Rabu, 06 September 2017

Adl, kaidah yang terlupakan (bag. 9)


f.      Ams (أمسِ)
Merupakan dzhorof zaman yang menunjukkan pada hari sebelum harimu berada.[1] Bab ini merupakan bab yang paling banyak khilafnya di kalangan ulama. Kata أمسِ ini merupakan dzhorof muttashorif [2] yang bermakna bahwa dia bisa berperan sebagai dzhorof atau bukan sebagai dzhorof di dalam kalimat. Maka simak penjelasan para ulama mengenai أمسِ berikut ini:

1.      أمسِ bukan sebagai dzhorof
Ketika أمسِ digunakan bukan sebagai dzhorof dalam kalimat, maka ulama terbagi ke dalam 6 kelompok ketika mengi’robnya:
·         Kelompok pertama: memasukkannya ke dalam ghairu munsharif secara mutlak (pada semua bentuk i’robnya) karena ‘adl dan ma’rifah, ini adalah dialek sebagian Bani Tamim.[3] Kelompok ini mensyaratkan أمسِ ini sebagaimana syarat-syarat yang diberikan pada سَحَرَ. Juga ma’dul dan alasan ta’rifnya diqiyaskan kepada سَحَرَ .[4] Hanya saja perbedaannya, سَحَرَ dii’rob sebagai ghairu munsharif ketika dia sebagai dzhorof, sedangkan أمسِ kebalikannya. Berdasarkan kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسُ بما فيه وأحببتُ أمسَ وما رأيتُك مذ أمسَ
·         Kelompok kedua: memasukkannya ke dalam ghairu munsharif ketika rafa’ dan memasukkannya ke dalam isim mabni ketika nashab dan jarr, ini adalah dialek mayoritas Bani Tamim.[5] Ar-Rodhi memberikan alasan mengapa mereka mengi’robnya seperti itu, yakni bahwanya Bani Tamim mengkolaborasikan antara ghairu munsharif dan mabni dalam 1 bab sebagaimana mereka memasukkan حَضارِ ke dalam ghairu munsharif  dan menganggap حَذامِ mabni, padahal keduanya berwazan sama. Kemudian mereka memilih i’rob pertama (rafa’) ke dalam ghairu munsharif karena dia adalah i’rob tertinggi dan menyamakan i’rob nashab dan jarr yaitu mabni, karena keduanya sama dalam ghairu munsharif. Jika mereka memabnikan keduanya dengan dhommah maka tidak akan nampak mana yang mu’rob. Jika mereka memabnikan keduanya dengan fathah maka tidak akan nampak mana yang mabni. Maka tidak ada yang tersisa kecuali harakat kasrah. Dan memang pada asalnya harakat mabni jika sebelumnya sukun adalah kasrah.[6]
Berdasarkan kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسُ بما فيه وأحببتُ أمسِ وما رأيتُك مذ أمسِ
·         Kelompok ketiga: mentanwinnya secara mutlak (munsharif) dan ketika sebagai dzhorof maka mabni dengan harakat fathah, ini adalah dialek sebagian Bani Tamim. Dialek ini diriwayatkan oleh al-Kisai.[7]
Berdasarkan kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسٌ بما فيه وأحببتُ أمسًا وما رأيتُك مذ أمسٍ
·         Kelompok keempat: memasukkannya ke dalam ghairu munsharif ketika rafa’ dan jarr dengan مُذْ dan مُنْذُ atau merafa’kannya,[8] kemudian memasukkannya ke dalam isim mabni dengan kasrah ketika nashab dan jarr (selain dengan مُذْ dan مُنْذُ), ini adalah dialek sebagian Bani Tamim.[9] Karena مُذْ dan مُنْذُ bagi sebagian dialek bisa menjarrkan dan merafa’kan.[10] Dialek ini diriwayatkan oleh Abu Zaid al-Anshory [11] dalam kitabnya an-Nawadir.[12]
Berdasarkan kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسُ بما فيه وأحببتُ أمسِ وما رأيتُك مذ أمسَ/أمسُ
·         Kelompok kelima: memabnikannya dengan kasrah secara mutlak, ini adalah dialek Bani Hijaz. Alasan mereka memabnikan أمسِ adalah karena setiap kata yang mengandung makna huruf harus mabni, dan أمسِ mengandung makna lam ta’rif pada kata asalnya yaitu الأمس.[13]
Berdasarkan kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسِ بما فيه وأحببتُ أمسِ وما رأيتُك مذ أمسِ
·         Kelompok keenam: memabnikannya dengan kasratain secara mutlak, ini adalah dialek sebagian kecil orang Arab. Mereka menyerupakannya dengan isim ashwath (suara) seperti غاقٍ. Dialek ini diriwayatkan oleh az-Zajjaj.[14]
Berdasarkan kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
ذهب أمسٍ بما فيه وأحببتُ أمسٍ وما رأيتُك مذ أمسٍ
2.      أمسِ sebagai dzhorof
Ketika أمسِ digunakan sebagai dzhorof dalam kalimat, maka ulama terbagi ke dalam 3 kelompok ketika mengi’robnya:
·         Kelompok pertama: memabnikannya dengan kasrah jika terpenuhi syarat-syarat sebagaimana pada سحر. Ini merupakan dialek jumhur Arab, tidak ada perbedaan antara Bani Tamim dengan Bani Hijaz.[15]
Berdasarkan kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
كتبتُ الرسالة أمسِ
·         Kelompok kedua: memabnikannya dengan fathah, ini adalah dialek sebagian Arab. Dialek ini diriwayatkan oleh az-Zajjajy.[16]
Berdasarkan kelompok ini maka cara bacanya seperti berikut:
كتبتُ الرسالة أمسَ
·         Kelompok ketiga: menjadikannya sebagai hikayah (kutipan) dari fi’il amr, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Kisai. Maknanya mereka tidak memabnikan juga tidak memu’robkan kata أمسِ melainkan dia hanyalah isim yang diambil dari fi’il amr:  أمسى- يُمسي- أمسِ – إمساءً (memasuki waktu sore), sebagaimana pada ayat berikut:
فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ  (الروم: 17)
kemudian karena seringnya orang Arab menggunakan kata ini maka jadilah dia isim yang menunjukkan pada hari sebelum harimu berada.[17] Pendapat ini juga dibawakan oleh as-Suhaily.[18]
Berdasarkan kelompok ini maka أمسِ dihukumi i’rob mahallan karena hikayah, yakni fii mahalli nashbin.

