"perintahkan mereka untuk mengucapkannya, niscaya lidah mereka tidak akan mampu mengucapkannya!"
Seringkali fakta yang berbalut politik akan melahirkan sejarah yang
simpang siur. Ilmu pasti, dibuatnya nisbi. Itulah yang terjadi pada masalah zunburiyyah
(tawon) yang berporos pada kaidah idza fujaiyyah إذا الفُجائيَّة. Permasalahan ini masyhur di kalangan nuhat hingga menyisakan
luka di hati Sang Imam. Adalah menjadi tugas kita para penerus mereka untuk
meluruskan fakta sejarah. Al-Imam al-Adib Abul Hasan Hazim bin Muhammad
al-Anshari al-Qarthajanni meriwayatkan kisah tersebut dalam nadzhomnya[1], mari
kita simak bersama:
والعُرْبُ
قد تحَذِفُ الأخبارَ بعد "إذا"
|
إذا
عَنَتْ فَجْأةَ الأَمْرِ الّذي دَهَما
|
Terkadang
orang Arab menghilangkan khobar setelah “idza fujaiyyah”
ketika
dimaksudkan untuk perkara yang mendadak dan tak terduga[2]
|
|
ورُبمّا
نصبوا لِلْحالِ بعد "إذا"
|
ورُبّما
رفعوا من بعدِها رُبَما
|
Mungkin
saja mereka menashabkan isim setelah “idza fujaiyyah” sebagai haal,[3]
|
Rizki Gumilar
di Kampung Santri
[1] Thabaqaat
asy-syafi’iyyah al-kubraa: 9/296-298, Syadzaraatu adz-dzahab: 2/280, Fathu
al-qariib al-mujiib: 1/166
[2] Ada 5
perbedaan antara idza fujaiyyah dan idza syarthiyyah: 1) setelah idza
fujaiyyah adalah jumlah ismiyyah sedangkan setelah idza syarthiyyah adalah
jumlah fi’liyyah. 2) idza fujaiyyah tidak butuh jawaban sedangkan idza
syarthiyyah butuh. 3) idza fujaiyyah waktunya sekarang sedangkan
sedangkan idza syarthiyyah waktunya mendatang. 4) kalimat setelah idza
fujaiyyah tidak memiliki kedudukan dalam i’rab sedangkan kalimat setelah idza
syarthiyyah dalam kondisi jarr mudhaf ilaih. 5) idza fujaiyyah tidak
terletak di awal kalimat sedangkan idza syarthiyyah di awal kalimat. (mausu’ah
‘ulum al-lughah al-‘arabiyyah: 1/339)
Keduanya
terkumpul dalam ayat berikut:
ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِّنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنتُمْ
تَخْرُجُونَ (الروم: 25)
[3] Ini adalah
pendapat yang dibawakan al-Kisa’i dan siapa pun yang sependapat dengannya.
