Kamis, 02 Januari 2020

Hamzah Menurut Ulama Klasik dan Kontemporer




Ulama klasik di setiap cabang ilmunya sepakat bahwa hamzah adalah huruf yang berat diucapkan. Kita simak penuturan mereka:
Sibawaih (ulama nahwu) mengatakan:
فأما المجهورة فالهمزة... والمجهورة حرف أُشبِعَ الاعتمادُ في موضعه، ومنع النفَسَ أن يجري معه حتى ينقضي الاعتماد عليه ويجري الصوت. ومن الحروف الشديد وهو الذي يمنع الصوتَ أن يجري فيه وهو الهمزة.
Beliau menyebutkan bahwa pada hamzah ada 2 sifat yang berat yaitu majhur dan syadid. Majhur adalah cengkraman pada makhrajnya kokoh, dan tertahannya nafas hingga cengkaramannya lepas dan suaranya berlalu. Sedangkan syadid adalah tertahannya suara (al-Kitab: 4/434).
          Al-Khalil (penemu ilmu arudh dan penulis kamus Arab pertama) mengatakan:
الْهمزَة صَوت مهتوت فِي أقْصَى الْحلق يصير همزَة، فَإِذا رفه عَن الْهَمْز كَانَ نفسًا يحوّل إِلَى مخرج الْهَاء، فَلذَلِك استخفت الْعَرَب إِدْخَال لهاء على الْألف المقطوعة، نَحْو أراق وهراق وأيهات وهيهات.
Hamzah adalah suara yang diucapkan dengan keras di ujung tenggorokan, jika dikendorkan sedikit saja maka nafasnya akan beralih ke makhrajnya haa. Maka dari itu orang Arab ketika meringankan huruf hamzah akan berubah menjadi huruf haa, seperti أرَاق menjadi هَرَاق (menuangkan), أيهات menjadi هيهات (mustahil) (al-Muhkam wal Muhith al-A’dzom: 4/95).
            Ibnul Jazari (ulama tajwid dan qiroat) mengatakan:
الحرف المهتوف، وهو الهمزة. سميت بذلك لخروجها من الصدر كالتهوّع، فتحتاج إلى ظهور قوي شديد.
Huruf mahtuf (yang dikeraskan) adalah hamzah. Disebut demikian karena ia keluar dari dada, seperti muntah. Maka butuh untuk dikeluarkan dengan sekuat tenaga (at-Tamhid fi ilmi at-Tajwid: 1/98).
          Kemudian ar-Rodhi di kitabnya Syarhu asy-Syafiyyah (kitab khusus shorof) mengatakan:
اعلم أن الهمزة لما كانت أدخل الحروف في الحلق ولها نبرة كريهة تجري مجرى التهوع ثقلت بذلك على لسان المتلفظ بها، فخففها قوم
Ketahuilah ketika hamzah menjadi huruf yang terdalam di tenggorokan, dan ia memiliki aksen (penekanan) yang tidak disukai sebagaimana suara orang muntah, menjadikannya sulit untuk diucapkan, maka sebagian kaum meringankannya (Syarah asy-Syafiyyah: 3/31).
          Dari sejumlah perkataan ulama klasik dari berbagai disiplin ilmu (lughoh, nahwu, shorof, tajwid, dll) maka disimpulkan bahwa mereka sepakat akan beratnya huruf hamzah di dalam pengucapan. Hal ini tidak lain karena ia huruf yang pertama kali keluar dari mulut, kata Imam Makki bin Abi Thalib al-Qoisy (Imam tajwid dan qiroah):
الهمزة أول الحروف خروجًا
Hamzah merupakan huruf yang pertama kali keluar dari mulut, maka ialah huruf yang paling dalam, yang paling dekat dengan sumber suara.

