Jika berbicara
tentang ushul fikih dan nahwu, saya jadi teringat orang tercerdas di muka bumi
pada masanya, yaitu Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Beliau perumus ilmu ushul
fikih pertama melalui kitabnya yang fenomenal yaitu ar-Risalah. Sampai-sampai
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Dahulu fikih itu terkunci pada ahlinya saja,
hingga Allah bukakan melalui asy-Syafi’i.”
Tidak
hanya di bidang ushul fikih, beliau juga imam di kalangan ulama bahasa. Diantara
pujian ulama terhadapnya dalam masalah bahasa adalah perkataan al-Mazini: “Asy-Syafi’i
adalah hujjah bagi kami dalam nahwu”. Az-Za’faroni berkata: “Tidak pernah aku
melihatnya salah dalam berbahasa, sama sekali!”. Padahal masa istisyhad (masa
dimana ucapan seseorang bisa dijadikan hujjah dalam kaidah nahwu) berakhir pada
tahun 150 H menurut kesepakatan ulama. Kecuali imam asy-Syafi’i, meskipun
beliau lahir pada tahun 150 H, ulama tetap mengambil ucapannya sebagai hujjah
dalam ilmu bahasa. Maka tidak heran jika beliau dijuluki Syaikhul Islam pertama
sebelum Ibnu Taimiyyah.
Hanya saja,
apakah ushul nahwu juga terlahir di masanya? Tentu tidak. Ushul nahwu sudah ada
sejak masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Khalifah mencetuskan untuk penyusunan
ilmu nahwu melalui tangan seorang Tabi’in yang bernama Abul Aswad ad-Duali, inilah
pendapat yang paling shahih. Sebetulnya Abul Aswad sudah masuk islam semenjak
Rasulullah masih hidup, hanya saja belum sempat bertemu beliau. Kecintaan Abul
Aswad kepada Ali begitu besar hingga memasukkannya kepada manhaj Syiah
mutaqoddimin (hanya sebatas mengutamakan Ali daripada Utsman, tanpa mencela
para sahabat, tidak seperti Syiah rofidhoh).
Maka dari
sini kita tahu bahwa nahwu sebagai disiplin ilmu lahir lebih dulu dari ushul
fikih sebagai disiplin ilmu.
Abu
Kunaiza
Riyadh
Referensi:
Adabusy
Syafi’i
Tahdzibut
Tahdzib
Tahdzibul
Asma wal Lughot
Nasy’atun
Nahwi
0 komentar:
Posting Komentar