Ulama klasik di
setiap cabang ilmunya sepakat bahwa hamzah adalah huruf yang berat diucapkan.
Kita simak penuturan mereka:
Sibawaih (ulama
nahwu) mengatakan:
فأما المجهورة فالهمزة... والمجهورة حرف أُشبِعَ
الاعتمادُ في موضعه، ومنع النفَسَ أن يجري معه حتى ينقضي الاعتماد عليه ويجري
الصوت. ومن الحروف الشديد وهو الذي يمنع الصوتَ أن يجري فيه وهو الهمزة.
Beliau
menyebutkan bahwa pada hamzah ada 2 sifat yang berat yaitu majhur dan syadid.
Majhur adalah cengkraman pada makhrajnya kokoh, dan tertahannya nafas hingga
cengkaramannya lepas dan suaranya berlalu. Sedangkan syadid adalah tertahannya
suara (al-Kitab: 4/434).
Al-Khalil
(penemu ilmu arudh dan penulis kamus Arab pertama) mengatakan:
الْهمزَة
صَوت مهتوت فِي أقْصَى الْحلق يصير همزَة، فَإِذا رفه عَن الْهَمْز كَانَ نفسًا يحوّل
إِلَى مخرج الْهَاء، فَلذَلِك استخفت الْعَرَب إِدْخَال لهاء على الْألف المقطوعة،
نَحْو أراق وهراق وأيهات وهيهات.
Hamzah adalah suara yang diucapkan dengan keras di
ujung tenggorokan, jika dikendorkan sedikit saja maka nafasnya akan beralih ke
makhrajnya haa. Maka dari itu orang Arab ketika meringankan huruf hamzah akan
berubah menjadi huruf haa, seperti أرَاق menjadi هَرَاق (menuangkan), أيهات menjadi هيهات (mustahil)
(al-Muhkam wal Muhith al-A’dzom: 4/95).
Ibnul Jazari (ulama tajwid dan qiroat) mengatakan:
الحرف المهتوف، وهو الهمزة.
سميت بذلك لخروجها من
الصدر كالتهوّع، فتحتاج إلى ظهور قوي شديد.
Huruf mahtuf (yang dikeraskan) adalah hamzah. Disebut
demikian karena ia keluar dari dada, seperti muntah. Maka butuh untuk dikeluarkan
dengan sekuat tenaga (at-Tamhid fi ilmi at-Tajwid: 1/98).
Kemudian
ar-Rodhi di kitabnya Syarhu asy-Syafiyyah (kitab khusus shorof) mengatakan:
اعلم
أن الهمزة لما كانت أدخل الحروف في الحلق ولها نبرة كريهة تجري مجرى التهوع ثقلت
بذلك على لسان المتلفظ بها، فخففها قوم
Ketahuilah ketika hamzah menjadi huruf yang terdalam
di tenggorokan, dan ia memiliki aksen (penekanan) yang tidak disukai
sebagaimana suara orang muntah, menjadikannya sulit untuk diucapkan, maka sebagian
kaum meringankannya (Syarah asy-Syafiyyah: 3/31).
Dari
sejumlah perkataan ulama klasik dari berbagai disiplin ilmu (lughoh, nahwu,
shorof, tajwid, dll) maka disimpulkan bahwa mereka sepakat akan beratnya huruf
hamzah di dalam pengucapan. Hal ini tidak lain karena ia huruf yang pertama
kali keluar dari mulut, kata Imam Makki bin Abi Thalib al-Qoisy (Imam tajwid
dan qiroah):
الهمزة أول الحروف خروجًا
Hamzah merupakan huruf yang pertama kali keluar dari
mulut, maka ialah huruf yang paling dalam, yang paling dekat dengan sumber
suara.
Maka itu
sebabnya mengapa hamzah adalah satu-satunya huruf yang tidak memiliki bentuk
huruf, tidak seperti ke 28 huruf hijaiyyah lainnya, bahkan ada sebagian yang
tidak memasukkan hamzah sebagai huruf hijaiyyah. Hal ini dikarenakan beratnya
hamzah ketika diucapkan. Hingga akhirnya
al-Khalil mulai merumuskan beberapa bentuk tanda baca seperti dhommah diambil
dari wawu kecil, fathah diambil dari alif yang berbaring, kasrah diambil dari
yaa’ kecil, syiddah diambil dari kepala syin yang mana ia huruf pertamanya,
sukun diambil dari kepala kho’ yang mana ia singkatan dari khofif, dan termasuk
hamzah diambil dari kepala ‘ain karena dekatnya sifat dan makhraj keduanya
(al-Mukhkam fii naqthil mashohif: 7).
Sebelumnya
hamzah merupakan huruf tak berbentuk. Sebagaimana Imam Darostawaih mengatakan:
اعلم
أن الهمزة حرف لا صورة له في
الخط
Ketahuilah bahwa hamzah merupakan huruf tak berbentuk
(Kitabul Kitab: 8).
Begitu juga Imam
Makki menyebutkan:
وإنما لم تكن لها صورة كسائر الحروف لأن الهمزة
حرف ثقيل فغيّرته العرب لثقلها، وتصرّفت فيه ما لم تتصرّف في غيره من الحروف.
Inilah yang menyebabkan hamzah tidak memiliki bentuk yang
tetap sebagaimana huruf-huruf yang lain, yakni karena ia huruf yang berat,
sehingga penuturnya seringkali mengubah-ubah bentuknya untuk tujuan
meringankannya (ar-Ri’ayah: 43).
