Pada pembahasan isim ghairu munsharif yang pertama yaitu shighah
muntahal jumu’, telah kita singgung bahwa tidaklah suatu isim terhalang dari
tanwin melainkan karena terkumpulnya minimal 2 far’i (cabang) di sana atau 1
far’i yang bertingkat sehingga setara dengan 2 far’i. Sekarang kita akan
membahas isim ghairu munsharif yang lain yaitu ‘adl (العَدْلُ) yang mana dia merupakan far’i dari ma’dul
(asal kata) sebagaimana yang dikatakan oleh az-Zajjaj: “bahwasanya ‘adl juga
termasuk far’i, karena ‘adl adalah peralihan dari bentuk asalnya”.[1] Itulah menyebabkan ‘adl juga tidak bisa dimasuki tanwin.
Namun sangat disayangkan sekarang ini tidak banyak disinggung
pembahasan tentang ‘adl ini di kitab-kitab lughah. Mereka beranggapan bahwa ‘adl
hanyalah sekedar sama’i sehingga tidak ada gunanya dikaji lebih dalam. Padahal
dahulu para nuhat menaruh perhatian yang cukup besar pada pembahasan ini.
Semoga dengan tulisan ini, kaidah ‘adl tidak lagi dipandang sebelah mata.
‘Adl (العَدْلُ)
A.
Definisi
Kata العَدْلُ merupakan mashdar
dari fi’il عَدَلَ – يَعْدِلُ yang mana secara
bahasa memiliki beberapa makna, diantaranya:
فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا (الحجرات:9)
“damaikanlah keduanya dengan adil dan berlakulah adil"
Dan diantara
nama Allah adalah العَدْلُ, yaitu
Dzat yang tidak pernah berbuat dzolim. Sehingga العَدْلُ disini
merupakan mashdar yang bermakna isim fa’il. Menggunakan lafadz mashdar
menunjukkan mubalaghah sampai-sampai Allah menamai Diri-Nya dengan keadilan.[3]
اللهم لا عدْلَ لك (ya Allah tidak
ada yang serupa dengan-Mu). Begitu pula makna firman Allah berikut ini:
ثُمَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ (الأنعام: 1)
“kemudian
orang-orang kafir menyerupakan Rabb mereka”
3.
الفدية : tebusan, disebut
العَدْلُ karena tebusan
biasanya semisal dengan yang ditebus.[5] Hal ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala:
وَلَا
يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ (البقرة: 123)
“tidak akan diterima
tebusan darinya”
الَّذِي خَلَقَكَ
فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ (الانفطار: 7)
“Yang telah
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan
tubuh)mu seimbang”
5. Samirah dalam tesisnya yang berjudul العدل في
النحو العربي menambahkan bahwa jika عَدَلَ muta’addi
dengan في maka maknanya “adil” seperti: عَدَلَ
في الحكم (adil
dalam hukum), jika dia muta’addi dengan عن maka
maknanya “menyimpang” seperti: عَدَلَ
عن الطريق (menyimpang dari jalan), jika dia muta’addi dengan
إلى maka
maknanya “kembali” seperti: عَدَلَ إلى الطريق (kembali ke jalan), jika dia muta’addi dengan بِـ maka
maknanya “menyamakan/menyekutukan” seperti: عَدَلَ
بِربّه (menyekutukan Tuhannya), dan jika dia muta’addi
dengan sendirinya maka maknanya “seimbang” sebagaimana firman Allah di atas: فَعَدَلَكَ (membuatmu seimbang).
