f.
Ams (أمسِ)
Merupakan dzhorof zaman yang menunjukkan pada hari sebelum harimu berada.[1] Bab ini merupakan bab yang paling banyak khilafnya di kalangan
ulama. Kata أمسِ ini merupakan dzhorof muttashorif [2] yang bermakna bahwa dia bisa berperan sebagai
dzhorof atau bukan sebagai dzhorof di dalam kalimat. Maka simak penjelasan para
ulama mengenai أمسِ berikut ini:
1.
أمسِ bukan
sebagai dzhorof
Ketika أمسِ digunakan bukan sebagai dzhorof dalam
kalimat, maka ulama terbagi ke dalam 6 kelompok ketika mengi’robnya:
·
Kelompok
pertama: memasukkannya ke dalam ghairu
munsharif secara mutlak (pada semua bentuk i’robnya) karena ‘adl dan ma’rifah,
ini adalah dialek sebagian Bani Tamim.[3] Kelompok ini mensyaratkan أمسِ ini
sebagaimana syarat-syarat yang diberikan pada سَحَرَ. Juga ma’dul dan alasan ta’rifnya
diqiyaskan kepada سَحَرَ .[4] Hanya saja perbedaannya, سَحَرَ dii’rob
sebagai ghairu munsharif ketika dia sebagai dzhorof, sedangkan أمسِ kebalikannya.
Berdasarkan kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسُ بما فيه وأحببتُ أمسَ وما رأيتُك مذ
أمسَ
·
Kelompok
kedua: memasukkannya ke dalam ghairu munsharif ketika rafa’ dan
memasukkannya ke dalam isim mabni ketika nashab dan jarr, ini adalah dialek
mayoritas Bani Tamim.[5] Ar-Rodhi memberikan alasan mengapa mereka mengi’robnya seperti
itu, yakni bahwanya Bani Tamim mengkolaborasikan antara ghairu munsharif dan
mabni dalam 1 bab sebagaimana mereka memasukkan حَضارِ ke dalam ghairu munsharif dan
menganggap حَذامِ mabni,
padahal keduanya berwazan sama. Kemudian mereka memilih i’rob pertama (rafa’)
ke dalam ghairu munsharif karena dia adalah i’rob tertinggi dan menyamakan
i’rob nashab dan jarr yaitu mabni, karena keduanya sama dalam ghairu munsharif.
Jika mereka memabnikan keduanya dengan dhommah maka tidak akan nampak mana yang
mu’rob. Jika mereka memabnikan keduanya dengan fathah maka tidak akan
nampak mana yang mabni. Maka tidak ada yang tersisa kecuali harakat kasrah. Dan
memang pada asalnya harakat mabni jika sebelumnya sukun adalah kasrah.[6]
Berdasarkan
kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسُ بما فيه وأحببتُ أمسِ وما رأيتُك مذ
أمسِ
·
Kelompok
ketiga: mentanwinnya
secara mutlak (munsharif) dan ketika sebagai dzhorof maka mabni dengan harakat
fathah, ini adalah dialek sebagian Bani Tamim. Dialek
ini diriwayatkan oleh al-Kisai.[7]
Berdasarkan
kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسٌ بما فيه وأحببتُ أمسًا وما رأيتُك مذ
أمسٍ
·
Kelompok
keempat: memasukkannya ke dalam ghairu munsharif ketika rafa’ dan jarr
dengan مُذْ dan مُنْذُ atau
merafa’kannya,[8] kemudian memasukkannya ke dalam isim mabni dengan
kasrah ketika nashab dan jarr (selain dengan مُذْ dan مُنْذُ), ini adalah dialek
sebagian Bani Tamim.[9] Karena مُذْ dan مُنْذُ bagi
sebagian dialek bisa menjarrkan dan merafa’kan.[10] Dialek ini diriwayatkan oleh Abu Zaid al-Anshory [11] dalam kitabnya an-Nawadir.[12]
Berdasarkan
kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسُ بما فيه وأحببتُ أمسِ وما رأيتُك مذ
أمسَ/أمسُ
·
Kelompok
kelima: memabnikannya
dengan kasrah secara mutlak, ini adalah dialek Bani Hijaz. Alasan mereka
memabnikan أمسِ adalah karena setiap kata yang mengandung makna
huruf harus mabni, dan أمسِ
mengandung makna lam ta’rif pada kata asalnya yaitu الأمس.[13]
Berdasarkan
kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسِ بما فيه وأحببتُ أمسِ وما رأيتُك مذ
أمسِ
·
Kelompok
keenam: memabnikannya
dengan kasratain secara mutlak, ini adalah dialek sebagian kecil orang Arab.