Faedah yang bisa diambil:
·         Kata أمس dimasukkan ke dalam isim ghairu munsharif secara mutlak oleh sebagian Bani Tamim ketika bukan sebagai dzhorof. Hal tersebut dikarenakan dia ‘adl dari kata الأمس dan ma’rifah karena musyahadah (pernah disaksikan) sehingga tidak memerlukan tanda ta’rif.[19]
·         Jika أمس dijadikan nama maka ulama sepakat bahwa dia munsharif.[20]
Demikian penjelasan singkat mengenai ‘adl, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Rizki Gumilar
Di Kampung Santri




[1] Syarhul mufashshol: 4/169-170
[2] Ham’ul hawami’: 2/146, Jami’ud durus: 407
[3] Al-Mufashshol: 161
[4] Amaly Ibn asy-Syajary: 2/595
[5] Al-Kitab: 3/283, Syarhul kafiyah: 3/309
[6] Syarhul kafiyah: 3/310-311
[7] Irtisyafudh dhorob: 3/1428, Ham’ul hawami’: 2/148
[8] Al-Ghurroh: 2/635
[9] Al-Kitab: 3/283, al-Basith: 482-483, al-Khizanah: 7/170-171
[10] An-Nukat: 2/492, al-Khizanah: 7/171
[11] Abu Zaid al-Anshory adalah cucu dari sahabat yang terkenal fasih lisannya dan menjadi juru bicara Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni Tsabit bin Zaid bin Qois -radhiyallahu ‘anhu-. Abu Zaid juga termasuk salah satu gurunya Sibawaih, jika Sibawaih meriwayatkan sesuatu dari Abu Zaid maka dia akan mengatakan:
حدّثني الثقة... (telah menceritakan kepadaku orang yang terpercaya). (an-Nawadir: 7, al-Khizanah: 7/171)
[12] An-Nawadir: 257
[13] Al-Masailul ‘adhudiyyat: masalah no. 90, Asrorul ‘arobiyyah: 23
[14] Ma yanshorif wa ma la yanshorif: 94, Irtisyafudh dhorob: 3/1428, Ham’ul hawami’: 2/148
[15] Irtisyafudh dhorob: 3/1429
[16] Al-Jumal: 299, ibid: 4/1984
[17] Irtisyafudh dhorob: 3/1427-1428, Lisanul ‘arab: 6/9
[18] Nataijul fikri: 89
[19] Syarhul mufashshol: 4/170
[20] Al-Kitab: 3/284

0 komentar:

Posting Komentar