Ibnu Malik (672H)
mengatakan:
وأما المتصل بنون الإناث فمبني بلا خلاف
Adapun fi’il mudhori’ bersambung dengan nun inats, maka
ia mabni tanpa perselisihan di kalangan ulama (Taudhihul Maqoshid: 1/306)
Namun Abu Hayyan (745H) dan al-Murodi (749H) membantah
hal tersebut karena ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa fi’il mudhori’ yang
bersambung dengan nun inats adalah mu’rob (Irtisyafudh Dhorob: 2/835, Taudhihul
Maqoshid: 1/306)
Memang tidak
bisa dipungkiri bahwasanya pendapat jumhur ulama adalah mabni-nya يذهبنَ dan تذهبنَ dengan
sukun, dan pendapat ini dipelopori oleh Sibawaih (180H) di kitabnya, dengan perkataannya:
وإذا أردتَ جمعَ المؤنَّث في الفعل المضارع ألحقتَ للعلامة نونًا... وأسكنتَ
ما كان في الواحد حرفَ الإعراب، كما فعلت ذلك في فَعَلَ حين قلت فَعَلْت
وفَعَلْنَ، فأُسكنَ هذا ههنا وبني على هذه العلامة، ... لأنّه فِعلٌ كما إنه فِعْلٌ،
... فالنون ههنا في يَفعَلْنَ بمنزلتها في فَعَلْنَ.
Jika kamu mengikutkan nun inats pada fi’il mudhori’,
maka kamu sukunkan huruf i’robnya (huruf terakhir), sebagaimana kamu lakukan
hal tersebut pada fa’alta dan fa’alna, maka mabnikan dengan sukun padanya,
karena ia fi’il (mudhori’) sebagaimana ia juga fi’il (madhi), maka nun pada “yaf’alna”
sama dengan nun pada “fa’alna”. (al-Kitab: 1/20)
Pendapat jumhur ini masih sangat mendominasi di kelas-kelas
Nahwu hingga saat ini.
Namun perlu diketahui, terima atau tidak terima, bahwa
disana ada sejumlah ulama yang berpendapat bahwa ia mu’rob, diantaranya adalah
Akhfasy (215H):
والأخفش وبعض المتأخرين يذهبون إلى أنه معرب
معها
Akhfasy bersama sebagian ulama setelahnya berpendapat
bahwa fi’il mudhori’ mu’rob bersama nun inats (Roshful Mabani: 357)
Begitu juga Ibnu Durustuwaih (346H)
فَإِن لحقته نون إناث بني خلافًا لِابْنِ درسْتوَيْه
Jika bersambung dengan nun inats maka ia mabni menyelisihi
pendapat Ibnu Durustuwaih (Ham’ul Hawami’: 1/72)
Begitu juga dengan Suhaily (581H):
وأما فعل جماعة النساء فكذلك أيضا إعرابه مقدر قبل علامة الإضمار كما
هو مقدر قبل الياء من غلامي
Adapun fi’il untuk jamak muannats I’robnya muqoddar
sebelum dhomirnya, sebagaimana ia juga muqoddar sebelum yaa’ mutakallim pada
Ghulaamii. (Nataa’ijul Fikri: 124)
Begitu juga Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (751H) menyebutkan
hal yang sama (Badaai’ul Fawaaid: 1/83)
Apa alasan mereka memu’robkan يذهبن?
Mereka mengembalikan kepada kaidah asal, yakni semua fi’il
mudhori’ mu’rob karena mirip dengan isim. Sebagaimana disampaikan oleh Anbari
(577H):
إنما حمل الفعل المضارع على الاسم في الإعراب؛ لأنه ضارع الاسم؛
ولهذا، سُمِّي مضارعًا؛ والمضارعة: المشابهة
hanya fi’il mudhori’ yang disamakan dengan isim dalam I’rob,
karena ia mirip dengan isim maka dari itu ia dinamakan mudhori’. Mudhoro’ah
maknanya musyabahah (kemiripan). (Asrorul ‘Arobiyyah: 48)
Maka dari sini jelas sudah sumber perselisihan
diantara kedua pendapat tersebut. Dimana kelompok Sibawaih dkk memabnikan يذهبن karena ia
disamakan dengan fi’il madhi. Sedangkan kelompok Akhfasy dkk memu’robkan يذهبن karena ia
diserupakan dengan isim.
Yang unik disini, selain bersambung dengan nun inats, seluruh
ulama Nahwu sepakat bahwa fi’il mudhori’ mu’rob karena mirip dengan isim fa’il-nya,
termasuk kelompok Sibawaih dkk, misalnya pada fi’il يَجْلِسُ ia mu’rob
karena mirip dengan جَالِسٌ. Tapi mengapa mereka memabnikan ketika fi’il mudhori’
bersambung dengan nun inats? Hal ini mengesankan bahwa fi’il mudhori’ terkadang
mirip dengan isim, terkadang juga mirip dengan fi’il madhi.