Terkadang dibaca
sesuai dengan makhraj dan sifatnya di setiap kondisinya dengan simbol ro’sul
‘ain (kepala ‘ain), ini yang disebut tahqiq. Kadang dihilangkan hamzah pertama ketika
bertemunya 2 hamzah, seperti جا أجلهم، هؤلا إن ini yang
disebut hadzf. Kadang diubah menjadi huruf mad mengikuti harokat sebelumnya,
seperti مومن، راس، جيت, ini yang disebut ibdal. Atau terkadang sebaliknya, huruf mad
diubah menjadi hamzah, seperti كساء (كساو)،
شفاء (شفاي). Kadang
diucapkan dengan dikurangi penekanannya (nabr), ini yang disebut dengan tashil
baina baina, sebagaimana kita mengucapkan: a, i, u. Kadang meminjam bentuk
huruf alif, wawu, atau ya, seperti رأس، مؤمن، جئت. Dan terkadang diganti dengan huruf mad hamzah kedua ketika
bertemu 2 hamzah, seperti آمن، أوتي، إيمان. Bahkan terkadang hamzah diubah ke huruf yang terdekat
makhrajnya yaitu ه, seperti هِيّاك نعبد وهِيّاك نستعين.
Meskipun
demikian, dari seluruh bentuk hamzah, bisa kita simpulkan menjadi 2 kelompok:
ahlu tahqiq dan ahlu takhfif. Dimana ahlu tahqiq adalah asalnya, yaitu hamzah
diucapkan sesuai dengan makhraj dan sifatnya. Sedangkan ahlu takhfif adalah
cabangnya, dimana terkadang ada suatu kondisi pengucapan hamzah terasa berat
sehingga diganti dengan lafadz yang lain.
Kemudian muncullah
ulama mu’ashirun (kontemporer) yang membawakan formula baru dalam ilmu imla
untuk memudahkan pelajar. Di antara yang dibawakan adalah bagaimana cara
menulis hamzah yang berada di tengah kata berdasarkan urutan kekuatan
harokat. Urutannya dari yang terkuat adalah kasroh, dhommah, fathah dan sukun (tanpa
harokat). Inilah yang disebut dengan kaidah aqwal harokat (Qowa’idul Imla: 12).
Misalnya فُؤَاد mengapa
hamzah ditulis di atas wawu, karena harokat sebelumnya adalah dhommah dan
dhommah lebih kuat dari fathah, maka dituliskan diatas wawu yang mana ia adalah
dobel dhommah. Atau مطمَئن mengapa ditulis
di atas yaa’ karena sebelumnya berharokat fathah dan fathah lebih ringan dari
kasroh maka ditulis diatas yaa yang mana ia adalah dobel kasroh.
Hanya
saja prinsip ini bertentangan dengan prinsip ulama nahwu, shorof, juga ilmul
ashwat yang telah lama mengatakan bahwa dhommah lebih kuat dari kasroh, banyak
sekali sumber yang bisa kita rujuk tentang itu, diantaranya perkataan Imam al-A’lam:
أقوى الحركات هي الضمة
Harokat yang terkuat adalah dhommah (an-Nukat fii
tafsir kitab Sibawaih: 1/21). Hal ini dikarenakan pengucapan dhommah
membutuhkan tenaga lebih, karena selain mengeluarkan suara dari dada maka ia
perlu dipantulkan di mulut bagian paling luar (bibir), karena letak dhommah ada
di sana. Di samping itu kita juga perlu menggerakkan semua bagian bibir ketika
mengucapkannya.
Mengapa bisa berbeda?
Padahal kaidah penulisan hamzah pada zaman dahulu juga
sudah ada yang dibawakan oleh ahlu takhfif, diantaranya: penulisan hamzah di
atas huruf yaa’ jika ia berharokat kasroh atau sebelumnya kasroh, penulisan
hamzah di atas wawu jika ia berharokat dhommah dan sebelumnya selain kasroh
atau ia berharokat selain kasroh dan sebelumnya dhommah, dst. Misalnya mereka
tulis kata سئِم diatas huruf yaa’ semata-mata untuk memudahkan pembaca
ketika ditakhfif maka dibaca سيِمَ, begitu juga yang lainnya. Bukan karena berat ringannya suara.
Nampaknya kaidah
seperti ini menurut ulama kontemporer terlalu sulit untuk dihafal bagi para
pemula, maka mereka berusaha menyederhanakannya. Maka dari itu dibuatlah rumus
cepat seperti urutan yang ditulis diatas. Hanya saja pada kata سُئِل dan سنقرِئُكَ, hamzah ditulis diatas huruf yaa’ padahal ia berharokat dhommah
atau sebelumnya berharokat dhommah, maka dari sini disimpulkan bahwa kasroh
lebih kuat dari dhommah. Padahal menurut ulama klasik, hal tersebut tidak lain
untuk meringankan saja ketika ditakhfif, yakni diubah menjadi huruf yaa’. Kalau
direnungkan lebih dalam, justru kedua kata tersebut menjadi bukti bahwa kasroh
lebih ringan daripada dhommah. Karena tidaklah Bahasa Arab dirumuskan melainkan
untuk mempermudah penuturnya. Jika ditulis سُؤِل atau سنقرِؤُك maka akan terlihat lebih berat. Wallahu A’lam.
Abu Kunaiza
Di Kampung Senja (Ghurub)
Kajian yg cukup detil dan dalam
BalasHapus