmu bahasa. Maka tidak heran jika beliau dijuluki Syaikhul Islam pertama sebelum Ibnu Taimiyyah.

Hanya saja, apakah ushul nahwu juga terlahir di masanya? Tentu tidak. Ushul nahwu sudah ada sejak masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Khalifah mencetuskan untuk penyusunan ilmu nahwu melalui tangan seorang Tabi’in yang bernama Abul Aswad ad-Duali, inilah pendapat yang paling shahih. Sebetulnya Abul Aswad sudah masuk islam semenjak Rasulullah masih hidup, hanya saja belum sempat bertemu beliau. Kecintaan Abul Aswad kepada Ali begitu besar hingga memasukkannya kepada manhaj Syiah mutaqoddimin (hanya sebatas mengutamakan Ali daripada Utsman, tanpa mencela para sahabat, tidak seperti Syiah rofidhoh).

Maka dari sini kita tahu bahwa nahwu sebagai disiplin ilmu lahir lebih dulu dari ushul fikih sebagai disiplin ilmu.

Abu Kunaiza
Riyadh

Referensi:
Adabusy Syafi’i
Tahdzibut Tahdzib
Tahdzibul Asma wal Lughot
Nasy’atun Nahwi