Mereka menyerupakannya dengan isim ashwath (suara) seperti غاقٍ. Dialek ini diriwayatkan oleh az-Zajjaj.[14]
Berdasarkan
kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسٍ بما فيه وأحببتُ أمسٍ وما رأيتُك مذ
أمسٍ
2.
أمسِ sebagai dzhorof
Ketika أمسِ digunakan sebagai dzhorof dalam kalimat,
maka ulama terbagi ke dalam 3 kelompok ketika mengi’robnya:
·
Kelompok
pertama: memabnikannya dengan kasrah jika
terpenuhi syarat-syarat sebagaimana pada سحر. Ini merupakan dialek jumhur Arab, tidak
ada perbedaan antara Bani Tamim dengan Bani Hijaz.[15]
Berdasarkan
kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
كتبتُ الرسالة أمسِ
·
Kelompok
kedua: memabnikannya dengan fathah, ini adalah dialek sebagian Arab.
Dialek ini diriwayatkan oleh az-Zajjajy.[16]
Berdasarkan
kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
كتبتُ الرسالة أمسَ
·
Kelompok
ketiga: menjadikannya
sebagai hikayah (kutipan) dari fi’il amr, sebagaimana diriwayatkan oleh
al-Kisai. Maknanya mereka tidak memabnikan juga tidak memu’robkan kata أمسِ melainkan dia hanyalah isim yang diambil
dari fi’il amr: أمسى-
يُمسي- أمسِ – إمساءً (memasuki waktu sore), sebagaimana pada ayat
berikut:
فَسُبْحَانَ
اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ (الروم: 17)
kemudian karena seringnya orang Arab menggunakan
kata ini maka jadilah dia isim yang menunjukkan pada hari sebelum harimu berada.[17] Pendapat ini juga dibawakan oleh as-Suhaily.[18]
Berdasarkan kelompok ini maka أمسِ dihukumi
i’rob mahallan karena hikayah, yakni fii mahalli nashbin.
Faedah yang bisa diambil:
·
Kata
أمس
dimasukkan ke dalam isim ghairu munsharif secara mutlak oleh sebagian Bani
Tamim ketika bukan sebagai dzhorof. Hal tersebut dikarenakan dia ‘adl dari kata
الأمس dan
ma’rifah karena musyahadah (pernah disaksikan) sehingga tidak memerlukan
tanda ta’rif.[19]
Demikian penjelasan singkat mengenai ‘adl, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.
Rizki Gumilar
Di Kampung Santri
[1] Syarhul
mufashshol: 4/169-170
[2] Ham’ul
hawami’: 2/146, Jami’ud durus: 407
[3] Al-Mufashshol:
161
[4] Amaly Ibn
asy-Syajary: 2/595
[6] Syarhul kafiyah:
3/310-311
[7] Irtisyafudh
dhorob: 3/1428, Ham’ul hawami’: 2/148
[8] Al-Ghurroh: 2/635
[9] Al-Kitab:
3/283, al-Basith: 482-483, al-Khizanah: 7/170-171
[10] An-Nukat:
2/492, al-Khizanah: 7/171
[11] Abu
Zaid al-Anshory adalah cucu dari sahabat yang terkenal fasih lisannya dan menjadi
juru bicara Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni Tsabit bin Zaid
bin Qois -radhiyallahu ‘anhu-. Abu Zaid juga termasuk salah satu gurunya
Sibawaih, jika Sibawaih meriwayatkan sesuatu dari Abu Zaid maka dia akan
mengatakan:
حدّثني
الثقة... (telah
menceritakan kepadaku orang yang terpercaya). (an-Nawadir: 7, al-Khizanah:
7/171)
[12] An-Nawadir:
257
[13] Al-Masailul
‘adhudiyyat: masalah no. 90, Asrorul ‘arobiyyah: 23
[15] Irtisyafudh
dhorob: 3/1429
[17] Irtisyafudh
dhorob: 3/1427-1428, Lisanul ‘arab: 6/9
[18] Nataijul
fikri: 89
[19] Syarhul
mufashshol: 4/170
0 komentar:
Posting Komentar