فإِنْ
تَوَالَى ضميران اكتسى بهما
|
وجهَ
الحقيقةِ من إشكاله غَمَما
|
Jika
ada 2 dhamir yang berurutan (setelah idza fujaiyyah) digunakan
sebagai
fakta yang sebenarnya[1]
untuk suatu perkara yang samar
|
|
لذلك
أَعْيَتْ على الأفهامِ مسألةٌ
|
أَهدَتْ
إلى سيبويهِ الحَتْفَ والغُمَما
|
Maka
permasalahan tersebut akan cukup melelahkan untuk dipahami,[2]
hingga
berimbas pada kematian[3]
dan kesedihan bagi Sibawaih
|
|
قد
كانت العَقْربُ العَوْجاءُ أَحسِبُها
|
قِدْماً
أشَدَّ من الزُّنبورِ وَقْع َحُما
|
Semula
aku kira kalajengking liar,
lebih
dahsyat sengatannya dari tawon hingga mampu menyebabkan demam
|
|
وفي
الجواب عليها هل إذا هو هي
|
أو
هل إذا هو إيّاها قدِ اخْتَصَما
|
Apakah
jawaban atas pernyataan itu “idza huwa hiya”
ataukah
“idza huwa iyyaahaa”? mereka berdua berselisih[4]
|
|
وخطَّأَ
ابنُ زيادٍ وابنُ حمزةَ في
|
ما
قال فيها أبا بِشرٍ وقد ظَلَما
|
atas
jawaban Abu Bisyr (Sibawaih),[7]
sungguh keduanya telah berbuat dzalim
Coffee Break dulu ya...
Rizki Gumilar
di Kampung Santri
|
[1] Dalam
permasalahan zunburiyyah yang akan dibahas nanti, al-Kisa’i membawakan contoh 2
dhamir yang berturut-turut setelah idza, kemudian dijadikan kebenaran yang
mutlak dengan menashabkannya. Padahal ini adalah perkara khilaf, bahkan para
pembesar Nahwu memberatkan kepada rafa’ nya karena nashab dianggap syadz
(menyelisihi qiyas). Namun sangat disayangkan para hadirin sepakat dengan
pendapat al-Kisa’i. Hal tersebut tergambar dalam bait berikut:
وسيبويه
وكذا الأجلّةُ للنَّزرِ
والشذوذِ لم يلتفتوا
مسألةٌ
عمرًا رمتْ بالحتْفِ في غُربَةٍ من
أجلِ حقٍّ أُخفِي
Sibawaih
begitu pula para pembesar nahwu tidak menganggap (pendapat yang menashabkan)
karena kasusnya jarang dan menyelisihi qiyas
Suatu
masalah yang menyebabkan malapetaka bagi Amr (Sibawaih), dalam keterasingan
disebabkan kebenaran yang disembunyikan (Fathu al-qariib al-mujiib: 1/163)
[2] Permasalahan
ini dikenal dengan masalah zunburiyyah. Kisah ini banyak disebutkan di
kitab-kitab nahwu atau sirah. Berawal dari kunjungan Sibawaih ke Baghdad
menemui Yahya bin Khalid al-Barmaky, salah satu menteri Khalifah Harun
ar-Rasyid, dengan mengharap kemurahan hati dari sang Menteri. Sebagaimana kita
ketahui bahwa Sibawaih tinggal di Bashrah. Setibanya di sana, Yahya berniat
mempertemukan Sibawaih dengan Kisa’i yang juga merupakan Imam Nahwu di Kufah
untuk beradu argumen. Hingga pada hari yang telah ditentukan, Sibawaih pun
hadir dan disusul oleh Kisa’i. Mereka berkumpul di suatu tempat yang dipenuhi
dengan penonton, turut hadir Yahya bersama putranya, Ja’far. (Majalis
al-‘ulama: 9-10, Inbaah ar-ruwaah: 2/358-359, Bughyatu al-wu’ah: 2/230, Fathu al-qariib
al-mujiib: 1/164-165, Nasy’atu an-nahwi: 52-53, an-Nahwu wa an-nuhah: 322-324)
[3] الحتف meninggal
di atas kasurnya bukan karena pembunuhan, pemukulan, tenggelam, atau terbakar,
ruhnya keluar
dari hidung begitu saja (al-Qamus al-muhith: 798)
[4] al-Kisa’i
mengawali pembicaraan: “kau yang bertanya kepadaku atau aku yang bertanya kepadamu?”
Sibawaih
menjawab: “tanyalah”
Al-Kisa’i
bertanya:
هل يقال: "كنتُ أظنّ أنّ
العَقرَبَ أشدّ لَسعَةً من الزُّنبور فإذا هو هي"، أو يقال مع ذلك:
"فإذا هو إياها"؟
Jawaban mana
yang tepat: “dahulu aku mengira bahwa kalajengking lebih kuat sengatannya
daripada tawon, ternyata tawon juga seperti itu” dengan rafa’ atau dengan
nashab?