Maka mereka menjawab, hal ini dikarenakan nun inats
adalah ciri khas fi’il maka itulah yang menyebabkan ia tidak lagi mirip dengan
isim (Ham’ul Hawami’: 1/74)
Jika memang demikian, mengapa ketika fi’il mudhori’
didahului oleh harfu tanfis (sin dan saufa) ia tidak mabni? Padahal harfu tanfis
adalah ciri khas fi’il mudhori’, dan ketika itu fi’il mudhori’ waktunya menjadi
khusus (untuk mendatang), maka ia tidak lagi mirip dengan isim fa’il dari sisi
waktu.
Maka Akhfasy mengatakan:
لأن المضارعة التي أوجبت له الإعراب موجودة
فيه
Selama huruf mudhoro’ahnya masih ada maka ia mu’rob
sebagaimana isim (Roshful Mabani: 357)
Ketika Suhaily dicap ulama yang menyelisihi jumhur dalam
hal ini, maka beliau menjawab:
بل هو وفاق لهم لأنهم علمونا وأصلوا لنا أصلا صحيحا فلا ينبغي لنا أن
ننقضه ونكسره عليهم وهو وجود المضارعة الموجبة للإعراب وهي موجودة في يفعلن وتفعلن
فمتى وجدت الزوائد الأربع وجدت المضارعة وإذا وجدت المضارعة وجد الإعراب
Justru kami sepakat dengan mereka, karena merekalah
yang mengajarkan kami kaidah asal yang shahih, yang mana tidak layak bagi kami mematahkan
kaidah tersebut, yaitu adanya huruf mudhoro’ah pada fi’il mudhori’
mewajibkannya untuk mu’rob, sebagaimana pada يفعلن dan تفعلن. Ketika kita dapati 4 huruf tambahan (huruf mudhoro’ah) maka ia
mu’rob (begitu yang diajarkan jumhur ulama Nahwu). (Nataa’ijul Fikri: 125).
Kemudian apa hujjah kelompok Akhfasy mengapa tanda I’robnya
tidak muncul pada يفعلن? Suhaily menyampaikan:
فعلامة الإضمار منعت من ظهوره لاتصالها بالفعل وأنها لبعض حروفه فلا
يمكن تعاقب الحركات على لام الفعل
Nun inats menghalangi munculnya tanda I’rob, karena ia
bersama dengan fi’ilnya seperti 1 kata, maka inilah yang menghalangi munculnya harokat
(Nataa’ijul Fikri: 124). Mereka meyakini bahwa tidak boleh adanya 4 harokat
berturut-turut dalam 1 kata atau 2 kata yang dianggap 1 kata seperti fi’il dan dhomirnya.
Maka Ibnu Malik membantah hal tersebut:
أن توالي أربع حركات ليس مهملا في كلامهم، بل مُسْتخف بالنسبة إلى
بعض الأبنية.
Berkumpulnya 4 harokat berturut-turut bukanlah hal
yang mustahil dalam Bahasa Arab, namun biasanya diringankan di sebagian kata.
(Syarah at-Tashil: 1/125)
Banyak kata yang terdiri dari 4 harokat berturut-turut
tapi tidak disukunkan, misalnya جَنَدِلٌ
(batu
besar), بَرَكَةٌ (keberkahan), لُمَزَةٌ (pencela), dll.
Maka ini menunjukkan lemahnya hujjah mereka.
Dan lagi, يَفْعَلْنَ seandainya lam
tersebut diharokati maka yang berharokat beturut-turut hanya 3 huruf bukan 4 huruf, maka jelas ini tidak konsisten dengan kaidah yang mereka buat. Sehingga Ibnu
Malik menyebutkan alasannya mengapa disukunkan:
وإنما سببه تمييز الفاعل من المفعول في نحو: أكرمْنا وأكرَمَنا
Sebabnya untuk membedakan fa’il dari maf’ul bih
seperti “akromnaa” dan “akromanaa” (Syarah at-Tashil: 1/125)
Dari semua perbincangan ini, Guru kami Ustadz Abu Aus
(Prof. Dr. Ibraheem Shamsan) menengahi:
“Aku lebih condong pada pendapat Suhaily bahwa يذهبن mu’rob namun ia
disukunkan bukan karena alasan yang disampaikan oleh Suhaily melainkan untuk
membedakan antara fa’il dengan maf’ul bih sebagaimana disampaikan oleh Ibnu
Malik (Ta’mim Qo’idah an-Namath: 19)
Abu Kunaiza
Di Kampung Senja (Ghurub)