Senin, 06 Januari 2020

Bolehkah kita memanggil Allah dengan dhomir jamak mukhothob?





Sebagaimana kita ketahui bahwa dhomir jamak untuk mufrod tujuannya adalah ta’dzim (pengagungan). Dan ini banyak digunakan oleh para raja dari zaman ke zaman, dimana mereka menyebut diri mereka sendiri dengan kata “kami” untuk mengagungkan, hal ini dikarenakan segala tindak tanduknya dan setiap keputusannya menyangkut orang banyak dan mewakili rakyatnya.
Demikian juga dengan dhomir mukhothob, bahkan ghoib (meskipun jarang).
Al-Ahdal (1298H) menyampaikan:
وقد قاس الناس عليه الخطاب والغيبة فقالوا في خطاب المعظم: "أنتم فعلتم كذا"، وفي الإخبار عنه: "هم فعلوا كذا" وكأنه لكماله قام مقام جماعة أو كأنه لجلالته فكأن الخبر عنه مع من يتبعه
Orang-orang menerapkan juga pada khithob dan ghoibah, mereka mengatakan ketika mengagungkan mukhothob: "أنتم فعلتم كذا"، dan ketika membicarakannya: "هم فعلوا كذا" seakan-akan dia mewakili jama’ah atau seakan-akan karena kemuliaannya dia bersama-sama para pengikutnya (al-Kawakib ad-Durriyyah: 155)
Bukankah kita terbiasa mengucapkan doa kepada seseorang dengan lafadz: “Assalaamu ‘alaikum”, bahkan meskipun seseorang tersebut adalah seorang wanita, semata-mata sebagai bentuk penghormatan. Sebagaimana seorang penyair berkata:
فَإنْ شِئْتِ حَرَّمْتُ النِّساءَ سِوَاكُم
“Jika engkau mau, bisa saja aku haramkan semua wanita selainmu”
Penyair tersebut tidak mengatakan سواكِ atau سواكُنّ, sebagai bentuk pengagugan.
Begitu juga dalam al-Qur’an, terkadang digunakan dhomir jamak untuk Nabi Muhammad sebagai pemuliaan, seperti pada ayat:
فَإِلَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ (هود: 14)
فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ (القصص: 50)
“Jika mereka tidak memenuhi seruanmu”
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ (الطلاق: 1)
"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka"

Sekarang, bolehkah kita memanggil Allah dengan dhomir jamak untuk pengagungan?

Sejumlah ulama membolehkannya. Dengan dalil ayat al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 99:
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
"hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia)"
Lafadz ارْجِعُونِ adalah fi’il amr yang mana fa’ilnya wawu jama’ah, kembali kepada Allah Azza wa Jalla. Para mufassirin menafsirkannya bahwa itu adalah sebagai bentuk pengagungan, diantara penjelasan mereka:
Al-Baghowi (510H) berkata:
وَلَمْ يَقل ارْجِعْنِي وَهُوَ يَسْأَلُ اللَّهَ وَحْدَهُ الرَّجْعَةَ عَلَى عَادَةِ العرب فإنهم يخاطبون الواحد بلفظة الْجَمْعِ عَلَى وَجْهِ التَّعْظِيمِ
“dia tidak mengatakan ارْجِعْنِي padahal dia meminta Allah sendiri agar dikembalikan ke dunia sebagaimana kebiasaan orang Arab, mereka berbicara kepada satu orang dengan lafadz jamak dengan tujuan pengagungan” (Tafsir al-Baghowi: 3/374)
Abu Hayyan (745H) berkata:
وَجَمَعَ الضَّمِيرَ فِي ارْجِعُونِ إِمَّا مُخَاطَبَةً لَهُ تَعَالَى مُخَاطَبَةَ الْجَمْعِ تَعْظِيمًا كَمَا أَخْبَرَ عَنْ نَفْسِهِ بِنُونِ الْجَمَاعَةِ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ
“dhomir pada ارْجِعُونِ dijamakkan ketika berbicara kepada Allah sebagai pengagungan sebagaimana Allah mengungkapkan Diri-Nya dengan nun jamak di ayat yang lain (al-Bahrul Muhith: 7/584)
Sirajuddin (775H) berkata:
أجودها: أنه على سبيل التعظيم
Pendapat yang paling tepat ia adalah bentuk pengagungan (al-Lubab: 14/254)

Itu juga yang dilakukan oleh sahabat Hassan bin Tsabit ketika bertawassul atas nama Nabi Muhammad dalam doanya:
ألَا فارحموني يا إله محمد            فإن لم أكن أهلًا فأنتم له أهل
Tidakkah Kau mengasihiku wahai Tuhannya Muhammad
Jika aku tidaklah pantas untuk-Mu maka sudah pasti Engkau pantas untuknya  (Adhwaaul Bayan: 5/355)

Namun sejumlah ulama lainnya, tidak membolehkan menggunakan dhomir jamak ketika memanggil Allah, diantaranya Suhaily (581H). Dimana beliau mengatakan bahwa tidak semestinya seorang hamba mengucapkan kata-kata:
ارْحَمُونِ يَا رَبّ وَارْزُقُون،ِ ربّ اغفِروا، ولا ارحَمُوني، ولا عليكم توكّلت، ولا إليكم أنبت
Karena memang tidak pernah terucap ungkapan tersebut dari doa Nabi. Wajib bagi setiap hamba untuk menjaga tauhid di hatinya dengan menjaga ucapannya.
Adapun pada ayat ربّ ارجعون adalah kebiasaan orang-orang kafir semasa hidupnya yang selalu mengagungkan setan yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Bisa kita lihat pada ayat-ayat sebelumnya. Kebiasaan itu terbawa sampai mati:
 وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَن يَحْضُرُونِ
Dan katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku".
Bahkan beliau menyampaikan maksud perkataan para ulama, dengan ucapan الأمر عندنا atau رأينا كذا bukan maksudnya untuk pengagungan melainkan untuk menunjukkan bahwa dia berbicara seorang diri, jika dia berbicara seorang diri maka ini adalah perkara bid’ah. (ar-Roudhul Anfu: 2/61)
Begitu juga Ibnu Malik melarangnya:
إنه لم يعلم أحدًا أجاز للدّاعي أن يقول: ارحمونِ؛ لئلا يوهم خلاف التوحيد
Tidak diketahui ada satu pun ulama yang membolehkan seseorang berdoa: ارحمونِ agar tidak menyelisihi tauhid (al-Lubab: 14/254)
Maka sikap pertengahan berdasarkan dari kedua pendapat tersebut, yakni boleh saja seseorang bermunajat kepada Allah menggunakan bentuk jamak, selama tujuannya untuk mengagungkan dan husnul adab. Meskipun yang lebih utama adalah meninggalkannya, mengingat tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan hal tersebut. Wallahu A’lam.

Abu Kunaiza
Di Kampung Senja (Ghurub)

0 komentar:

Posting Komentar