Adapun menurut istilah, para ulama mendefinisikan ‘adl dengan
variatif namun semuanya berkutat pada masalah perubahan lafadz tanpa mengubah
makna. Diantara definisi yang terperinci adalah definisi yang dibawakan oleh
ar-Rodhi dalam kitabnya Syarhul Kafiyah[7]: “adl adalah mengeluarkan isim dari bentuk asalnya tanpa
qolb,[8] bukan takhfif,[9] bukan ilhaq,[10] dan tidak menambah makna. Yang dimaksud dengan tanpa qolb
adalah tidak termasuk أيِسَ pada يَئِسَ.[11] Yang dimaksud dengan bukan takhfif adalah tidak termasuk مقام,[12] مقول,[13] فخْذ, dan عنْق.[14]
Yang dimaksud dengan bukan ilhaq adalah tidak termasuk كوثر.[15] Yang
dimaksud dengan tidak menambah makna adalah tidak
termasuk رُجَيل [16] dan
رِجال.[17]”
Rizki Gumilar
di Kampung Santri
[1] Ma yanshorif
wa ma la yanshorif: 5
[2] Kitabul ‘ain:
3/111
[3] Lisanul ‘arab:
11/430
[4] Mu’jam
maqoyisil lughah: 4/247
[5] Al-Kasysyaf:
332
[6] Ash-Shihah:
5/1761
[7] Syarhul
kafiyah: 1/99
[8] Qolb
dalam ilmu shorof adalah menukar salah satu huruf ‘illah dengan huruf ‘illah
lainnya. Dari sini kita mengetahui bahwa qolb merupakan bagian dari i’lal, sedangkan
i’lal belum tentu qolb. Karena i’lal bisa dengan qolb, naql, hadzf, atau taskin
(Mausu’ah ‘ulumil lughah: 7/304)
[9] Takhfif
dalam ilmu bahasa adalah menghilangkan tsiqol (hal yang memberatkan) dalam
suatu kata atau tarkib tertentu. Bisa dengan cara menghilangkan harakat,
mengganti huruf ‘illah, menggeser harakat, menghilangkan huruf, atau
menghilangkan kata (Mausu’ah ‘ulumil lughah: 4/283)
[10] Ilhaq
dalam ilmu shorof adalah penambahan 1 atau 2 huruf dari huruf aslinya, ini bisa
terjadi pada isim atau fi’il untuk kepentingan syair, sajak, atau perluasan
wazan (Syarhusy syafiyah: 1/52). Ibnu Jinni mengatakan bahwa ilhaq ini adalah
hal yang lumrah di kalangan orang Arab (al-Khashaish: 1/432)
[11]
أيِسَ
merupakan
bentuk qolb dari يَئِسَ menurut
Ibnu Sayyidah, sehingga wazannya menjadi عَفِلَ. Jauhari menambahkan bahwa mashdar keduanya adalah يَأسًا. Dari sini kita mengetahui bahwa untuk mengetahui mana fi’il
yang maqlub dan fi’il yang asli dengan melihat mashdarnya, karena mashdar
adalah asal kata (Lisanul ‘arab: 6/19)
[12] Setiap wazan
مَفْعَلٌ maka diperlakukan sebagaimana fi’il mudhari’ يَفْعَلُ karena
kemiripannya dari segi jumlah huruf, susunan harakat, dan sama-sama diawali
huruf tambahan. Layaknya يَخَافُ yang
asalnya adalah يَخْوَفُ kemudian
ditukar harakat kho dengan wawu untuk memudahkan dan wawu diganti dengan huruf
alif karena sebelumnya berharakat fathah. Maka begitu pula dengan مَقَامٌ
yang
asalnya مَقْوَمٌ (Syarhul kitab: 5/249-250)
[13] Asalnya adalah
مَقْوُوْلٌ dengan wazan
مَفْعُوْلٌ kemudian mengalami takhfif dengan cara menukar harakat qof dengan
wawu karena wawu berharakat dhommah tidaklah disukai dan dihilangkan salah satu
wawunya karena bertemunya 2 sukun (Syarhul mufashshol: 10/133). Pertanyaannya
wawu yang mana yang dihilangkan? Pendapat yang kuat adalah pendapat Sibawaih
bahwa wawu yang hilang adalah wawu kedua karena dia huruf tambahan.
Menghilangkan tambahan lebih utama daripada menghilangkan inti. Dalilnya adalah
pada isim maf’ul مَبِيْعٌ yang dihilangkan adalah huruf tambahannya, seandainya yang hilang
adalah huruf inti (‘ainul fi’il) maka bunyinya menjadi مَبُوْعٌ (al-Kitab: 4/348)
[14] Asalnya adalah
فَخِذٌ dan
عُنُقٌ kemudian
ditakhfif dengan cara mensukunkan kasrah dan dhommah pada ‘ain fi’il. Hal ini
tidak berlaku pada fathah karena dia lebih ringan dari sukun. Maka tidak boleh
kita mengatakan جَمْلٌ (al-Kitab: 4/188). Hal ini juga berlaku pada isim munsharif
yang diwaqofkan. Itu sebabnya isim munsharif yang manshub selalu diakhiri alif
untuk menjaga supaya tidak disukunkan. Al-Mubarrad mengatakan: “siapapun yang
mengucapkan: رأيتُ زَيدْ tanpa
alif, maka dia wajib mengucapkan kata جَمَلٌ dengan جَمْلٌ !!!” (Syarhul mufashshol: 9/134). Perkataan tersebut sejalan
dengan pernyataan Ibnu Jinni bahwasanya fathah tidak pernah disukunkan karena
sifatnya yang ringan (al-Muhtasib: 1/86)
[15] Merupakan isim
tsulatsy mazid bi harfin dengan wazan فَوْعَلٌ (Mu’jamul auzan
ash-shorfiyyah: 225). Berasal dari kata كَثرَة
dengan
menambahkan wawu di tengah menjadi كَوْثَر
yang
maknanya kebaikan yang banyak (Lisanul ‘arab: 5/133). Dan kata كَوْثَر
ini
mengikuti (mulhaq) kata جعفر (an-Nahwul wafi: 4/222)
[16] ini merupakan
bentuk tashghir dari kata رَجُلٌ. Tashghir adalah penambahan huruf untuk menunjukkan makna
sedikit atau
kecil (Syarhusy syafiyah: 1/189)
Jazakallahu khayron
BalasHapus