Pendapat mereka dinukil dalam bait berikut:
وناقِلُ
النصب على الحال أصرّ وجَعَل
المحذوفَ أو "إذا" الخبرْ
Orang
yang selalu menashabkan isim setelah idza fujaiyyah dengan anggapan bahwa dia
haal,
dia
mena’wilkan ada khabar yang mahdzuf atau idza fujaiyyah tersebut adalah
khabarnya. (Fathu
al-qariib al-mujiib: 1/168)
Pada
bait di atas, bagi yang menashabkan isim sebagai haal, maka tidak lepas dari 3
kemungkinan ta’wil idza: idza sebagai khabar karena dia dzaraf makan, atau
khabarnya mahdzuf karena idza dzaraf zaman atau harf. Hal ini yang disebutkan
oleh Ibnu Hisyam dalam bait berikut:
نحو
"خزجتُ فإذا الليثُ يقفْ ببابِنا" والقول فيها مختلفْ
في
كونها ظرفَ مكانٍ أو زمنْ وكونُها الحرفَ بدا بلا وهنْ
Misalnya
“kharajtu faidza al-laitsu bi baabinaa” pendapat dalam kalimat itu berselisih
tentang
hakikat “idza” apakah dia dzharaf makan atau dzaraf zaman, namun yang
berpendapat bahwa dia harf nampak tidak ada kelemahan. (Fathu al-qariib
al-mujiib: 1/161)
Mereka
yang berpendapat bahwa idza fujaiyyah adalah dzaraf makan maka mereka akan
mengi’rab idza sebagai khabar, hal ini diisyaratkan al-Mubarrad dan diikuti
oleh al-Farisi, Ibnu Jinni, as-Sirofi, dan Ibnu al-Khayyath. Pendapat ini
dinisbahkan kepada Sibawaih. (al-Kitab: 1/107, al-Muqtadhab: 3/178, at-Tammam: 127,
Irtisyaf adh-dharab: 1412, al-Janaa ad-daanii: 374, Dirosat li uslubi al-qur’an: 1/210,
Mauqifu Abi Hayyan: 1071). Namun al-Mubarrad sendiri nampak bimbang karena di kitab
yang sama beliau menyebutkan bahwa “idza” adalah harf (al-Muqtadhab: 2/56). Hujjah
mereka adalah hanya dzaraf makan yang bisa menjadi khabar dari mubtada yang
berupa benda konkrit (yang berwujud), adapun dzaraf zaman dan harf tidak bisa (Amali
Ibni asy-Syajari: 2/84, Syarh al-mufashshal: 4/156, Syarh al-kafiyah: 1/242).
Sehingga
ketika seseorang mengatakan خرجت فإذا زيدٌ maka seakan-akan dia mengatakan فَبِمكاني
زيدٍ sehingga
idza menjadi khabar Zaid (al-Musa’id: 1/511).
Mereka
yang berpendapat bahwa idza fujaiyyah adalah dzaraf zaman maka mereka akan
memahdzufkan khabarnya, ini pendapat yang disebutkan az-Zajjaj dan ar-Ruyasyi, yang
diikuti oleh az-Zamakhsyari, Ibnu Thahir, Ibnu Kharuf, dan Abu Ali asy-Syalubain.
Pendapat ini juga dinisbahkan kepada Sibawaih. (al-Kitab: 4/232, Syarh
al-kafiyah: 1/242, Irtisyaf adh-dharab: 1412, al-Janaa ad-daanii: 374, al-Musa’id: 1/511, Fathu al-qariib
al-mujiib: 1/162, Dirosat li uslubi al-qur’an: 1/210, Mauqifu Abi Hayyan: 1071).
Mereka
memahdzufkan khabarnya karena dzaraf zaman tidak bisa dijadikan khabar kecuali
mendatangkan faedah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Malik pada bait berikut:
ولا
يكون اسمُ زمانٍ خبرَا عن جُثّةٍ وإن يفدْ فأخبِرَا
Isim
zaman tidak bisa menjadi khabar dari benda konkrit namun jika berfaedah maka
boleh (Alfiyyah Ibnu Malik: 10)
Dan
dalil yang digunakan bahwa ia dzaraf zaman adalah qiyash dengan ucapan: القتال
إذا يقوم زيدٌ maknanya
adalah: القتال يومَ يقوم زيدٌ (al-Masa’il al-‘askariyyah: 86).
Pendapat ketiga
menyebutkan bahwa idza fujaiyyah adalah harf dan ini pendapat terkuat
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hisyam: وكونُها
الحرفَ بدا بلا وهنْ. Pendapat ini dibawakan oleh al-Akhfasy,
diikuti oleh jumhur Ulama Kufah, Ibnu Barri, Ibnu Malik, dan asy-Syalubain di
salah satu pendapatnya, begitu juga al-Mubarrad di salah satu pendapatnya (al-Muqtadhab:
2/56, Irtisyaf adh-dharab: 1413, al-Janaa ad-daanii: 375, al-Musa’id: 1/510, Mauqifu Abi
Hayyan: 1071).