Maka itu sebabnya mengapa hamzah adalah satu-satunya huruf yang tidak memiliki bentuk huruf, tidak seperti ke 28 huruf hijaiyyah lainnya, bahkan ada sebagian yang tidak memasukkan hamzah sebagai huruf hijaiyyah. Hal ini dikarenakan beratnya hamzah ketika diucapkan. Hingga akhirnya al-Khalil mulai merumuskan beberapa bentuk tanda baca seperti dhommah diambil dari wawu kecil, fathah diambil dari alif yang berbaring, kasrah diambil dari yaa’ kecil, syiddah diambil dari kepala syin yang mana ia huruf pertamanya, sukun diambil dari kepala kho’ yang mana ia singkatan dari khofif, dan termasuk hamzah diambil dari kepala ‘ain karena dekatnya sifat dan makhraj keduanya (al-Mukhkam fii naqthil mashohif: 7).
Sebelumnya hamzah merupakan huruf tak berbentuk. Sebagaimana Imam Darostawaih mengatakan:
اعلم أن الهمزة حرف لا صورة له في الخط
Ketahuilah bahwa hamzah merupakan huruf tak berbentuk (Kitabul Kitab: 8).
Begitu juga Imam Makki menyebutkan:
وإنما لم تكن لها صورة كسائر الحروف لأن الهمزة حرف ثقيل فغيّرته العرب لثقلها، وتصرّفت فيه ما لم تتصرّف في غيره من الحروف.
Inilah yang menyebabkan hamzah tidak memiliki bentuk yang tetap sebagaimana huruf-huruf yang lain, yakni karena ia huruf yang berat, sehingga penuturnya seringkali mengubah-ubah bentuknya untuk tujuan meringankannya (ar-Ri’ayah: 43).
Terkadang dibaca sesuai dengan makhraj dan sifatnya di setiap kondisinya dengan simbol ro’sul ‘ain (kepala ‘ain), ini yang disebut tahqiq. Kadang dihilangkan hamzah pertama ketika bertemunya 2 hamzah, seperti جا أجلهم، هؤلا إن ini yang disebut hadzf. Kadang diubah menjadi huruf mad mengikuti harokat sebelumnya, seperti مومن، راس، جيت, ini yang disebut ibdal. Atau terkadang sebaliknya, huruf mad diubah menjadi hamzah, seperti كساء (كساو)، شفاء (شفاي). Kadang diucapkan dengan dikurangi penekanannya (nabr), ini yang disebut dengan tashil baina baina, sebagaimana kita mengucapkan: a, i, u. Kadang meminjam bentuk huruf alif, wawu, atau ya, seperti رأس، مؤمن، جئت. Dan terkadang diganti dengan huruf mad hamzah kedua ketika bertemu 2 hamzah, seperti آمن، أوتي، إيمان. Bahkan terkadang hamzah diubah ke huruf yang terdekat makhrajnya yaitu ه, seperti هِيّاك نعبد وهِيّاك نستعين.
          Meskipun demikian, dari seluruh bentuk hamzah, bisa kita simpulkan menjadi 2 kelompok: ahlu tahqiq dan ahlu takhfif. Dimana ahlu tahqiq adalah asalnya, yaitu hamzah diucapkan sesuai dengan makhraj dan sifatnya. Sedangkan ahlu takhfif adalah cabangnya, dimana terkadang ada suatu kondisi pengucapan hamzah terasa berat sehingga diganti dengan lafadz yang lain.
Kemudian muncullah ulama mu’ashirun (kontemporer) yang membawakan formula baru dalam ilmu imla untuk memudahkan pelajar. Di antara yang dibawakan adalah bagaimana cara menulis hamzah yang berada di tengah kata berdasarkan urutan kekuatan harokat. Urutannya dari yang terkuat adalah kasroh, dhommah, fathah dan sukun (tanpa harokat). Inilah yang disebut dengan kaidah aqwal harokat (Qowa’idul Imla: 12). Misalnya فُؤَاد mengapa hamzah ditulis di atas wawu, karena harokat sebelumnya adalah dhommah dan dhommah lebih kuat dari fathah, maka dituliskan diatas wawu yang mana ia adalah dobel dhommah. Atau مطمَئن mengapa ditulis di atas yaa’ karena sebelumnya berharokat fathah dan fathah lebih ringan dari kasroh maka ditulis diatas yaa yang mana ia adalah dobel kasroh.
          Hanya saja prinsip ini bertentangan dengan prinsip ulama nahwu, shorof, juga ilmul ashwat yang telah lama mengatakan bahwa dhommah lebih kuat dari kasroh, banyak sekali sumber yang bisa kita rujuk tentang itu, diantaranya perkataan Imam al-A’lam:
أقوى الحركات هي الضمة
Harokat yang terkuat adalah dhommah (an-Nukat fii tafsir kitab Sibawaih: 1/21). Hal ini dikarenakan pengucapan dhommah membutuhkan tenaga lebih, karena selain mengeluarkan suara dari dada maka ia perlu dipantulkan di mulut bagian paling luar (bibir), karena letak dhommah ada di sana. Di samping itu kita juga perlu menggerakkan semua bagian bibir ketika mengucapkannya.
Mengapa bisa berbeda?
Padahal kaidah penulisan hamzah pada zaman dahulu juga sudah ada yang dibawakan oleh ahlu takhfif, diantaranya: penulisan hamzah di atas huruf yaa’ jika ia berharokat kasroh atau sebelumnya kasroh, penulisan hamzah di atas wawu jika ia berharokat dhommah dan sebelumnya selain kasroh atau ia berharokat selain kasroh dan sebelumnya dhommah, dst. Misalnya mereka tulis kata سئِم diatas huruf yaa’ semata-mata untuk memudahkan pembaca ketika ditakhfif maka dibaca سيِمَ, begitu juga yang lainnya. Bukan karena berat ringannya suara.
Nampaknya kaidah seperti ini menurut ulama kontemporer terlalu sulit untuk dihafal bagi para pemula, maka mereka berusaha menyederhanakannya. Maka dari itu dibuatlah rumus cepat seperti urutan yang ditulis diatas. Hanya saja pada kata سُئِل dan سنقرِئُكَ, hamzah ditulis diatas huruf yaa’ padahal ia berharokat dhommah atau sebelumnya berharokat dhommah, maka dari sini disimpulkan bahwa kasroh lebih kuat dari dhommah. Padahal menurut ulama klasik, hal tersebut tidak lain untuk meringankan saja ketika ditakhfif, yakni diubah menjadi huruf yaa’. Kalau direnungkan lebih dalam, justru kedua kata tersebut menjadi bukti bahwa kasroh lebih ringan daripada dhommah. Karena tidaklah Bahasa Arab dirumuskan melainkan untuk mempermudah penuturnya. Jika ditulis سُؤِل atau سنقرِؤُك maka akan terlihat lebih berat. Wallahu A’lam.


Abu Kunaiza

Di Kampung Senja (Ghurub)

1 komentar: