Senin, 06 Januari 2020

Apakah FI’il Mudhori’ yang Bersambung Nun Inats adalah Mabni?




Ibnu Malik (672H) mengatakan:
وأما المتصل بنون الإناث فمبني بلا خلاف
Adapun fi’il mudhori’ bersambung dengan nun inats, maka ia mabni tanpa perselisihan di kalangan ulama (Taudhihul Maqoshid: 1/306)
Namun Abu Hayyan (745H) dan al-Murodi (749H) membantah hal tersebut karena ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun inats adalah mu’rob (Irtisyafudh Dhorob: 2/835, Taudhihul Maqoshid: 1/306)
Memang tidak bisa dipungkiri bahwasanya pendapat jumhur ulama adalah mabni-nya يذهبنَ dan تذهبنَ dengan sukun, dan pendapat ini dipelopori oleh Sibawaih (180H) di kitabnya, dengan perkataannya:
وإذا أردتَ جمعَ المؤنَّث في الفعل المضارع ألحقتَ للعلامة نونًا... وأسكنتَ ما كان في الواحد حرفَ الإعراب، كما فعلت ذلك في فَعَلَ حين قلت فَعَلْت وفَعَلْنَ، فأُسكنَ هذا ههنا وبني على هذه العلامة، ... لأنّه فِعلٌ كما إنه فِعْلٌ، ... فالنون ههنا في يَفعَلْنَ بمنزلتها في فَعَلْنَ.
Jika kamu mengikutkan nun inats pada fi’il mudhori’, maka kamu sukunkan huruf i’robnya (huruf terakhir), sebagaimana kamu lakukan hal tersebut pada fa’alta dan fa’alna, maka mabnikan dengan sukun padanya, karena ia fi’il (mudhori’) sebagaimana ia juga fi’il (madhi), maka nun pada “yaf’alna” sama dengan nun pada “fa’alna”. (al-Kitab: 1/20)
Pendapat jumhur ini masih sangat mendominasi di kelas-kelas Nahwu hingga saat ini.

Namun perlu diketahui, terima atau tidak terima, bahwa disana ada sejumlah ulama yang berpendapat bahwa ia mu’rob, diantaranya adalah Akhfasy (215H):
والأخفش وبعض المتأخرين يذهبون إلى أنه معرب معها
Akhfasy bersama sebagian ulama setelahnya berpendapat bahwa fi’il mudhori’ mu’rob bersama nun inats (Roshful Mabani: 357)
Begitu juga Ibnu Durustuwaih (346H)
فَإِن لحقته نون إناث بني خلافًا لِابْنِ درسْتوَيْه
Jika bersambung dengan nun inats maka ia mabni menyelisihi pendapat Ibnu Durustuwaih (Ham’ul Hawami’: 1/72)
Begitu juga dengan Suhaily (581H):
وأما فعل جماعة النساء فكذلك أيضا إعرابه مقدر قبل علامة الإضمار كما هو مقدر قبل الياء من غلامي
Adapun fi’il untuk jamak muannats I’robnya muqoddar sebelum dhomirnya, sebagaimana ia juga muqoddar sebelum yaa’ mutakallim pada Ghulaamii. (Nataa’ijul Fikri: 124)
Begitu juga Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (751H) menyebutkan hal yang sama (Badaai’ul Fawaaid: 1/83)
Apa alasan mereka memu’robkan يذهبن?
Mereka mengembalikan kepada kaidah asal, yakni semua fi’il mudhori’ mu’rob karena mirip dengan isim. Sebagaimana disampaikan oleh Anbari (577H):
إنما حمل الفعل المضارع على الاسم في الإعراب؛ لأنه ضارع الاسم؛ ولهذا، سُمِّي مضارعًا؛ والمضارعة: المشابهة
hanya fi’il mudhori’ yang disamakan dengan isim dalam I’rob, karena ia mirip dengan isim maka dari itu ia dinamakan mudhori’. Mudhoro’ah maknanya musyabahah (kemiripan). (Asrorul ‘Arobiyyah: 48)
Maka dari sini jelas sudah sumber perselisihan diantara kedua pendapat tersebut. Dimana kelompok Sibawaih dkk memabnikan يذهبن karena ia disamakan dengan fi’il madhi. Sedangkan kelompok Akhfasy dkk memu’robkan يذهبن karena ia diserupakan dengan isim.
Yang unik disini, selain bersambung dengan nun inats, seluruh ulama Nahwu sepakat bahwa fi’il mudhori’ mu’rob karena mirip dengan isim fa’il-nya, termasuk kelompok Sibawaih dkk, misalnya pada fi’il يَجْلِسُ ia mu’rob karena mirip dengan جَالِسٌ. Tapi mengapa mereka memabnikan ketika fi’il mudhori’ bersambung dengan nun inats? Hal ini mengesankan bahwa fi’il mudhori’ terkadang mirip dengan isim, terkadang juga mirip dengan fi’il madhi.
Maka mereka menjawab, hal ini dikarenakan nun inats adalah ciri khas fi’il maka itulah yang menyebabkan ia tidak lagi mirip dengan isim (Ham’ul Hawami’: 1/74)
Jika memang demikian, mengapa ketika fi’il mudhori’ didahului oleh harfu tanfis (sin dan saufa) ia tidak mabni? Padahal harfu tanfis adalah ciri khas fi’il mudhori’, dan ketika itu fi’il mudhori’ waktunya menjadi khusus (untuk mendatang), maka ia tidak lagi mirip dengan isim fa’il dari sisi waktu.
Maka Akhfasy mengatakan:
لأن المضارعة التي أوجبت له الإعراب موجودة فيه
Selama huruf mudhoro’ahnya masih ada maka ia mu’rob sebagaimana isim (Roshful Mabani: 357)
Ketika Suhaily dicap ulama yang menyelisihi jumhur dalam hal ini, maka beliau menjawab:
بل هو وفاق لهم لأنهم علمونا وأصلوا لنا أصلا صحيحا فلا ينبغي لنا أن ننقضه ونكسره عليهم وهو وجود المضارعة الموجبة للإعراب وهي موجودة في يفعلن وتفعلن فمتى وجدت الزوائد الأربع وجدت المضارعة وإذا وجدت المضارعة وجد الإعراب
Justru kami sepakat dengan mereka, karena merekalah yang mengajarkan kami kaidah asal yang shahih, yang mana tidak layak bagi kami mematahkan kaidah tersebut, yaitu adanya huruf mudhoro’ah pada fi’il mudhori’ mewajibkannya untuk mu’rob, sebagaimana pada يفعلن dan تفعلن. Ketika kita dapati 4 huruf tambahan (huruf mudhoro’ah) maka ia mu’rob (begitu yang diajarkan jumhur ulama Nahwu). (Nataa’ijul Fikri: 125).
Kemudian apa hujjah kelompok Akhfasy mengapa tanda I’robnya tidak muncul pada يفعلن? Suhaily menyampaikan:
فعلامة الإضمار منعت من ظهوره لاتصالها بالفعل وأنها لبعض حروفه فلا يمكن تعاقب الحركات على لام الفعل
Nun inats menghalangi munculnya tanda I’rob, karena ia bersama dengan fi’ilnya seperti 1 kata, maka inilah yang menghalangi munculnya harokat (Nataa’ijul Fikri: 124). Mereka meyakini bahwa tidak boleh adanya 4 harokat berturut-turut dalam 1 kata atau 2 kata yang dianggap 1 kata seperti fi’il dan dhomirnya.
Maka Ibnu Malik membantah hal tersebut:
أن توالي أربع حركات ليس مهملا في كلامهم، بل مُسْتخف بالنسبة إلى بعض الأبنية.
Berkumpulnya 4 harokat berturut-turut bukanlah hal yang mustahil dalam Bahasa Arab, namun biasanya diringankan di sebagian kata. (Syarah at-Tashil: 1/125)
Banyak kata yang terdiri dari 4 harokat berturut-turut tapi tidak disukunkan, misalnya جَنَدِلٌ (batu besar), بَرَكَةٌ (keberkahan), لُمَزَةٌ (pencela), dll. Maka ini menunjukkan lemahnya hujjah mereka.
Dan lagi, يَفْعَلْنَ seandainya lam tersebut diharokati maka yang berharokat beturut-turut hanya 3 huruf bukan 4 huruf, maka jelas ini tidak konsisten dengan kaidah yang mereka buat. Sehingga Ibnu Malik menyebutkan alasannya mengapa disukunkan:
وإنما سببه تمييز الفاعل من المفعول في نحو: أكرمْنا وأكرَمَنا
Sebabnya untuk membedakan fa’il dari maf’ul bih seperti “akromnaa” dan “akromanaa” (Syarah at-Tashil: 1/125)

Dari semua perbincangan ini, Guru kami Ustadz Abu Aus (Prof. Dr. Ibraheem Shamsan) menengahi:
“Aku lebih condong pada pendapat Suhaily bahwa يذهبن mu’rob namun ia disukunkan bukan karena alasan yang disampaikan oleh Suhaily melainkan untuk membedakan antara fa’il dengan maf’ul bih sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Malik (Ta’mim Qo’idah an-Namath: 19)

Abu Kunaiza
Di Kampung Senja (Ghurub)

8 komentar:

  1. Pendapat yang paling kuat mana Ustadz??

    BalasHapus
  2. Pendapat yang paling kuat mana Ustadz??

    BalasHapus
  3. Nadwa Abu Kunaiza16 Juni 2020 pukul 21.07

    Pendapat jumhur ia mabni

    BalasHapus
  4. Cara mengi'robkan fiil yang bersambung dengan nun inats bagaimana ustadz?

    BalasHapus
  5. Nadwa Abu Kunaiza30 Juni 2020 pukul 19.51

    فعل مضارع مرفوع بالضمة المقدرة منع من ظهورها لتمييز الفاعل من المفعول

    BalasHapus
  6. Dan lagi, يَفْعَلْنَ seandainya lam tersebut diharokati maka tidaklah huruf yang beturut-turut yang 3 huruf bukan huruf, maka jelas ini tidak konsisten dengan kaidah yang mereka buat.
    _____________
    'afwan,Ini maksudnya bagaimana ustadz, :

    𝗺𝗮𝗸𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸𝗹𝗮𝗵 𝗵𝘂𝗿𝘂𝗳 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝘁𝘂𝗿𝘂𝘁-𝘁𝘂𝗿𝘂𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝟯 𝗵𝘂𝗿𝘂𝗳 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗵𝘂𝗿𝘂𝗳,

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada yang terlewat redaksinya, sudah diperbaiki, jazakallah khairaa

      Hapus