Seringkali kita dapati dalam kalimat
jawaban, fi’il-nya dihilangkan (mahdzuf). Sebagaimana kita ketahui bahwa fi’il
semestinya tidak boleh dihilangkan dalam kalimat karena dia termasuk ke dalam
Umdatul Kalam (Inti Kalimat) yang mana jika dia hilang maka kalimat tidak lagi
sempurna. Namun dalam jawaban pertanyaan, fi’il tersebut boleh dihilangkan
karena umumnya fi’il tersebut merupakan pengulangan dari fi’il yang ada pada
kalimat pertanyaan, seperti:
مَنْ ذَهَبَ؟ زَيْدٌ
Pada kalimat jawaban tidak
perlu kita ulang fi’il ذَهَبَ, karena adanya dalil. Dalil tersebut
terdapat pada kalimat pertanyaan sehingga tidak perlu kita ulang penyebutannya.
Sekarang pertanyaannya, apakah kalimat jawaban tersebut jumlah
ismiyyah atau jumlah fi’liyyah? Mengingat pada kalimat jawaban hanya terdapat 1
isim saja, yang mana kita tidak tahu apakah isim tersebut kedudukannya sebagai
mubtada atau fa’il. Atau dengan kata lain taqdir kalimatnya apakah زَيْدٌ
ذَهَبَ atau ذَهَبَ زَيْدٌ ?
Pola kalimat semisal ini
banyak terdapat dalam al-Qur’an, saya berikan contoh ayat berikut:
قال تعالى: وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Ada 4 ayat lain yang senada dengan ayat ini
yakni pada al-Ankabut: 61 & 63, Luqman: 25, dan az-Zumar:
38.
Ulama sepakat bahwa fi’il yang mahdzuf tersebut
adalah خَلَقَ sebagaimana dalil yang ada pada kalimat pertanyaan. Namun mereka berselisih
pendapat apakah yang mahdzuf tersebut berkedudukan sebagai khabar ataukah
fi’il. Namun Jumhur Nuhat berpendapat bahwa yang mahdzuf adalah fi’il dan isim yang disebutkan adalah fa'il, sehingga taqdirnya
adalah خلقنا الله.[1] Dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.
Bagi
madzhab Kuffah ini tidak jadi masalah karena menurut mereka fa’il boleh mendahului
fi’il.[2]
Maka pertanyaan مَّنْ خَلَقَهُمْ adalah
jumlah fi’liyyah dengan fa’il yang muqoddam, sehingga sudah pasti jawabannya
juga jumlah fi’liyyah.
2. Asalnya setelah huruf istifham itu adalah fi’il bukan isim.[3] Dan setiap isim istifham diikutkan kepada huruf istifham (karena istifham asalnya dengan huruf). Misalnya: مَنْ قام؟ maknanya adalah أَقام زيدٌ أم عمرو أم خالد؟ atau semisalnya, namun untuk meringkasnya maka digunakan lafadz مَن؟. Sehingga pertanyaan tersebut fi'liyyah secara dzhohir namun hakikatnya adalah ismiyyah. Karena istifham dengan fi'il itu lebih utama.[4]
3. Jika memang jawabannya adalah jumlah ismiyyah maka lebih sesuai
lafadz pertanyaannya من
خالقُهم؟ karena
khabar asalnya adalah isim.[5]
Jika pertanyaannya seperti itu maka jawaban yang sesuai adalah الله خالقُنا.
4. Jika taqdirnya خلقنا
الله maka ada
1 kalimat yang mahdzuf, yaitu jumlah fi’liyyah. Jika taqdirnya الله خلقنا
maka ada
2 kalimat yang mahdzuf, yaitu jumlah ismiyyah yang khabarnya berupa jumlah
fi’liyyah. Maka lebih utama yang 1 kalimat.[6]
Karena semakin ringkas taqdir maka semakin baik.[7]
5. Diantara ayat-ayat yang senada tersebut ada 1
ayat yang jawabannya tidak mahdzuf yaitu az-Zukhruf: 9
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ
6. Jika ada yang mengqiyashkannya dengan ayat lain
seperti pada al-An’am: 63-64
قُلْ مَن
يُنَجِّيكُم مِّن ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا
وَخُفْيَةً لَّئِنْ أَنجَانَا مِنْ هَذِهِ
لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ. قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُم مِّنْهَا وَمِن كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنتُمْ تُشْرِكُونَ
لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ. قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُم مِّنْهَا وَمِن كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنتُمْ تُشْرِكُونَ
Mengapa jawabannya dengan jumlah ismiyyah قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُم ?
Maka kita jawab, karena
tujuannya adalah pengkhususan sehingga boleh dimajukan musnad ilaihnya. Adapun
dalam kasus mahdzuf maka harus dikembalikan pada bentuk asalnya.[9]
Rizki Gumilar
Terinspirasi dari sebuah pertanyaan di Majelis Mulakhos Qowa'idil Lughah, Kampung Santri
Terinspirasi dari sebuah pertanyaan di Majelis Mulakhos Qowa'idil Lughah, Kampung Santri
Mantap, terima kasih banyak
BalasHapus