Sibawaih
menjawab: “فإذا هو هي tidak boleh nashab”
Al-Kisa’i menjawab:
“kau keliru”, kemudian dia bertanya lagi dengan pertanyaan yang semisal:
خرجتُ فإذا عبدُ الله القائمُ أو
القائمَ؟
“aku keluar
tiba-tiba Abdullah berdiri (dengan rafa’ atau dengan nashab)?”
Sibawaih
menjawab: “semuanya dengan rafa’”
Al-Kisa’i
berkata: “orang Arab merafa’kan isim setelah idza dan menashabkan yang kedua”
Akhirnya
tersulutlah perdebatan yang panjang antara mereka. (Majalis al-‘ulama: 9-10, Inbaah
ar-ruwaah: 2/358-359, Bughyatu al-wu’ah: 2/230, Fathu al-qariib al-mujiib:
1/164-165, Nasy’atu an-nahwi: 52-53, an-Nahwu wa an-nuhah: 322-324)
[5] Dialah Yahya
bin Ziyad, kunyahnya Abu Zakaria. Dikenal dengan nama al-Farra (yang selalu
memperbagus) karena kebiasaannya memperindah ucapannya. Lahir di Kufah dan
dijuluki Amirul Mu’minin fin nahwi. Dia merupakan orang yang paling faham nahwu
Madzhab Kufah setelah al-Kisa’i. Wafat pada tahun 207 H. Menurut riwayat yang
shahih, dialah yang mengucapkan perkataan:
أموتُ
وفي نفسي شيءٌ من حتى
Aku
mati sedangkan di hatiku ada sedikit pengetahuan tentang “hattaa”
Sebagaimana
kita ketahui bahwa “hattaa” adalah huruf yang paling fleksibel, karena dia bisa
merafa’kan isim sebagai huruf ibtida’, bisa menashabkan isim sebagai huruf ‘athaf, dan bisa
menjarrkan isim sebagai huruf jarr, bahkan dia bisa menashabkan fi’il mudhari’.
(Bughyatu al-wu’ah: 4/15, Nasy’atu an-nahwi: 119)
[6] Namanya Ali
bin Hamzah, kunyahnya Abul Hasan. Dikenal dengan nama al-Kisa’i karena dia
berihrom menggunakan pakaian Kisa’. Dialah Imamul Kufiyyiin di bidang Nahwu dan
salah satu Imam Qiro’ah
Sab’ah. Wafat pada tahun 189 H. (Bughyatu
al-wu’ah: 2/162)
Begitu banyak
pujian ulama terhadapnya di antaranya pujian al-Imam asy-Syafi’i:
من
أراد أن يتبحَّرَ في النحو، فهو عِيالٌ على الكسائي
Siapapun
yang ingin mendalami ilmu nahwu maka dia berhutang budi kepada al-Kisa’i
(Siyaru a’laami an-nubalaa: 9/132)
[7] Siapa yang
tidak kenal dia, Amr bin Utsman yang dikenal dengan nama Sibawaih pemilik
al-Kitab atau Qur’anu an-nahwi. Kunyahnya adalah Abu Bisyr. Dijuluki Sibawaih, diambil
dari bahasa Persia (siiba: apel dan waih: bau), karena badannya yang beraroma
apel, konon karena ibunya merendam dia dengan apel sewaktu kecil (Inbaah
ar-ruwaah: 2/355). Wafat pada tahun 180 H dan waktu itu usianya sekitar 30
tahunan.
Al-Akhfasy
al-ausath adalah sahabat dekatnya, dia memberi penilaian terhadap Sibawaih:
كان
سيبوبه إذا وضع شيئا في كتابه عرضَه عليَّ وهو يرى أني أعلمُ منه (وكان أعلمَ مني)
وأنا اليومَ أعلمُ منه
Dahulu
Sibawaih setiap kali menulis sesuatu di kitabnya, dia tunjukkan kepadaku karena
mengira aku lebih pandai darinya (padahal kenyataannya dia lebih pandai
dariku), namun hari ini aku lebih pandai dari dia.
Al-Akhfasy
berkata demikian karena sepeninggalnya Sibawaih, dia menjadi orang yang paling
menguasai al-Kitab dan yang berperan besar dalam pembentukan Madzhab Kufah. Hal
tersebut tersirat dalam ceritanya ketika dia dibayar 70 dinar setiap kali dia
membacakan al-Kitab di hadapan al-Kisa’i pada hari jumat. Al-Kisa’i berkata:
“tulisan ini tidak pernah aku lihat sebelumnya, maka tuliskanlah untukku” maka
al-Akhfasy pun menuliskannya. Begitu pula dia mengajarkan nahwu kepada anaknya al-Kisa’i
(Inbaah ar-ruwaah: 2/350). Untuk mengenal Akhfasy lebih dekat, silakan baca biografinya disini
Kapan Ustadz membahas kitab Al hadiyah by.ibnu hayyan ??
BalasHapusSemoga ada kesempatan... insya Allah kajian tiap senin di FP akan bahas kitab-kitab klasik
BalasHapus