Jumat, 13 April 2018

Nahwu dan Ushul Fikih




Jika berbicara tentang ushul fikih dan nahwu, saya jadi teringat orang tercerdas di muka bumi pada masanya, yaitu Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Beliau perumus ilmu ushul fikih pertama melalui kitabnya yang fenomenal yaitu ar-Risalah. Sampai-sampai Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Dahulu fikih itu terkunci pada ahlinya saja, hingga Allah bukakan melalui asy-Syafi’i.”

Tidak hanya di bidang ushul fikih, beliau juga imam di kalangan ulama bahasa. Diantara pujian ulama terhadapnya dalam masalah bahasa adalah perkataan al-Mazini: “Asy-Syafi’i adalah hujjah bagi kami dalam nahwu”. Az-Za’faroni berkata: “Tidak pernah aku melihatnya salah dalam berbahasa, sama sekali!”. Padahal masa istisyhad (masa dimana ucapan seseorang bisa dijadikan hujjah dalam kaidah nahwu) berakhir pada tahun 150 H menurut kesepakatan ulama. Kecuali imam asy-Syafi’i, meskipun beliau lahir pada tahun 150 H, ulama tetap mengambil ucapannya sebagai hujjah dalam ilmu bahasa. Maka tidak heran jika beliau dijuluki Syaikhul Islam pertama sebelum Ibnu Taimiyyah.

Hanya saja, apakah ushul nahwu juga terlahir di masanya? Tentu tidak. Ushul nahwu sudah ada sejak masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Khalifah mencetuskan untuk penyusunan ilmu nahwu melalui tangan seorang Tabi’in yang bernama Abul Aswad ad-Duali, inilah pendapat yang paling shahih. Sebetulnya Abul Aswad sudah masuk islam semenjak Rasulullah masih hidup, hanya saja belum sempat bertemu beliau. Kecintaan Abul Aswad kepada Ali begitu besar hingga memasukkannya kepada manhaj Syiah mutaqoddimin (hanya sebatas mengutamakan Ali daripada Utsman, tanpa mencela para sahabat, tidak seperti Syiah rofidhoh).

Maka dari sini kita tahu bahwa nahwu sebagai disiplin ilmu lahir lebih dulu dari ushul fikih sebagai disiplin ilmu.

Abu Kunaiza
Riyadh

Referensi:
Adabusy Syafi’i
Tahdzibut Tahdzib
Tahdzibul Asma wal Lughot
Nasy’atun Nahwi


0 komentar:

Posting Komentar