Hujjah mereka
adalah bolehnya idza menggantikan fa’ul jawab, dan fa’ul jawab adalah harf.
Berikut baitnya:
وتخلُفُ
الفاءَ إذا المُفاجأه كإنْ تجُدْ
إذا لنا مُكافأه
Fa
bisa digantikan idza fujaiyyah, seperti: “jika kamu berlaku baik maka kami
mendapat ganjarannya” (Alfiyyah Ibnu Malik: 47)
Juga dia boleh
diletakkan sebelum إنّ sedangkan
jika dia dzaraf maka tidak boleh, kecuali terletak sebelum أنّ maka boleh. Berikut baitnya:
وكنتُ
أرى زيدًا كما قيل سيِّدا إذا
إنه عبدُ القفا واللهازم
Dahulu
aku kira Zaid itu seorang juragan sebagaimana dikatakan orang, ternyata dia
hanya seorang budak milik orang yang rendah nasabnya dan budak Lahazim (Bani
Taimillah) (al-Musa’id: 1/510)
Juga
dia tidak diidhafahkan kepada jumlah sebagaimana idza dzarfiyyah (Hasyiyah
ash-Shobban: 2/388)
Dia
juga kata yang tidak bermakna kecuali bersama yang lain, sebagaimana huruf. Dia
juga terletak di antara 2 kalimat, hanya huruf yang bisa seperti ini.
Setelahnya tidak lain jumlah ibtidaiyyah, hanya huruf yang bisa seperti ini.
Seandainya dia dzaraf maka tidak akan diperselisihkan antara makaniyyah atau
zamaniyyah. Seandainya dia dzaraf tidak mungkin diletakkan di antara syarat dan
jawab, dan pasti akan didahului oleh fa. Seandainya dia dzaraf pasti tidak
butuh khabar, kenyataannya selalu ada khabar baik secara lafadz ataupun taqdir
(Tamhid al-qowa’id syarh at-tashil: 4/1939-1940)
[4] Ada juga yang
merafa’kan isim setelah idza, ini adalah pendapat yang lebih rajih dan lebih
benar daripada pendapat yang menashabkan, sebagaimana disebutkan dalam bait
berikut:
وإن
تقل "إذا الإمامُ قائما" فرفعَه
أو نصبَه به احكُما
فسيبويهِ
مانعٌ لنصبِهِ أمّا الكسائي فرَوَى عن حزبهِ
والأوّل
الراجحُ والصوابُ كما
به قد أُنزلَ الكتابُ
Jika
kamu mengatakan “tiba-tiba imam berdiri” maka hukumilah dengan rafa’ atau
nashab,
Maka
Sibawaih melarang untuk menashabkannya sedangkan Kisa’i meriwayatkan (dengan
nashab) dari para pendahulunya,
Dan
pendapat pertama lebih rajih dan lebih benar karena al-Qur’an diturunkan
dengannya (dengan rafa’) (Fathu al-qariib al-mujiib: 1/163)
Sebagaimana
kita ketahui bahwa hujjah paling utama dalam kaidah bahasa Arab adalah
al-Qur’an (al-Ushul: 1/31). Dan dalam al-Qur’an tidak pernah muncul isim
setelah idza fujaiyyah melainkan dia marfu’, seperti ayat-ayat berikut:
فَأَلْقَاهَا فَإِذَا
هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (طه: 20)
وَاقْتَرَبَ
الْوَعْدُ الْحَقُّ فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ (الأنبياء: 97)
وَنَزَعَ يَدَهُ
فَإِذَا هِيَ بَيْضَاءُ لِلنَّاظِرِينَ (الأعراف: 108)
إِن كَانَتْ إِلَّا
صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ (يس: 29)
0 komentar:
Posting Komentar